Minggu, 29 Januari 2017

Pengaruh Tempat dalam Sebuah Cerita

Urusan tempat dalam sebuah cerpen atau novel ternyata bisa menjadi urusan yang sangat kompleks. Saya baru menyadarinya beberapa saat yang lalu setelah Eka Kurniawan membahasnya, di sebuah artikelnya yang di muat jurnal On/Off. Ketika selesai membaca itu, barulah saya merenung dan akhirnya tersadar.

Latar tempat memang membuat beberapa cerita terlihat menarik dan sekaligus memberikan kesan tersendiri. Saya teringat cerpen Aksara Amananunna, Rio Johan. Cerpen itu membuat saya tertarik dari awal hingga akhir. Pasalnya dalam cerpen itu tempat-tempat yang di gunakan dalam setiap adegan ceritanya adalah tempat rekaannya sendiri. Seolah-olah cerita itu memang terjadi di suatu tempat di dunia ini, namun entah di mana cerita itu berlangsung. Pada adegan pertama cerita di mulai ketika Amananunna nampak kebingungan dengan telinga dan mulutnya yang tidak bekerja sebagaimana orang normal, itu terjadi di ziggurat raja Nimrod.

Selanjutnya dari ziggurat raja Nimrod, Amananunna berkelana ke tempat-tempat jauh, di padang pasir, dan semacamnya. Hal itulah yang membuat saya secara tidak sadar telah membayangkan tempat yang gersang, bar-bar, dan liar. Sehingga yang terjadi pada Amananunna pun serupa sekali waktu ia harus menerima perlakuan tidak baik, sekali waktu ia juga harus memakan kadal dan rumput karena tempat itu terlalu gersang. Mungkin seperti inilah peran tempat dalam pengaruh suatu adegan. Dalam suatu wawancara Rio Johan menciptakan tempat rekaannnya berasal dari game-game yang sering ia mainkan.

Sementara dalam novel Lelaki Harimau, Eka Kurniawan. Saya membayangkan perkampungan yang tempo dulu, dan masih di penuhi oleh benda-benda yang hanya ada pada jaman dulu, semisal layar tancap, sirkus keliling, surat cinta, dan tentunya mitos-mitos yang mempengaruhi cerita. Berhenti di mitos, barangkali inilah yang membuat cerita tampak menarik. Dan perlu di sadari tiap daerah punya mitosnya masing-masing, atau boleh di sebut juga sejarahnya masing-masing, semisal legenda, kebudayaan, dan hal-hal kecil yang perlu di gali untuk membuat pembaca percaya bahwa cerita itu memang benar-benar terjadi di tempat tersebut.

Hal inilah yang sekali waktu membuat saya bertanya-tanya apa saja hal-hal menarik yang di miliki kota saya dan tidak di miliki oleh kota-kota lain. Di novel Tempat Paling Sunyi, Arafat Nur telah memperkenalkan Lamlhok dengan segala konflik peperangannya. Dalam Metafora Padma, Bernard Batubara sedikit banyak telah memperkenalkan Pontianak dengan segala konflik antar suku yang telah terjadi di sana, meskipun dalam beberapa cerita, Bernard Batubara menginisialkan suku-suku tersebut.

Sebagaimana Bernard Batubara juga telah mengatakan yang intinya, penulis Indonesia harus menulis tentang Indonesia. Dan ia telah melakukannya dalam buku-bukunya. Mungkin ini PR bagi saya, untuk menulis Lamongan sebagai latar cerita tempat yang menarik. Barangkali ketika saya membacanya ulang, Lamongan akan tampak menarik dan keren, seperti Manhattan, Padang, Bone, Paris, New Hamspire, Shinjuku, Lamlhok, Pangandaran dan beberapa kota yang telah di kenalkan penulisnya pada dunia.

Sabtu, 28 Januari 2017

Perjalanan dan Pertumbuhan Saya

Dari mana datangnya anak kecil ingusan seperti saya yang dengan lancang berani menulis buku yang saya sebut dengan percaya diri, itu sebuah novel. Pertamakali saya menulis, saya adalah anak kecil yang tak mempunyai rasa takut dan terlalu banyak memiliki keberanian.

Andrea Hirata lah yang mengajari saya tentang menulis itu, hingga akhirnya saya menulis novel saya sendiri. Tanpa rasa takut dan menganggap gampang semuanya, tidak tanggung-tanggung novel saya itu memiliki 338 halaman. Itu cukup tebal dan benar-benar melelahkan untuk di baca. Seorang teman mengatakan pada saya bahwa rasa tulisannya, rasa Andrea Hirata.

Wajar saja, saat itu saya baru mengenal Bang Andrea, sebagai penulis paling top dan tak ada duanya. Sehingga tak tanggung-tanggung saya menghabiskan ke delapan bukunya selama proses menulis novel saya yang pertama itu, barangkali ini semacam pencarian referensi menulis novel. Sehingga akhirnya sedikit banyak, di sudut-sudut novel saya, aroma atau gaya Bang Andrea yang khas nampak di sana sini. Barulah di kemudian hari, saya mengerti kebanyakan penulis pemula melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan, dan tekhik itu di sebut banchmarking. Jika tidak salah itu istilahnya, maaf saya agak lupa-lupa ingat.

Kemudian selama perjalanan menulis saya terus membaca dan membaca, kemudian mengenal A. Fuadi, Tere Liye, sedikit berbelok pada buku-buku Non fiksi saya berkenalan dengan Agus Mustofa dan ilmu-ilmu tasawufnya yang membuat saya kagum dan sedikit banyak mengerti tentang agama, masih dalam ranah agama saya berkenalan dengan Ahmad Rifa'i Rifan, M Husnaini, Irvan Syaifullah yang ternyata dan patut saya syukuri adalah orang-orang Lamongan. Dari merekalah saya mengenal lebih dalam tentang agama saya sendiri. Dan melalui Pak M Husnaini saya dipersilahkan masuk dalam grup kepenulisan SPN yang beranggotakan orang-orang besar beliau adalah Pak Hernowo, Pak Much. Khoiri, Pak Ngainun Naim, Prof. Muhammad Chirzin, Mas Haidar Musyafa. Dan orang-orang hebat yang jago dalam kepenulisan di genre-nya masing-masing.

Di grup SPN itulah beberapa tulisan saya termuat dan di terbitkan dalam buku-buku antologi. Tidak berhenti di situ saya, menjamah majalah dan koran-koran. Disanalah saya mulai merasa kecil, tidak berarti, bukan siapa-siapa, tidak tahu apa-apa, tapi terkagum-kagum pada nama-nama hebat yang berhasil mencantumkan namanya di sebuah koran. Itulah yang membuat saya bertahan hingga kini. Dan mengenal nama-nama besar seperti A.S Laksana, dan Murjangkung-nya yang berisi cerpen-cerpen hebat yang pada waktu itu membuat kepala saya puyeng tidak bisa mencerna itu cerita apa. Lalu sekaligus berkenalan dengan Bernard Batubara, dengan cerpen-cerpen nya yang saya rasa bernuansa kontemporer, Fantasi, surealis, seperti yang berada di bukunya, Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik Untuk Bunuh Diri, juga Metafora Padma. dan membuat saya pada akhirnya harus belajar banyak darinya tentang cara-cara menulis fiksi dan ulasan-ulasan buku.

Saya rasa disini saya harus berhenti sejenak dan mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya pada bang Bara. Yang telah membuka pintu dan mengenalkan saya pada penulis-penulis lainnya. Seperti M. Aan Mansyur, Faisal Oddang, Eka Kurniawan, Etgar Keret, Haruki Murakami, Budi Darma, Mahfud Ikhwan, dan masih banyak lagi. Namun setelah mengetahui nama-nama besar itu, pada akhirnya akan membuat saya menatap diri saya sendiri dan bertanya, sudah pantaskah nama saya di tulis diantara nama-nama besar itu?

Lalu tanpa menjawab pertanyaan konyol itu, pada akhirnya saya akan kembali membaca buku-buku, istirahat sejenak, membaca buku-buku lagi, lalu menulis agar kelak bisa seperti mereka. Dan entah mengapa saya terlalu ambisius ingin seperti mereka. Dan pada akhirnya, yang paling akhir saya akan berdoa semoga Allah meridhoi keinginan saya ini.

Rabu, 25 Januari 2017

Menjadi Salah Satu yang Mustahil


Catatan ini saya tulis ketika saya benar-benar tak mempunyai jawaban atas segala apa yang ada didalam kepala saya. Saya tidak tahu mana yang harus saya dulukan terlebih dahulu, apakah keinginan saya untuk menjadi penulis atau sebuah permintaan bantuan dari seorang teman, agar saya menjadi ketua sebuah organisasi kampus.

Ketika saya membaca biografi dari seorang Dan Brown, untuk menjadi seorang novelis ternyata butuh pengorbanan yang luar biasa. Dan Brown adalah seorang penulis novel yang penjualan bukunya mengalahkan penjualan Al Kitab. Sebenarnya saya sendiri belum pernah membaca satupun dari novelnya. Hanya saja saya pernah membaca ulasan dari seorang penulis tentang bukunya yang berjudul The Davinci Code, ia mengatakan itu adalah buku kedua yang mampu membawanya terhanyut ke dalam cerita novel, tidak seperti novel-novel yang biasa ia baca. Sebagiamana penulis novel, saya juga merasakannya. Setiap kali membaca novel-novel bagus saya biasanya akan membacanya secara jeli, memperhatikan tanda baca, memperhatikan bagaimana penulis memainkan analogi dan metafora, konflik cerita, Point Of View, narrator atau siapa yang menjadi pengkisah dalam cerita, dan tentunya masih banyak lagi yang bisa di perhatikan secara jeli. Namun tanpa di sadari atau tidak cara membaca seperti ini benar-benar sangat melelahkan. Dan membuat mata saya sesekali buka tutup dan secara keseluruhan saya kurang menikmati ceritanya. Namun kata seorang penulis yang mengulas The Davinci Code. Buku itu telah melupakan segalanya, membuatnya benar-benar hanyut dalam cerita yang di tulis Dan Brown.

Saking luar biasanya novel tersebut. Si penulis tadi menyebutkan bahwa novel itu adalah novel yang selalu ia bawa kemana-mana dan membuatnya selalu penasaran dengan kelanjutan cerita. Dan dalam buku biografi Dan Brown yang di tulis oleh Lisa Rogak, selama penulisan bukunya Dan Brown mengorbankan banyak hal; meninggalakan pekerjaannya sebagai guru di sekolah; meninggalkan kariernya dalam dunia music sebagai seorang penulis lagu. Seperti itulah Dan Brown bekerja untuk menulis novel, sehingga yang terjadi novelnya membuat seorang penulis lupa akan tugas mengamati dan benar-benar hanyut dalam cerita. Itu artinya untuk menulis novel yang bagus dan berkualitas kita harus memberikan focus tersendiri terhadap bidang yang ingin di tekuni. Meski harus mengorbankan banyak, tapi untuk hasil yang memuaskan segala pengorbanan sepertinya harus di lakukan. Sebagaiman pepatah mengatakan, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, barangkali seperti itu.

Sementara andaikata kita memiliki pekerjaan yang luar biasa sibuknya atau luar biasa repotnya apa mungkin kita akan dapat membuat novel yang bagus, semacam novel The Davinci Code. Sepertinya saya lupa sesuatu. Dalam buku biografi yang di tulis Lisa Rogak tadi, Dan mengatakan selama proses pengerjaan novelnya ia selalu bangun jam 4 pagi untuk menulis novel, menurutnya itu adalah waktu dimana proses kreatif untuk menulis sedang melimpah. Sementara di luar jam itu banyak kesibukan yang harus Dan kerjakan. Termasuk riset untuk novel yang tengah atau akan ia kerjakan.

Barangkali ini adalah sebuah tantangan, sebagai seorang penulis tidak seharusnya kita banyak mengeluh tentang kesibukan, tentang lingkungan yang kurang kondusif, tentang jurusan kuliah yang salah atau perkara-perkara lain yang seenaknya kita buat-buat sebagai alasan kenapa kita tidak bisa menulis secara produktif. Dalam agama saya mengajarkan Allah menguji suatu hambanya tidak melebihi batas kemampuan hambanya. Bukankah itu sudah jelas bahwa tidak ada alasan untuk mengeluh. Sebagaimana kita tahu, orang akan menganggap kita hebat ketika beban yang kita tanggung terlalu berat dan cenderung mustahil. seorang perawat tidak mungkin menulis novel karena bukan dari jurusan sastra. Seorang yang bukan siapa-siapa tidak mungkin menjadi siapa-siapa. Seorang yang miskin tidak mungkin sekolah tinggi-tinggi. Seorang perempuan tidak mungkin menjadi sopir truck. Seperti itulah barangkali apa yang di katakana mustahil bagi kebanyakan orang. Dan coba bayangkan bagaimana jika kau adalah seseorang yang mampu mematahkan kata mustahil itu dan menunjukkan pada mereka bahwa kau adalah orang yang mampu menghancurkan kata mustahil tadi.

Oleh karena itu saya rasa tidak ada salahnya untuk membantu serang teman dan tetap membawa apa yang menjadi keinginan kita, meski jalan untuk mencapai keinginan itu agak terasa berat, jika kita pikirkan secara rasional. Namun perlu di catat kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Semuanya adalah rahasia ilahi, Allah selalu ada untuk hamba-hambanya yang meminta pertolongan.[]


Minggu, 22 Januari 2017

Kumpulan Puisi: Main Ayunan dan Bunga Krisan

Ini adalah puisi-puisi saya yang pertama kali di muat di tahun 2017. Sebagai catatan puisi-puisi ini saya tulis ketika saya sedang menjalani praktek klinik di Puskesmas Kembangbahu. Setidaknya dengan ini saya pernah menulis puisi di Puskesmas Kecamatan. Langsung saja di bawah saya sertakan alamat pusi-puisi saya. Sila di baca dan selamat kehilangan.

Main Ayunan dan Bunga Krisan: Puisi Fatah Anshori

Rabu, 18 Januari 2017

Ekaristi, Mario F Lawi

Kali ini puisi-puisi Mario F Lawi yang harus kita bicarakan sebentar. Pertama saya mengenal nama  Mario adalah ketika membaca puisi-puisinya yang di muat Basabasi.co beberapa minggu yang lalu. Saya tidak begitu ingat judulnya, hanya saja ketika saya membaca puisi itu saya lantas teringat pada sebuah nama di antara buku-buku yang tertumpuk di meja kamar saya. Ketika pulang saya lantas mencarinya, dan tidak salah nama Mario F Lawi berada diantara tumpukan-tumpukan buku yang belum saya baca.

Itulah pertama kali saya betul-betul mengenal nama Mario F Lawi dan puisi-puisinya. Setiap kali mengenal penulis baru saya selalu penasaran dengan biografinya terutama tanggal lahir dan latar belakang ia menulis. Ketika mengetahui tanggal lahir setiap penulis saya selalu membanding-bandingkan dengan tanggal lahir saya sendiri. Jika ia lebih tua dari saya, yang kemudian saya lakukan adalah menghitung di umur berapa ia bisa menulis buku yang bagus-bagus dan berapa karya yang telah ia terbitkan. Lalu di hati, seperti ada tekad atau semacam keinginan membuat target di umur yang sama kurang lebih saya harus bisa seperti dia. Sebaliknya jika ada, penulis yang lebih muda atau seumuran dengan saya namun karyannya sudah di akui masyarakat luas, semisal itu adalah Faisal Oddang—yang seumuran dengan saya, kelahiran 1993-1994, dia telah meraih penghargaan cerpen terbaik pilihan kompas di tahun 2014—atau Surya Gemilang—yang lebih muda empat tahun dari saya, ia kelahiran 1998, di usianya yang begitu muda beberapa cerpen dan puisi-puisinya telah banyak di muat di beberapa media. Sementara Mario F Lawi sendiri, kelahiran 1991 lebih tua tiga tahun dari saya, juga sudah menulis beberapa buku.

Begitulah saya tertarik membaca tentang penulis, yang biasa terletak di akhir buku. Atau kata pengantar yang terletak di halaman-halaman awal buku. Di kata pengantar biasanya penulis memaparkan perkara-perkara penting tentang isi dari buku tersebut, juga beberapa pesan dan kesan penulis selama menyelesaikan buku. Disitulah biasanya saya bisa mencuri sedikit banyak tentang bagaimana proses menulis, dan apa saja yang di rasakan si penulis selama menulis buku tersebut.

Seperti halnya didalam kata pengantar Ekaristi, Mario berbicara panjang lebar tentang hidupnya dan puisi. Mario sendiri berkenalan dengan penyair-penyair kontemporer seperti: Joko Pinurbo; M Aan Mansyur; Esha Tegar Putra; Nirwan Dewanto; Iyut Fitra dan lain-lainnya ialah saat ia sedang duduk di kelas 2 setingkat SMA. Saat itu ia mulai akrab dengan koran Kompas dan mulai mengoleksi buku-buku sastra, agak serius. Begitu katanya.

Sebenarnya beginilah cara saya belajar menulis puisi, cerpen dan novel. Saya belajar dari penulis-penulis yang telah berhasil menerbitkan buku-bukunya dengan cara mengamati buku-buku itu. Dan berharap didalam buku-bukunya penulis-penulis itu memberikan bocoran cara ia menulis buku tersebut. Di Ekaristi, Mario ternyata baik hati. Ia mengatakan selama menulis puisi ia tidak lepas dari cerita-cerita tradisional, menggali kearifan lokal dan beberapa khazanah Al-Kitab yang ia yakini. Sehingga tidak salah jika selama membaca  Ekaristi saya seakan menjadi orang asing yang berdiro diantara kerumunan yang riuh dan saya tidak tahu harus kemana. Barangkali itu disebabkan saya dan Mario memiliki perbedaan keyakinan.

Di Ekaristi banyak sekali Glossary yang tidak saya mengerti, bahkan sesekali tidak terdaftar dalam KBBI ketika saya coba mencarinya kata-kata yang mario gunakan dalam sajak-sajaknya kebanyakan tidak terdaftar. Menurut saya Mario telah berhasil memperkenalkan kearifan lokalnya pada publik. Ekaristi sendiri merupakan salah satu sakramen untuk merayakan lahir dan meninggalnya kristus. Dan beberapa tentang keyakinan kakeknya tentang keyakinan Jingitiu, suatu keyakinan yang di pegang kakek Mario hingga tandas hidupnya.

Didalam Ekaristi, Mario benar-benar berhasil membawa cerita-cerita tradisional yang penuh glossary asing, membawa kearifan lokalnya, dan terakhir, menaruh apa yang ia yakini dalam Alkitab. Benar-benar luar biasa, namun ada satu yang tak berhasil Mario lakukan: membuat saya pindah keyakinan dan meninggalkan iman saya.

Senin, 16 Januari 2017

Lelaki Harimau, Eka Kurniawan

Saya masih ingat teman saya dari kota mengatakan, ia tak berani membantah ataupun melawan orang tuanya lantaran takut menjadi batu seperti hikayat Malin Kundang. Bukankah ini sangat aneh atau barangkali lucu. Seorang anak yang di besarkan di kota dengan pergaulan yang begitu liar dan barangkali sangat bar-bar, tak berani melawan orang tua.

Saya sempat tersenyum di dalam hati, dan sedikit merenung sejenak selama ia masih nerocos menceritakan kehidupannya yang keras di kota, tempat ia tinggal dulu. Mungkin inilah guna dari sastra, asumsi saya. Ia menanamkan nilai pada sisi paling dalam. Bahkan lingkungan pun tak mudah untuk menggoyahkannya. Sebelumnya saya sempat bertanya-tanya apa yang saya peroleh dari membaca novel, cerpen dan beberapa puisi. Apakah hanya kesia-siaan?

Memang sebagai seorang yang tertarik di dalam dunia tulis-menulis fiksi, sebagai pembaca saya lebih sering membaca untuk mengamati. Seperti apa cara membuat awal cerita yang baik; tanda baca yang benar; dan mengapa buku ini di kategorikan bagus dan banyak di rekomendasikan. Itulah yang saya perhatikan selama membaca, meskipun sesekali saya merasa tersiksa dengan proses melelahkan itu, namun saya tetap akan melakukannya terus dan terus meskipun beberapa saat saya tinggal untuk bersantai. Beberapa saat kemudian saya akan kembali membaca buku-buku itu dan melanjutkan proses melelahkan yang selalu mengganggu pikiran saya. Itulah minat saya dalam sastra.

Catatan di atas sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan novel yang selesai saya baca kali ini. Saya hanya sekedar menyampaikan apa yang mengganggu pikiran saya selama membaca Lelaki Harimau, Eka Kurniawan. Baiklah saya akan mulai menyinggung tentang Lelaki Harimau.

Saya membaca Eka Kurniawan pertama kali adalah dari kumpulan cerpennya, Corat-coret di Toilet. Di sana saya ternyata menemukan banyak tentang bagaimana seorang yang ahli di bidangnya menuliskan cerpen yang sederhana, mudah di mengerti, namun sangat kompleks dan berkali-kali menyinggung ironi sosial.

Mendengar bahwa Lelaki Harimau mendapat nominasi dalam The Man Booker International Prize, sebuah penghargaan internasional. Saya langsung tertarik untuk membacanya. Dan mencari-cari mana yang bagus dari buku ini, oh iya sebenarnya buku ini saya baca di akhir tahun 2016 dan selesai di awal 2017. Jadi boleh di bilang buku inilah yang menemani saya di awal tahun 2017 sekaligus menjadi buku pertama yang saya selesaikan di tahun ini.

Sejauh ini menurut saya, Buku kedua yang saya rasa setara dengan buku-buku Andrea Hirata adalah buku ini, Lelaki Harimau. Saya berkali-kali di buat tercengang sekaligus tehibur, dan sesekali cekikikan disana sini mengikuti tigkah polah narator yang seolah amat liar dan tanpa batasan namun tetap selalu terlihat sebagai pencerita yang matang dan profesional. Eka Kurniawan, benar-benar telah mengambil tempat di hati saya tanpa saya sadari sekaligus tanpa keterpaksaan.

Menurut saya ini adalah novel kedua yang membuat saya mengenal lebih jauh tentang Indonesia, sekaligus menambah rasa bangga saya terhadap Indonesia. Di novel ini saya seolah melihat Indonesia dari sisi gelap yang mungkin jarang kita suguhkan jika kita berkenalan dengan orang lain. Sebagaimana perkenalan pada umumnya, tentunya kita akan mengenalkan diri dari sisi-sisi baiknya saja dan menutupi sisi buruknya, seakan-akan sisi buruk tak ada baik-baiknya untuk kita kenalkan pada orang lain. Namun Eka Kurniawan di Lelaki Harimau ini mengambil jalan yang sebaliknya, ia mengenalkan dari sisi sebaliknya, Indonesia yang carut marut dengan segala borok yang menempel disana sini, namun tetap menarik untuk di simak dan di ikuti hingga akhir. Seolah-olah Eka Kurniawan adalah peracik jamu yang pandai memilah rasa nikmat di antara rasa-rasa pahit yang tersedia.

Dalam salah satu jurnal Bernard Batubara, mengatakan yang harus di tulis penulis Indonesia adalah menulis Indonesia, sejatinya itulah yang di cari oleh pembaca luar. Mereka ingin mengerti corak Indonesia. Dan saya rasa Eka Kurniawan telah memberikan apa yang mereka cari tentang Indonesia di Lelaki Harimau nya.

Pertama kali membaca Lelaki Harimau, saya di buat bertanya-tanya atas segala kebingungan yang saya dapat di awal-awal halaman. Namun lembar demi lembar saya buka Eka Kurniawan mampu membuat saya memahami apa yang hendak ia sampaikan. Seakan-akan ia mengerti bahwa saya tak terlalu pandai untuk perkara yang rumit-rumit seperti hati anak perempuan misalnya.

Pertanyaan saya mengenai apa alasan Margio telah membunuh Anwar Sadat di kalimat pertama cerita terjawab jelas di Kalimat akhir cerita. Dan tanpa menyikasan secuil pertanyaan yang tidak terjawab. Seolah-olah Eka Kurniawan paham betul tentang hukum sebab-akibat, tentang logika cerita. Selama membaca Lelaki Harimau, Eka Kurniawan seolah berlari kencang ke depan kebelakang berkali-kali untuk menjawab satu persatu dari pertanyaan yang pembaca dapatkan.

Yang membuat saya tidak bisa lupa dengan Lelaki Harimau adalah sebuah mitologi Indonesia bahwa konon kakek dari kakek kita mengawini harimau, dan memelihara harimau-harimau itu didalam tubuhnya. Harimau itu akan keluar jika kaedaan genting atau sang tuannya sedang ingin menghajar sesuatu. Konon harimau-harimau itu digunakan orang-orang untuk menghadapi penjajah. Jika tuannya telah mati harimau itu akan ikut anak cucunya. Begitulah Margio memiliki harimaunya.

Namun masalah yang amat kompleks yang meliputi mitologi itu juga amat saling mendukung satu sama lain untuk membentuk cerita yang luar biasa. Dan pada akhirnya sedikit banyak saya mulai percaya dan mengambil pelajaran dari karya-karya sastra, seperti halnya teman saya yang mengambil pelajaran dari hikayat Malin Kundang.

Senin, 09 Januari 2017

Apa yang Saya Dapat dari Membaca?

Apa yang saya dapatkan dari membaca? Saya tidak mendapatkan baju baru, makanan enak, Smartphone baru, apalagi mobil baru. Jika mendapatkan di artikan dengan mengantongi material saya akan jawab saya tak pernah mendapatkan apapun, meski hanya selembar kain.

Malahan saya akan mengatakan saya kehilangan banyak. Kehilangan waktu menonton televisi, kehilangan waktu untuk memejamkan mata alias tidur lebih lama, kehilangan waktu bermain atau senda gurau bersama teman-teman. Bahkan boleh di bilang sesekali saya juga kehilangan waktu untuk memikarkan orang yang paling di cinta, saudara, orang tua dan perempuan.

Membaca novel, cerpen dan puisi adalah kesia-siaan, kata banyak orang seperti itu, menurut saya kesia-siaan yang hakiki adalah ketika kita tak pernah membaca apapun. Semakin banyak saya membaca semakin banyak pula saya di datangi keresahan-keresahan. Barangkali Itulah yang bisa saya dapatkan dari membaca buku.

Saya setuju ketika M. Aan Mansyur menulis di artikelnya yang intinya disitu ia menjelaskan tentang 12 hal yang ia pelajari ketika menjadi pustakawan. Didalam artikel itu Aan menyebutkan ketika ia banyak membaca buku, cara pandangnya terhadap lingkungan, menjadi berubah dan resah karena tidak sesuai dengan apa yang ia dapat dari membaca buku.

Memang kenyataannya selalu seperti itu. Namun didalam beberapa novel atau cerpen realisme kita akan mendapati kenyataan dari lingkungan. Haruki Murakami, dalam Norwegian Wood menggambarkan lingkungan Jepang yang mungkin lebih liar, club-club malam di Shibuya, tumbuhan-tumbuhan yang suka tumbuh di pegunungan Jepang, bunga narsis, stasiun Ueno dan beberapa psikologi tentang tokoh yang menderita karena cinta.

Sementara di beberapa cerpen Ahmad Tohari, saya melihat budaya Indonesia yang sebelumnya belum pernah saya sadari jika itu hanya dimiliki Indonesia. Semisal warung pedagang kaki lima, atau angkringan, cara bertutur yang sopan dan amat santun yang umumnya kita tahu kebiasaan-kebiasaan semacam itu barangkali hanya bisa kita temukan di Indonesia.

Karena saya memang juga belajar menulis novel. Maka seperti itulah caranya, saya membacanya, mengamati sejeli mungkin yang saya bisa. Dan terus membaca banyak tentang catatan-catatan penulis yang bukunya mendapat penghargaan. Dan akhirnya saya mengerti, ternyata saya belum apa-apa dibanding mereka. Perjalanan untuk menjadi seperti Haruki Murakami, Eka Kurniawan, Andrea Hirata, Bernard Batubara, M Aan Mansyur, ternyata tidak pendek seperti umur telur ayam.

Maka jika ditanya apa yang kamu dapat dari membaca? Entahlah, saya juga tidak mendapat telur ayam.

Minggu, 01 Januari 2017

Imung, Arswendo Atmowiloto

Melihat atau menyimak kasus-kasus kriminal barangkali adalah sebuah kemalasan bagi saya. Entah kenapa jika membaca koran atau menonton televisi saya lebih suka menyimak pemandangan alam yang eksotis ketimbang menyimak berita kriminal yang terus menerus melanda bangsa kita. Seakan-akan itu serupa penyakit kronis yang sukar untuk disembuhkan apalagi dihilangkan.

Ketika awal membaca judul yang tertera di sampulnya, tiba-tiba saya teringat dengan detektif cilik super jenius yang senegara dengan Haruki Murakami, yakni Detektif Conan. Beberapa kasus rumit dan teramat pelik mampu ia pecahkan di akhir cerita. Itulah yang membuat saya penasaran untuk membaca Imung, Detektif Cilik yang berasal dari Indonesia. Paling tidak saya ingin tahu bagaimana menulis novel teka-teki semacam detektif, kedua saya memang telah lama penasaran dengan nama Arswendo Atmowiloto yang saya ketahui juga menulis buku berjudul Blankanis, yang menurut beberapa orang recommended untuk dibaca.

Sebelum saya membaca isi ceritanya, saya terlebih dulu tertarik membaca riwayat penulisnya yang tertera di bagian akhir buku. Disitu disebutkan Arswendo Atmowiloto merupakan penulis yang memang punya background membaca sejak kecil. Ia juga beberapa kali menjadi redaktur di beberapa majalah termasuk pimpinan redaksi majalah Hai. Tidak hanya itu ia juga menulis beberapa naskah yang telah di filmkan di beberapa stasiun televisi nasional diantaranya Keluarga Cemara, Kiki dan Komplotannya dan beberapa yang lain.

Sebenarnya buku ini masuk dalam kelompok buku yang selesai aku baca di tahun 2016. Namun karena ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan terlebih dahulu, akhirnya baru bisa menulis catatan ini di awal tahun 2017.

Menurut saya Imung lebih serupa dengan cerita pendek detektif, sebab di setiap bab ada satu kasus yang terpisah dari kasus-kasus lainnya yang selalu diselesaikan oleh Imung. Jujur untuk bacaan buku fiksi detektif saya masih sangat miskin. Arswendo mengaku buku ini terinspirasi dari bacaannya tentang Detektif yakni Detektif Sherlock Holmes, Detektif Handoko--karangan Suparto Brata. Oleh karena itulah ia menulis Imung.

Didalam Imung seri 01 ini terdapat 15 kasus yang imung selesaikan. Imung sendiri adalah anak kecil yang tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah yang mana rumah depannya di sewa sebagai kantor polisi. Karena ayahnya adalah pensiunan polisi, maka tidak sulit ia keluar masuk kantor polisi dan ikut menyelesaikan kasus-kasus kriminal.

Beberapa kasus yang membuat saya tertarik yakni Pembajakan Pesawat Terbang dan Perkara 50 Ton Ganja. Didalam dua kasus itu saya rasa Imung sedang benar-benar bekerja sebagai seorang detektif. Didalam Pembajakan Pesawat Terbang beberapa polisi tampak lumpuh oleh aksi penjahat yang akan membuat seluruh penumpang tidak selamat jika permintaan si penjahat tidak di turuti. Salah satu permintaannya yakni ingin minum satu kaleng soda, di situ Imung bersedia menjadi relawan pengantar minuman soda itu. Tentu saja semua menjadi tegang ketika anak kecil semacam Imung dengan kaki kiri yang korengan, mau mengantarkan minuman ke seorang penjahat. Namun dengan kecerdikannya penjahat itu berhasil dilumpuhkan Imung dengan mudah. Maaf saya tidak bisa menyebutkan bagaimana Imung melakukannya. Itulah kehebatan Imung detektif kecil milik Indonesia. Sesekali saya membayangkan Detektif Imung berkolaborasi dengan Detektif Conan. Mungkin Imung bisa belajar banyak darinya dan terlihat lebih modern barangkali.