Selasa, 27 Desember 2016

Hap!, Andi Gunawan

Hap!

Kau patahkan hatiku berkali-kali
dan aku tak mengapa

hatiku ekor cicak.

2013

Andi Gunawan adalah seorang comica yang menulis puisi, atau barangkali bisa juga dikatakan seorang penulis puisi yang comica. Itulah Andi Gunawan, sebenarnya ia tidak hanya penulis puisi saja ia juga menulis beberapa buku lainnya seperti kumpulan cerpen.

Membaca Hap! Saya seolah terjun dalam keresahan-keresahan Andi yang di gambarkan dengan amat menawan. Saya merasa buku ini seperti cemilan namun penuh dengan gizi. Barangkali jika ini sebuah snack atau makanan ringan, ia adalah snack dengan bungkus yang sederhana namun rasa dan gizinya kelewat muluk-muluk.

Sebenarnya saya juga curiga, seluruh puisi yang di tulis Andi dalam Hap! ini sedikit banyak telah keracunan punchline Andi saat sedang open mic. Sebab ketika membaca puisi-puisinya saya sering ketawa-ketawa sendiri mirip orang miring. Rasanya kurang lebih sama ketika saya membaca puisi-puisi Joko Pinurbo, melompat-lompat, liar, menggemaskan, dan diakhir cerita selalu membuat saya tertawa sendiri.

Kata-kata yang Andi gunakan dalam merangkai puisi seolah adalah kata-kata yang jatuh dari langit dan selalu enak di baca, lembut, lunak dan menawan. Saya merasa metafora dan analogi dalam puisi-puisi Andi sangat kaya meskipun terkesan sederhana. Bahkan saya sempat berpikir  barangkali inilah kehebatan Andi ia mampu menyelipkan sesuatu yang kompleks di dalam perihal yang sederhana.

Sebenarnya saya tidak mengerti banyak tentang konteks-konteks puisi. Saya hanya orang awam yang tiba-tiba mencintai puisi dengan mencoba menulis puisi dan membaca banyak puisi dari buku-buku atau koran-koran. Dan selama itu saya menganggap anatara puisi, cerpen dan novel memiliki garis persamaan, yakni narator. Narator adalah orang yang menuturkan dari mana cerita itu disampaikan, sehingga kesan subjektivitasnya akan nampak sekali. Saya rasa ini juga yang membedakan bagaimana kita mengenali tulisan seseorang, atau biasa kita sebut karakter penulis. Seperti halnya suara dalam menyanyi. Menulis pun sama, Andrea Hirata dengan karakter melayunya, M. Aan Mansyur dengan karakter puitisnya, atau Joko Pinurbo dengan kesan kocaknya.

Di dalam puisi-puisinya Andi Gunawan seolah menulis dari sudut pandangnya sendiri sehingga saat membacanya seringkali kita tidak akan mengerti apa yang dia maksud. Mungkin inilah mengapa puisi sering disebut-sebut sebagai karya yang subjektif, sesuka hati. Sehingga seringkali kita tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak di utarakan penulis dalam puisinya. Mungkin hal ini pula yang mendasari Sapardi Djoko Damono menulis buku Apresiasi Puisi Bilang Begini Maksudnya Begitu.

Salah satu yang membuat saya tertarik dan antusias dalam membaca buku puisi Hap! adalah karena ada nama M Aan Mansyur sebagai penyunting puisi-puisi Andi Gunawan. Buku ini cetak pada Mei 2014. Sementara saya baru mengenal nama M Aan Mansyur pada tahun 2016. Ini artinya untuk menjadi penulis sekelas mereka waktu yang kita butuhkan tidak sedikit dan sebentar.

Catatan ini saya buat kurang lebih hanya sebagai dokumentasi membaca saya. Seperti halnya buku-buku yang saya ulas dua bulan terakhir. Bagi teman-teman yang mencintai puisi atau belajar menulis puisi mungkin bisa membaca buku Andi Gunawan ini. Keseluruhan dari puisi-puisi Andi saya suka. Namun jika disuruh memilih satu judul. Saya akan pilih puisi dengan judul: Dua Stoples Kenangan.

Sabtu, 17 Desember 2016

Belajar dari Tokoh Besar

Setelah mendengar sambutan bapak Dr. K.H. M. Saad Ibrahim (ketua PWM Jatim) dalam acara pembukaan musywil HW ke 4 yang tepatnya berlangsung di aula UNMUH Ponorogo, saya merasa diri saya bukanlah apa-apa. Bahkan di satu sudut saya benar-benar merasa malu.

Ketika itu saya sedang duduk di tengah-tengah puluhan peserta musywil yang juga sama-sama menyimak Pak Saad memberi sambutan. Atau barangkali lebih tepat beliau sedang memberikan kuliah umum pada peserta musywil. Di podium itu beliau berbicara banyak tentang segala permasalahan yang sedang di hadapi Muhammadiyah dan bebeberapa hal yang saya pikir itu merupakan perkara fundamental untuk sebuah bangsa yang berkemajuan.

Saat itulah saya merasa saya harus benar-benar banyak belajar, banyak menyimak, bersikap kritis terhadap suatu hal, dan tentunya tidak pernah punya rasa malas untuk terus membaca buku-buku. Dan tentu saja tetap menulis, sebab saya merasa menulis adalah salah satu cara kita untuk beretorika. Bagaimana menyusun kata-kata agar setiap apa yang kita sampaikan dapat dimengerti oleh orang yang menyimaknya.

Itulah yang saya kagumi dari Pak Saad ketika beliau menyampaikan sambutannya pada pagi tadi (17/12). Beliau menyampaikan dengan begitu lancar, tenang dan tidak tergesa-gesa. Sehingga orang bodoh seperti saya sedikit banyak bisa menangkap apa yang di sampaikan beliau.

Saya merasa keahlian seperti itu tidak serta merta didapat. Tentunya mereka melalui proses yang sangat panjang belajar, belajar dan terus mencoba. Seperti yang di ungkapkan Malcom Gladwel dalam bukunya The Outlier yang juga pernah di ungkapkan Eka Kurniawan dalam jurnalnya, bahwa seseorang akan mendapat keahlian ketika dia mau menyisihkan waktunya selama tiga jam dalam sehari, selama sepuluh tahun. Barulah keahlian itu bisa didapatkan.

Jika teman-teman bertanya apa isi dari sambutan Pak Saad barusan. Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikannya disini atau dimanapun sebab keterbatasan yang saya miliki ini.

Selasa, 13 Desember 2016

Puisi-Puisi Fatah Anshori: Produk yang Kamu Ciptakan dan Wariskan

Berikut adalah puisi-puisi saya yang dimuat di Nusantaranews.co. bagi teman-teman yang ingin membacanya silahkan tinggal klik tulisan berikut:

Produk yang Kamu Ciptakan dan Wariskan

Minggu, 11 Desember 2016

Norwegian Wood, Haruki Murakami

Ini adalah pertama kalinya saya membaca Murakami. Novel Norwegian Wood, Haruki Murakami ini selesai saya baca dalam kurun waktu sekitar empat minggu atau satu bulan. Sastrawan asal Jepang ini benar-benar membuat saya berpikir lebih dalam tentang beberapa hal dalam penulisan novel.

Pertama penokohan dalam sebuah cerita. Saya merasa Norwegian Wood ini di tulis dengan memikirkan hal-hal itu. Psikologis seorang tokoh yang amat kuat. Seperti ini misalnya, seorang anak kecil yang tiba-tiba ditinggal ibunya. Kemungkinan-kemungkinan apa yang mungkin terjadi pada anak kecil itu? Boleh jadi anak itu meronta, menangis, dan ketakutan karena tidak biasa dengan kesendirian. Dalam novel ini Murakami memberi gambaran yang jelas tentang itu, hal ini membuat saya berpikir lagi, meskipun fiksi tetap ada pelajaran yang diambil untuk kita terapkan dalam dunia nyata.

Saya pernah membaca Eka Kurniawan dalam jurnalnya, kurang lebih ia menyebutkan bahwa setiap cerita atau novel adalah bentuk psikologis dari seorang tokoh. Mengenai apa yang ia pikirkan, apa yang ia lihat, rasakan, dengar dan pendangannya terhadap sesuatu. Hal ini benar-benar merupakan perihal unik dan setiap orang jelas berbeda satu sama lain. Barangkali sepetti itu yang di maksud Eka dalam salah satu jurnalnya, sebab saya sudah agak-agak lupa dengan apa yang Eka sebutkan. Namun hal itu membuat saya memperhatikan apa itu psikologi penokohan.

Selanjutnya yang saya dapat dari membaca Norwegian Wood, adalah cara Murakami dalam mengenalkan penulis-penulis yang pernah ia baca. Hal ini barangkali adalah serupa dengan memberikan referensi bacaan untuk pembaca bahwa novel ini merupakan novel yang ia tulis setelah membaca novel-novel tersebut. Beberapa nama penulis yang Murakami sebutkan namanya dari novel ini: Takahashi Kazumi,  Oe Ken Zaburo, Misima Yukio, Truman Capote, Updike, Scott Fitzgerald, Raymond Chandler, dan nama-nama lainnya. Dan tentu saja ini hanya dugaan saya.

Norwegian Wood ini di ceritakan dari sudut pandang Toru Watanabe, dari awal hingga akhir cerita adalah Watanabe yang bercerita tentang segala hal. Norwegian Wood ini berkisah tentang Watanabe yang memiliki ikatan dengan Naoko, semacam ikatan perasaan. Kisah di mulai ketika Watanabe mengenal Kizuki, dari Kizuki itulah dia mengenal Naoko, perempuan yang kelak ia cintai yang sebetulnya adalah pacar dari Kizuki sendiri. Memasuki dunia perkuliahan Watanabe berubah menjadi lelaki sangat berbeda setelah mengenal Nagasawa-San. Setiap malam ia pegi dan tidur dengan perempuan yang ia temui di jalan atau di kedai minum. Beberapa hal yang Murakami bahas secara serius disini menurut saya adalah beberapa hal tentang psikologis orang-orang dengan kehidupan bebas tanpa mengenal batas. Untuk keseluruhan ceritanya tentu saja tidak akan saya ceritakan semua. Sila di baca sendiri bukunya jika benar-benar penasaran.

Kebanyakan yang di katakan novel ini adalah hal-hal yang berbau sangat dewasa. Semuanya di perjelas Murakami tanpa berusaha menutup-nutupinya dengan metafora ataupun analogi. Beberapa kalimat terkesan sederhana dan benar-benar sangat mudah untuk di mengerti. Cara bertutur Murakami sangat menyenangkan, tidak terkesan muluk-muluk. Dan seolah takarannya pun pas.

Selama membaca ini saya merasa Murakami benar-benar telah berhasil membuat setting tempat yang jelas seolah-olah seperti melihat sendiri bagaimana sudut-sudut Jepang. Barangkali ini membutuhkan riset yang tidak sebentar. Dan seperti yang saya dapat dari membaca Bernard Batubara, bahwa penulis yang baik adalah penulis yang menulis bangsanya. Dari Murakami saya sedikit banyak telah mengenal Jepang. Tentang stasiun Ueno, Shibuya, bunga Narsis, dan sudut-sudut Jepang lainnya.