Minggu, 12 Februari 2017

Mata Pisau, Sapardi Djoko Damono

Menemukan buku tua berdebu dengan gambar sampul yang tidak menarik, di tambah kertasnya juga sudah menguning, barangkali karena usia buku sudah terlampau uzur. Namun di sudut buku tertulis nama penyair besar. Menurut saya itu serupa menemukan gadis cantik, pintar, baik, dan yang paling penting mau di ajak berkencan. Barangkali seperti itulah rasanya.

Pada suatu hari—saya lupa tepatnya hari apa. Saya berkunjung ke perpustakaan kota Lamongan. Pagi itu pengunjung tidak terlalu banyak, meja-meja baca banyak yang kosong dan seperti biasanya perpustakaan menjadi hening. Dan saya suka itu. Waktu itu saya sudah berada di rak paling pojok di sebelah barat daya. Disitulah buku-buku sastra berdiam dan merana karena tidak ada pembaca. Saat itu saya iseng mengubrak-abrik buku-buku yang di terbitkan oleh balai pustaka sekitar tahun 80-an. Yang kebanyakan sampulnya sudah kusam.

Nama-nama yang mendominasi adalah Marah Rusli, Abdoel Moeis, NH Dini, dan kawan-kawannya. Itu saya lakukan setelah saya bosan dengan rak atas yang di dominasi penulis-penulis kontemporer. Di situ ada Dee Lestari, dengan Petir. Tere Liye, dengan Ayahku Bukan Pembohong, dan seorang lagi yang datang dari India sekaligus peraih Man Booker Internasional Prize, Aravind Adiga dan The White Tiger nya. Mereka luar biasa saya sudah membaca ketiganya. Itulah kenapa saya beralih ke rak bagian bawah, di mana buku-buku berdebu dan kusam berdiam. Nama-nama asing mulai saya baca, dan saya menggeleng siapa mereka?

Jari jemari saya tidak berhenti memilih dan memilah buku, dan pada akhirnya saya tidak menyangka telah menemukan si perempuan cantik dan amat menggoda. Nama Sapardi Djoko Damono dengan Mata Pisau, buku kumpulan puisinya. Bukan main rasa senang saya menemukan Bapak Sapardi dan sehimpun sajak-sajaknya. Saya tidak mengira Bapak satu ini juga berdiam di rak sastra. Tidak pikir panjang saya langsung mencomotnya dan memasukkan dalam daftar pinjam saya.

Oh, iya maaf jika sejak tadi saya hanya bercerita tidak jelas tentang sepotong kejadian. Jika mendengar frasa barusan, sepotong kejadian, saja jadi teringat dengan buku kumpulan puisi yang akan dan sedang kita bicarakan ini. Saya merasa kebanyakan dari puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dalam Mata Pisau adalah sepotong kejadian. Yang mana terkadang absurd, terasa hening, sunyi, menyenangkan, dan barangkali amat melankolis. Namun sekali lagi semuanya seolah tampak sederhana di tulis dengan kata-kata yang sederhana, dan sering kita jumpai di sekitar kita namun tampak mengesankan. Metafora dan analogi nya pas. Tidak kurang tidak lebih.

Membaca sajak itu satu-persatu tidak membuat saya merasa ingin segera menyelesaikannya, malah sebaliknya. Persis seperti ketika saya membaca buku-buku bagus lainnya. Saya selalu berharap buku itu tidak lekas habis, dan kalau bisa halamannya dapat bertambah. Mungkin terdengar agak ngawur, tapi ya begitulah saya ketika berjumpa dengan buku bagus.

Di sampul belakangnya saya melihat foto Sapardi di usia mudanya. Mengesankan dan acak-acakan, sebagaimana mahasiswa sastra pada umumnya.

Mungkin puisi bagus memang seperti itu di tulis dengan sederhana dan seolah merekam sepotong kejadian yang tampak mengesankan. Puisi yang paling saya suka dalam buku itu adalah, Berjalan Kebarat Waktu Pagi Hari. Tempo hari saya sempat menonton di You Tube, Sapardi Djoko Damono, di samping sebuah tanaman sedang membacakannya dengan syahdu. Dan itu membuat hati dan pikiran saya kembali nyaman. Begitulah puisi yang saya tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar