Minggu, 25 September 2016

Abdoel Moeis: Salah Asuhan

Sejak kecil lingkungan dikampung saya memang akrab dengan adat dan mitos-mitos yang sempat membuat saya takut jika tidak patuh akan hal-hal yang disebutkan orang tua. Semisal anak-anak tidak boleh bermain diluar rumah ketika sore hari, sesaat sebelum sholat Maghrib karena dalam waktu-waktu itu, katanya marabahaya mudah datang. Ada lagi, kita tidak boleh menduduki sapu lidi, jika tidak ingin beranak banyak saat berumah tangga nanti. Dan masih banyak lagi mitos-mitos semacam ini, atau barangkali sebagian menyebut hal-hal seperti itu sebagai, pamali.

Sejak kecil saya dibesarkan dengan adat dan mitos-mitos yang pada waktu itu sering membuat saya ketakutan jika tetap melawan, saya benar-benar takut terkena imbasnya. Namun seiring waktu berjalan, ketika saya tumbuh dan tumbuh otak saya suka terusik ketika memikirkan mitos-mitos atau adat yang suka dibicarakan orang tua itu. Seakan ada orang lain dikepala saya yang berkata pada saya bahwa segala apa yang dikatakan orang tua itu tak bisa diterima akal, atau bahkan tidak rasional sama sekali. Tidak ilmiah, begitu barangkali kata intelektual-intelektual muda sekarang.

Ibu sayalah yang suka sekali melontarkan mitos-mitos itu. Segala apa yang keluar dari mulut ibu saya selalu saya dengar dan entah mengapa saya selalu menikmati cerita-cerita ibu. Barangkali ibu adalah pendongeng terbaik yang pertama kali saya kenal. Ia pandai membuat cerita-cerita aneh yang sebenarnya mitos itu, namun saya percayai dan patuhi pesan-pesannya. Ternyata ibu saya sudah mengerti bagaimana cara mengindoktrinasi dengan baik meski ibu saya hanya tamatan SMP. Baru saya sadari kehebatan beliau dalam membuat cerita aneh, tidak masuk akal, tapi ajaib, bisa diterima begitu saja oleh anak-anaknya.

Kurang lebih seperti itulah cara ibu mengasuh anak-anaknya. Benar, kami dibesarkan dengan mitos-mitos yang aneh dan seringkali tidak bisa dinalar. Menurut beberapa orang, mungkin cara-cara semacam itu tidak masuk dalam ilmu parenting. Oke baiklah, kiranya prolog barusan sudah cukup untuk memulai ke buku yang hendak kita bahas.

Dalam novel yang termasuk sastra klasik ini Abdoel Moeis mengambil tema yang barangkali juga klasik yakni tentang percintaan. Namun yang membuat menarik kisah cinta segitiga Hanafi, Corrie dan Rapiah dibalut dengan setting Indonesia sesaat setelah merdeka. Dan diimbuhi gagasan yang syarat pesan moral.

Hanafi seorang anak Bumiputra yang sejak kecil banyak bergaul dengan bangsa belanda serta disekolahkan di sekolah Belanda. Dan telah lama mengenal Corrie seorang gadis dari bangsa Belanda. Sehingga keduanya telah menjalin pertalian yang telah lama. Dan pada akhirnya tumbuhlah perasaan cinta Hanafi pada Corrie gadis Belanda itu. Namun sayangnya cinta Hanafi terbatasi adat yang diciptakan kedua bangsa.

Disaat yang sama ibu Hanafi memaksanya untuk menikahi Seorang perempuan kampung, totok dan memegang erat adat bangsanya, itulah Rapiah. Karena hal balas budi akhirnya Hanafi harus menikahi Rapiah, namun cinta Hanafi hanya buat Corrie seorang. Hari-hari setelah pernikahan adalah neraka bagi Rapiah setiap hari ia menerima perlakuan kasar dari suaminya.

Didalam hati Hanafi hanya ada Corrie semata. Pada suatu hari ketika Hanafi ke Betawi bertemulah ia dengan Corrie. Keduanya akhirnya melanggar adat bangsanya masing-masing dan membulatkan tekad untuk menikah, setelah Hanafi mencerai Rapiah di kampung. Betapa sedih ibunya mengetahui fasal ini. Anaknya yang satu-satunya itu dikiranya telah salah dalam memberi asuhan. Ia menyesal bukan main melihat perangai anaknya yang demikian. Didalam prasangkaan ia telah salah lantaran tidak membesarkan anaknya didalam adat kampung yang syarat pelajaran-pelajaran agama.

Didalam novel ini Abdoel Moeis menjadi narator dengan gaya omniscience. Dan bahasa yang digunakan khas sekali, seketika saya teringat dengan Buya Hamka gaya penulisannya hampir sama, memunculkan kekhasan Sumatera. Jika masih penasaran sila dibaca bukunya sendiri.

Sabtu, 24 September 2016

Putu Wijaya: Gres

Putu Wijaya adalah penulis yang saya kenal dengan tidak sengaja. Mulanya saya mencari-cari buku sastra klasik terbitan Balai Pustaka dan akhirnya saya menemukan buku kumpulan cerpen Gres ini diantara tumpukan buku-buku lainnya. Disebutkan dalam kata pengantar bahwa Putu Wijaya adalah penulis yang menciptakan trend baru pada masanya bersama Danarto, Budi Darma, dan lain-lain.

Dalam buku kumpulan cerpen ini ada 17 cerita pendek yang entah mengapa setiap judulnya hanya menggunakan satu kata. Salah satu apalagi salah dua dari ketujuh belas cerpen itu tak ada yang menggunakan judul lebih dari satu kata. Barangkali ini memang dibuat-buat Putu Wijaya untuk menunjukkan ciri khas atau karakternya sebagai penulis, saya juga kurang tahu sebab baru dari buku ini saya membaca Putu Wijaya. Untuk sementara ini saya belum pernah menemukan tulisan atau cerpen-cerpennya dimuat di media seperti koran atau yang lainnya.

Pertama saya membaca cerpennya yang berjudul Babi, saya langsung suka dengan cara berkelakar Putu Wijaya. Caranya menjadi narator sangat berani dan terkadang membuat saya tertawa dengan keunikan gagasan yang ia sampaikan dalam cerpen-cerpennya. Dalam cerpen Babi, Putu Wijaya menceritakan kisah yang absurd, menurut saya. Bagaimana mungkin sebuah tangan bisa berseberangan idealisme dengan kepala atau isi pikiran kita. Setiap kali hendak menuliskan namanya sendiri tangan kanannya dengan serta merta menulis kata Babi. Yang ada adalah kata 'Babi' bukan namanya. Menurut Dokter ini adalah rencana tangan kirinya yang iri dengan tangan kanannya. Oleh karena itu tangan kiri ingin melakukan rencana semacam kudeta terhadap tangan kanan. Kadang-kadang saya tidak begitu mengerti dengan gagasan yang disampaikan oleh Putu Wijaya.

Beberapa cerpen Putu Wijaya menurut saya tidak membesar-besarkan drama. Yang artinya dalam beberapa cerpennya Putu Wijaya tidak menkonkretkan sebuah adegan dengan setting yang kuat seperti dalam cerpenya: 1981, Aktor, Moh, Neraka, Maria, dan Bisma. Kira-kira di cerpen-cerpen itu Putu Wijaya kelihatannya lebih tertarik untuk mengutarakan gagasan-gagasan lewat tokoh-tokoh yang Ia buat, ketimbang sibuk menggambarkan setting. Namun itu tidak mengurangi kemenarikan kisah yang dibuat Putu Wijaya.

Dalam cerpen-cerpennya yang lain Putu Wijaya sering menciptakan tokoh yang diluar adat. Unik bin aneh dan perlu saya akui berhasil membuat saya tertarik dan membacanya hingga kelar. Seperti dalam cerpen yang berjudul Dompet misalnnya, disitu Putu Wijaya membuat seorang tokoh berperilaku dan berpikiran macam-macam lantaran sebuah dompet. Segala prasangka buruk seakan-akan menerornya setiap waktu. Sehingga yang terjadi hidup si tokoh jadi tidak tenang. Dan di akhir cerita si tokoh akhirnya mati gara-gara sebuah dompet.

Ini serupa dengan apa yang terjadi dalam cerpen-cerpennya yang berjudul Roh. Disitu tokoh utamanya dibuat lain dari kebanyakan orang. Roh yang menjadi tokoh utama sangat ingin merayakan ulang tahun namun Roh sendiri tidak tahu kapan hari ulang tahunnya, alias ia tak tahu kapan tanggal lahirnya. Ini gara-gara waktu ia lahir tak ada yang mencatat tanggalnya.

Dari kisah-kisah itu saya takjub dengan cara Putu Wijaya membuat logika cerita. aneh, absurd bagai benang kusut namun keseluruhan cerita tetap bisa di ikuti dengan nalar dan rasional. mengandung hukum sebab akibat yang apik. Sehingga setiap cerita seperti terjalin dari awal hingga akhir. Berkesinambungan, meski sesekali saya harus berhenti atau mengulang membacanya untuk merenung dan memikirkan kemana cerita ini akan dibawa. Satu lagi disetiap akhir cerpennya Putu Wijaya menyisipkan TTL cerpennya. Barangkali ini bisa dijadikan tinjauan untuk peneliti yang ingin mencari tahu apa yang terjadi ketika waktu itu pada wajah Indonesia. Mungkin seperti itu.[]

Kamis, 22 September 2016

Ilalang di Kemarau Panjang

Ilalang di Kemarau Panjang 
(Novel, 2015)
Penerbit: Penulis Muda Publisher
ISBN: 978-602-678-315-8
Harga: Rp. 50.000,-

Senin, 19 September 2016

M Aan Mansyur: Tidak Ada New York Hari Ini

Tidak Ada New York Hari Ini adalah buku kumpulan puisi M Aan Mansyur. Sebelumnya saya sempat membaca Kukila, juga buku M Aan Mansyur namun buku itu adalah kumpulan cerpen. Ketika membaca Kukila saya diam-diam melingkari nama M Aan Mansyur sebagai penulis yang patut ditiru. Rasanya saya bisa belajar banyak tentang menulis fiksi ketika membaca tulisan-tulisannya entah itu berupa cerpen, puisi atau tulisan-tulisannya yang lain yang banyak tersebar di Internet.

Setelah membaca Kukila, penasaran didada saya rasanya semakin memuncak. Dengan diam-diam (juga) saya lantas iseng mencarinya di Instagram juga di Internet. Saya tercengang ketika mengetahui aktivitas penulis yang lahir di Bone ini. Dia ternyata menyibukkan diri diberbagai aktivitas literasi. Saat kuliah dia sempat membuat perpustakaan punggung. Kemudian mendirikan kafe baca yang ia namai Biblioholic. Juga tergabung dalam komunitas Ininnawa. Dan saat ini ia tergabung dalam perpustakaan yang ia namai Katakerja.

Kemudian yang saya lakukan karena semakin penasaran dengannya, adalah membaca biografinya. Disini saya sempat tercengang (juga) ketika mengetahui adanya keselarasan antara cerpen yang ia tulis, dengan kisah perjalanan hidupnya. Sejak kecil Aan memang suka menulis, apapun ia catat dalam buku tulis pemberian kakeknya. Ia juga suka menulis surat. Ini serupa dengan yang tertulis dalam salah satu cerpennya yang terkumpul dalam kumpulan cerpen Kukila.

Sebelumnya saya harus minta maaf dulu pada teman-teman karena melenceng jauh dari apa yang pertama saya niatkan, yakni mengulas tentang buku kumpulan puisi Tidak Ada New York Hari Ini. Tapi sebagai pembaca, kan tidak ada salahnya kepoin penulisnya hehe... . Sebenarnya cara seperti itu saya dapatkan dari Eka Kurniawan, untuk membandingkan karya penulis dengan biografi penulis, apakah ada keselarasan antara keduanya. Dan seperti yang dikatakan Eka Kurniawan ternyata sedikit banyak ada keselarasan antara keduanya. Memang pada dasarnya kita dilarang percaya pada fiksi, namun nyatanya fiksi sedikit banyak bisa terinspirasi dari kisah-kisah nyata. Hanya mungkin, menurut sepengetahuan saya (yang tidak tahu apa-apa ini hehe) kisah-kisah nyata itu diubah menjadi alegori oleh penulisnya.

Ketika membaca buku Tidak Ada New York Hari Ini, saya enggan untuk segera mengkhatamkannya. Dalam hati kecil, saya berharap buku itu tak bisa habis dibaca semakin tebal dan semakin tebal, mungkin menurut teman-teman ini terlihat lucu. Namun nyatanya seperti itu. Dan ini sering saya alami ketika tengah membaca buku-buku bagus lainnya.

Buku ini sebenarnya adalah buku puisi yang dipersiapkan untuk film AADC2. Dalam sebuah artikel dikatakan buku ini merupakan puisi-puisi yang dibuat Rangga dalam film tersebut. M Aan Mansyur mengaku buku ini ia tulis selama tiga bulan setelah tawaran yang ia dapat dari Mira Lesmana. Selama itu, dikatakan oleh Aan bahwa ia banyak membaca tentang New York juga mengikuti akun Instagram orang yang sering memasang wajah New York. Kadang-kadang ia juga membayangkan dirinya menjadi Rangga yang tengah merantau jauh dan rindu akan Indonesia. Semua itu Aan maksudkan untuk mengetahui warna-warni New York serta bagaimana menjadi seseorang yang sedang dilanda rindu. Barangkali ini yang disebut riset.

Tidak hanya itu didalam buku ini juga memuat foto sudut-sudut New York. Foto-foto itu diambil oleh Mo Riza dengan kepiawaiannya sebagai pengambil gambar. Sehingga ketika membaca buku ini saya seakan-akan sedang berada ke New York. Padahal saya belum pernah ke sana hehe... . Entah kenapa ketika membaca ini atmosfer New York sangat terasa dengan berbagai pernak-perniknya. Kesibukannya, dinginnya, juga kenyamanan dan kehangatannya.

Didalam puisi-puisi itu Aan membuat saya terkesima untuk kesekian kalinya. Analogi dan metaforanya amat sangat kaya. Dan setiap membaca puisi itu, saya seakan menemukan kekuatan yang luar. Sepertinya saya sulit untuk menjelaskan dengan kata-kata entah dimulai dari mana. Puisi itu membuat saya suka dan tidak bosan untuk membacanya berkali-kali. Didalamnya seakan tersirat kekuatan, hikmah, dan alegori-alegori yang membuat saya sering terdiam dan merenung untuk mencoba memahami maksud puisi tersebut. Dan kebanyakan saya tetap tidak mengerti. Tapi anehnya saya senang.

Barangkali untuk teman-teman yang menyukai puisi boleh mencoba membaca kumpulan puisi M Aan Mansyur yang satu ini.

Kamis, 15 September 2016

Budi Darma: Tukang Cukur

Nama Budi Darma saya ketahui dari Andrea Hirata. Sekalipun saya belum pernah membaca buku beliau. Tapi paling tidak nama buku-bukunya yang sering dibicarakan yakni 'Orang-orang Bloomington' dan 'Olenka' sudah sempat saya dengar. Paling tidak kelak saya ingin membaca buku-buku beliau, tentunya jika umur dan uang di dompet mencukupi, hehe ...

Baiklah disini saya ingin mengulas cerpen Budi Darma yang pada minggu, 11 September 2015 di muat dalam koran Kompas dengan judul 'Tukang Cukur'. Selama ini Saya membaca Budi Darma hanya melalui cerpen-cerpennya yang dimuat dalam koran Kompas tiap hari minggu, kalau tidak salah saya baru membaca cerpen Budi Darma sebanyak dua kali. Cerpen sebelumnya yang sempat saya baca berjudul 'Presiden Jebule' jika itu tidak salah, sebab kepala saya kadang-kadang suka lupa-lupa ingat.

Baiklah kita kembali ke tujuan utama tulisan ini. 'Tukang Cukur'cerpen Budi Darma ini dibuka dengan kebiasaan seorang anak laki-laki yang tiap harinya berangkat sekolah dengan berjalan kaki selama 14 kilometer pulang pergi. Mulanya saya mengira cerpen ini akan menceritakan sebuah perjuangan seorang anak untuk bersekolah. Tapi setelah disebutkan anak itu berangkat sekolah tanpa alas kaki, kawan-kawannya juga sama, bahkan guru-gurunya pun sama, berangkat sekolah tanpa alas kaki. Membuat kepala saya terganggu, apa maksudnya ini? Ternyata setelah selesai membaca keseluruhannya saya baru tahu, begitulah cara Budi Darma dalam membuat setting pada zaman dahulu. Menurut saya ini super jenius.

Kemudian kisah ini dibuat mengalir serupa sungai, dan saya mulai menemui kejanggalan ketika tokoh Gito bersinggungan dengan seorang kakek (saya lupa namanya, maaf ya) yang mengaku melihat tukang cukur yang tiba-tiba muncul di bawah pohon beberapa hari yang lalu. Ia bertanya pada Gito apakah pernah melihat tukang cukur itu. Katanya tukang cukur itu telah membuat luka dikepalanya. Sampai disini cerita ini saya rasa agak ganjil, dan tidak menunjukkan adanya kesinambungan yang bagus antara bagian ini dengan bagian awal, barangkali ini adalah pembuka dari konflik yang akan terjadi. Dan dugaan itu ternyata tidak dalaj

Kemudian pada suatu hari disekolah Gito kedatangan Guru besar bernama Dasikun, selurah siswa bahkan Guru sekolah itu diwajibkan mengikuti perkuliahan yang Dasikun berikan. Lantas ia berbicara banyak mengenai Rusia, katanya Rusia adalah negara terbaik, apa-apa sudah di atur disana, tata letak kota juga kebersihan. Bahkan katanya di Rusia tidak ada kuda yang berak sembarangan seperti di luar kelas.

Setelah membaca keseluruhan saya takjub cara Budi Darma dalam membuat cerpen. Saya rasa cerpennya sangat padat muatan. Didalam cerpen ini misalnya. Budi Darma memasukkan isu-isu tentang pembantaian yang dilakukan PKI terhadap warga di Kudus. Kemudian bagaimana pasukan Siliwangi memberantas PKI tersebut dengan tidak sopan. Mungkin cerpen yang bagus memang serupa ini. Selalu ada muatan didalamnya entah itu tentang sejarah, renungan, budaya, dan semacamnya. Budi Darma memberikan cerpennya banyak muatan, namun tidak meninggalkan gaya menulisnya yang asik dan terkadang membuat saya tertawa.

Dari sini saya mengerti bahwa menulis serupa Budi Darma membutuhkan waktu untuk banyak berlatih dan banyak membaca, juga belajar tentunya. Mari belajar ya kawan. Semoga kita bisa Istiqomah dalam belajar.

Rabu, 07 September 2016

Mengenal dan Mencintai Bangsa

Saat melihat film-film Jepang entah itu film thriller atau film anime-animenya semisal Naruto, One Piece, Doraemon, dan kawan-kawannya. Pada dasarnya semua memiliki kesamaan ciri. yakni sama-sama menunjukkan bahwa film-film itu berasal dari Jepang.

Sangat menarik, Jepang telah memulai ini lebih awal dari kebanyakan negara lain. Didalam film-film itu termuat banyak fragmen terkait Jepang. Memang ini jarang kita sadari sebagai penikmat film. Namun jika kita perhatikan dengan seksama ada unsur-unsur Jepang yang dimuat didalamnya. Semisal dalam film Doraemon, diceritakan didalamnya bahwa tokoh Doraemon sangat menyukai Dorayaki. Sementara di film Naruto, jika kita amati atau telah mengenal betul dengan film series itu, kita akan mengenal banyak istilah asing yang digunakan sebagai nama jutsu (jurus ninja) atau untuk menyebut hal-hal tertentu. Semisal Sharingan, Susanoo, Kyubi, Ichibi, dan masih banyak lagi. Seperti inilah Jepang mengenalkan dirinya pada dunia. Sebenarnya Dorayaki dalam film Doraemon adalah salah satu makanan khas yang berasal dari Jepang.

Sementara istilah-istilah aneh dalam film Naruto, ketika saya iseng-iseng searching di google. Saya sempat tercengang ketika semua istilah asing itu mempunyai pengertian. Beberapa dari istilah itu adalah legenda tentang suatu kejadian di Jepang. Mungkin kalau di Indonesia itu serupa dengan mitos atau cerita rakyat yang di wariskan dari generasi ke generasi melalui penceritaan lewat lisan. Meski film Naruto tergolong fiksi, Masashi Kishimoto (Pengarang Naruto) membuatnya sebagai karya fiksi yang kaya muatan. Saya yakin dalam pengerjaannya diperlukan riset yang tidak sedikit dan sebentar, sehingga kesan Jepangnya amat sangat kental.

Saat saya mengikuti kuliah umum di salah satu universitas swasta di Lamongan dengan pembicaranya Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, Bapak Al Busyra Basnur. Sebenarnya juga mengangkat tema yang sama, yakni ingin memajukan bangsa dengan membuat identitas terlebih dahulu. Atau yang sering kita dengar di berbagai pembicaraan masalah yang sering diangkat yakni cara menciptakan bangsa yang berkarakter. Barangkali yang dimaksud bangsa berkarakter adalah bangsa yang memiliki identitas. Maka cara yang diterapkan Jepang patut kita contoh, yakni cinta terhadap bangsa sendiri adalah hal pertama yang harus kita miliki sebagai warga negara. Baru setelah itu menerapkan langkah-langkah yang dilakukan Jepang.

Indonesia sendiri merupakan negara yang kaya dengan jumlah pulau kurang lebih 18.000 pulau. Coba bayangkan betapa banyak kekayaan yang masih terpendam didalamnya. Disini yang dimaksud dengan kekayaan, menurut saya tidak hanya hasil bumi seperti emas, timah, minyak dan lainnya itu, yang sering menjadi kasus eksploitasi di berbagai media. Coba kita lihat dari sudut lain semisal budaya atau keadaan alam yang terbentang di Indonesia ini. Jika kita perhatikam dengan seksama, kita akan menemukan banyak hal yang tak akan kita temukan di negara lain. Dari segi makanan, setiap daerah di Indonesia memiliki makanan khas, Lamongan dengan Nasi Boran, Yogyakarta dengan Gudeg, dan tentunya masih banyak lagi. Belum lagi dilihat dari tari, adat istiadat, bahkan cara warganya dalam beraktivitas. Dari situ terlijatlah bahwa Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa.

Jika kita memiliki kecintaan terhadap bangsa. Pastinya kita akan merawat serta menjaga budaya-budaya yang dimiliki bangsa sekaligus merawat alamnya juga. Sehingga yang tumbuh dalam diri kita adalah kebiasan untuk membangun bukan malah merusak. Seperti halnya seorang yang mencintai kekasihnya dimanapun atau kapanpun ia akan mengatakan kelebihannya atau membagus-baguskannya didepan  orang lain bukan malah sebaliknya.

Disini, memajukan bangsa bisa diawalai dengan mencintai bangsa terlebih dahulu. Dengan mencintai barulah kita akan percaya diri dan mengenalkannya pada orang lain. Inilah kita. Didalam karya-karya sastra karya pengarang Indonesia saya menemukan banyak tentang Indonesia. Semisal novel Laskar Pelangi yang telah sukses mengenalkan Belitong pada dunia. Sehingga kini Belitong menjadi destinasi wisata yang banyak dikunjungi wisatawan asing. Dan secara tidak langsung itu akan meningkatkan perekonomian daerahnya.

Sebenarnya cara yang dapat kita gunakan untuk membangun dan memajukan bangsa banyak sekali macamnya. tidak usah bingung memikirkan caranya. Apalagi sekarang teknologi informasi sudah menjadi bagian dari keseharian. Semisal media sosial, juga internet. Dengan memposting segala hal yang berkaitan dengan Indonesia entah itu pakaian adat, kebiasaan masyarakat, keadaan alam, dan lain-lainnya. Secara tidak langsung Itu akan membuat dunia mengenal Indonesia dari berbagai sisi.

Disini kegunaan teknologi informasi dirasa sangat penting dalam memegang peranan untuk memajaukan bangsa. Dengan adanya teknologi informasi dalam waktu singkat kita akan mengetahui apa yang terjadi di daerah lain saat itu juga, tak butuh waktu lama. Sehingga kita bisa saling membantu satu sama lain dengan memberikan apa yang kita bisa. Kurang lebih dengan cara itulah kita dapat ikut serta membangun dan memajukan bangsa.[]

Selasa, 06 September 2016

Penyair Jawa Timur: Permohonan Hijau

Menurut saya puisi ibarat sebuah makanan yang dibungkus sebuah wadah yang didalamnya kita tidak tahu ada makanan macam apa, enak atau tidak enak kita tidak tahu. Barulah terasa ketika lidah kita menyentuhnya. Membaca puisi tidak seperti membaca buku-buku lain yang kebanyakan bisa kita duga-duga isinya saat pertama kali membaca judul yang melekat disampulnya.

Sebenarnya saya juga tidak betul-betul mengerti tentang puisi, macam-macamnya, klasifikasinya dan semacamnya itu. Tapi entah mengapa saya benar-benar suka membaca sekaligus menulis puisi. Sudah sekitar satu tahun lebih saya rutin menulis puisi di akun Instagram saya (@fatahanshori1), kawan-kawan boleh mengeceknya jika tidak percaya. Sekalian di follow juga tidak apa-apa hehe... . Baiklah mari saya ceritakan pengalaman saya membaca buku puisi 'Permohonan Hijau'.

Sebenarnya buku ini saya dapat dari teman saya yang kuliah di sastra Indonesia Unair. Ia dengan sukarela menghibahkan buku tersebut di rumah baca yang kita buat bersama-sama. Permohonan Hijau merupakan buku antologi dari delapan belas penyair jawa timur yang terkumpul dalam Festival Seni Surabaya 2003. Saat membaca biografi dari penyair-penyair itu saya sempat tercengang, lantaran sebagian besar penyair-penyair itu lahir di Lamongan, kota kelahiran saya sendiri. Beberapa nama memang asing di telinga saya, namun beberapa yang lain sempat saya ketahui, dan pernah saya baca karyanya yang termuat dalam buku antologi cerpen 'Bukit Kalam' oleh Dewan Kesenian Lamongan.

'Permohonan Hijau' adalah buku antologi puisi kedua yang saya baca setelah buku kumpulan puisi-puisi Cinta W.S. Rendra. Keduanya sama-sama buku puisi, namun memiliki perbedaan rasa yang kentara ketika saya membacanya. Tidak seperti W.S. Rendra yang puisi-puisinya pendek dan sering membuat saya tertawa saat membacanya satu persatu. Di 'Permohonan Hijau' keseluruhan puisinya terkesan dalam, serius, dan membuat saya berkali-kali membaca ulang setiap puisi untuk menemukan makna yang terkandung, atau paling tidak saya mengulang, untuk menemukan kenikmatan membaca puisi.

Buku puisi ini terkesan gelap, ketika membacanya saya seakan-akan di ajak berjalan menelusuri dunia antah berantah yang sama sekali asing. Atau kadang-kadang saya hanya berputar-putar di tempat yang sama lantaran puisi-puisi yang saya baca itu sama sekali tidak masuk di kepala saya. Entah seperti itulah yang saya alami, atau mungkin cara menikmati puisi saya salah.

Tapi ada tantangan dan kenikmatan tersendiri ketika saya dapat memahami puisi-puisi didalamnya. Entah bagaimana, sepertinya saya kesulitan mengungkapkannya dengan kata-kata. Beberapa puisi yang termuat di 'Permohonan Hijau' menggunakan kata-kata yang asing, bahkan ketika saya cari di KBBI saya tak menemukan arti kata itu, semisal rangsum, dan mefosil. Atau mungkin itu nama tempat, atau salah dalam pengetikan saya juga tidak tahu jelasnya.

Beberapa yang lain bahasa yang digunakan terkesan vulgar. Entah mengapa mereka gemar sekali menggunakn kata-kata itu seperti pelir, dubur, payudara, dan semacamnyalah. Pesan saya untuk anak-anak sebaiknya tunggu usia delapan belas dulu baru boleh membacanya, ya!

Meski terkesan gelap, vulgar, asing, saya tetap menyukai buku ini. Sebab saya harus belajar banyak untuk bisa seperti penyair-penyair sekelas Sapardi Joko Damono, Joko Pinurbo, M. Aan Mansyur dan kawan-kawannya itu. Jika penasaran silahkan membaca ya kawan!

Kamis, 01 September 2016

Putu Fajar Arcana: Drupadi

Duka di tahun 1965 ternyata masih menyisakan luka yang mendalam. Itulah yang coba diungkapkan Putu Fajar Arcana dalam buku kumpulan cerpennya: Drupadi. Sebenarnya tidak hanya itu saja. Buku ini dibagi menjadi dua garis besar cerita, yakni tragedi dan reinkarnasi.

Dalam kumpulan cerita yang terangkum di bingkai kisah tragedi, penulis kelahiran Negara, Bali bagian Barat ini mengisahkan kejadian-kejadian kekejaman di tahun 1965 yang sebagian besar mengambil latar tempat di Negara, kota kelahiran penulis sendiri. Barangkali ini juga yang membuat cerita yang ditulis Putu terasa meyakinkan. Membaca cerpennya serasa melihat Negara di tahun yang lampau ditambah pula dengan adat-istiadat yang masih terjadi disana.

Membaca cerita yang terangkum dalam bingkai tragedi. Membuat kita mengerti akan kekakuan pemerintahan. Dalam cerpen yang berjudul 'Daftar Hitam' menunjukkan betapa negara ini dulu memandang 'masa bodoh' dengan apa yang terjadi sebenarnya di masyarakat. Tak ada alasan mengelak bagi warganya dari eksekusi meski menurut pengakuan warga, seseorang dinyatakan tak ada sangkutpautnya dengan partai  illegal itu.

Keseluruhan cerita dalam bingkai tragedi menunjukkan betapa kejamnya pembantaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap suatu partai yang terlarang. Melindungi orang yang masuk daftar buron sama saja dengan menyerahkan diri. Untuk ikut di eksekusi pula.

Sementara, di bagian kedua. Dalam cerita-cerita yang dibingkai dengan judul reinkarnasi, penulis disini mengisahkan kejadian-kejadian yang berbau metafisika, terkait alam roh, surga, juga neraka. Semisal dalam cerpen 'Drupadi' Putu Fajar Arcana memaparkan pada pembaca bahwa adanya kepercayaan seseorang dapat dilahirkan lagi karena harus menebus dosa-dosanya di masa dimana dia hidup dulu. Sehingga dalam cerita tersebut beberapa tokoh lain memperlakukan tokoh itu--reinkarnasi: telah dilahirkan kembali--dengan semena-mena. Dan mereka menganggap itu pantas-pantas saja. Sebab dalam pemahaman mereka itu merupakan hukuman atas kesalahannya di masa lampau.