Senin, 24 Oktober 2016

Bernard Batubara: Surat untuk Ruth

Setelah saya membaca beberapa tulisan Bernard Batubara di blognya, tentang ulasan buku yang dia baca, tentang wawancara yang ia lakukan pada penulis lain, atau tentang tulisan-tulisan lain yang ia tulis di blognya. Saya merasa harus belajar banyak darinya tentang tulis-menulis novel.

Pada salah satu tulisan di blognya ia mengatakan, dalam menulis novel ia lebih cenderung menggunakan draf ketimbang menulis dengan spontan, seperti apa yang di lakukan Eka Kurniawan. Dari sini saya sedikit mengerti bahwa para penulis hebat itu punya cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan tulisannya.

Metode mempersiapkan draf sebelum menulis novel yang biasa dilakukan Bernard Batubara membuat saya tertarik untuk mempelajari. Dan akhirnya saya memutuskan untuk membeli novelnya "Surat Untuk Ruth" yang tidak terlalu tebal dan juga tidak terlalu tipis. Entah novel tersebut di tulis dengan menyiapkan draf terlebih dahulu atau tidak, sebenarnya saya benar-benar tidak tahu, barangkali sama tidak tahunya seperti kapan saya tiba-tiba bersin. Tapi entah kenapa saya yakin saya harus belajar dari novel ini.

Pertama kali saya membaca "Surat Untuk Ruth" saya merasa adanya kesan yang janggal. Disini narator adalah Areno Adamar. Seluruh cerita dikisahkan dari sudut pandang Are. Dan entah mengapa saya merasa narator hanya sedang berbicara pada kekasihnya ketimbang kesan berbicara atau bercerita pada pembaca sesungguhnya, ini karena narator sering mengucapkan kamu, yang artinya kamu bukanlah pembaca sebenarnya, melainkan Ruth. Seakan-akan buku ini ditulis hanya untuk di baca Ruth saja.

Barangkali novel ini adalah salah satu contoh novel kontemporer yang ditulis pada zamannya yakni di abad 20 an dengan kemewahan teknologi dan hiruk pikuk perkotaan. Bernard suka memasukkan hal-hal kecil seperti ketika tokoh mengirim pesan melalui ponsel, atau adanya gerai-gerai kopi tempat nongkrong, laptop dan lain-lainnya saya menganggap hal-hal kecil itulah yang membawa kita pada tahun-tahun tertentu. Tidak hanya itu saja Bernard juga suka memasukkan tempat-tempat menarik sebagai setting adegan di novelnya.

Jika dibandingkan dengan "Metafora Padma" cara berkelakar Bara terlihat seperti ada yang kurang. Namun di "Surat Untuk Ruth" banyak kata-kata puitis disana-sini.

Secara garis besar buku ini menceritakan sebuah percintaan dua orang remaja, Are dan Ruth. Ruth tidak bisa menerima Are meskipun ia sendiri mencintai Are. Sejak mendengar perkataan itu akhirnya Are mencoba melepas Ruth dengan menulis surat yang berisi catatan-catatan tentangnya. Karena mengetahui ini akhirnya Ruth membatalkan pernikahannya dengan Abimanyu dan memutuskan untuk menunggu kedatangan Are di Bali. Namun sampai kapanpun Ruth menunggu, Are tak akan pernah datang. Barangkali untuk lebih jelasnya sila di baca sendiri novelnya.

Jumat, 14 Oktober 2016

Eka Kurniawan: Corat-coret di Toilet

Dulu saat masih duduk di bangku sekolah dasar, pergi ke toilet adalah suatu perkara yang kalau bisa tak pernah dilakukan, kecuali jika dalam keadaan-keadaan genting. Bahkan beberapa anak rasanya sama sepertiku enggan sekali pergi ke toilet. Itulah mengapa dulu banyak sekali tragedi-tragedi memilukan, atau barangkali memalukan bagi si pelaku. Tragedi itu tidak lain adalah buang eek di celana.

Dalam cerpen Eka Kurniawan, Corat-coret di Toilet ini salah satunya mengingatkan pada saya masa-masa dimana toilet menjadi tempat untuk menyalurkan segala aspirasi yang ternyata tidak di terima di surat kabar, koran, atau media-media lainnya. Di dinding-dinding toilet saat itu terdapat banyak sekali tulisan atau barangkali Corat-coret sebab tidak hanya tulisan yang terpampang disana ada gambar-gambar aneh, mengerikan, bahkan ada juga gambar-gambar yang jika ditampilkan kan di televisi patut sekali untuk disensor, terpampang gagah didinding toilet. Itulah barangkali salah satu alasan mengapa kami dulu enggan untuk ke toilet.

Setelah membaca buku kumpulan cerpen Corat-coret di Toilet ini. Kiranyanya saya sedikit paham mengapa cerpen-cerpen saya kebanyakan tak dimuat di media-media setelah saya kirimkan dan tunggu hingga berminggu-minggu. Barangkali itu wajar saja. Setelah saya membaca cerpen-cerpen Eka dan membandingkan dengan cerpen-cerpen yang saya buat. Kiranya cerpen saya kalah dalam banyak hal.

Ibarat manusia barangkali cerpen saya kurang memiliki tangan yang kuat, kakinya lecil, dan badannya apalagi. Sehingga manapantas untuk ditampilkan dan disukai pembaca. Di cerpen-cerpen yang terangkum dalam buku Corat-coret di Toilet, Eka seperti membuat saya terlempar jauh ke masa lalu. Setting yang dibuat Eka ternyata sangat kuat. Itu saya rasakan hampir diseluruh cerpen Eka, diantaranya dalam cerpen Peterpan, Hikayat Orang Gila, Rayuan Dusta untuk Marietje, dan Siapa Kirim Aku Bunga. Dalam cerpen itu setting masa lalu yang Eka buat ternyata sungguh menawan, dan sesekali membuat saya geleng-geleng kepala. Rasanya hal semacam ini perlu saya lakukan di cerpen-cerpen saya selanjutnya. Saya kasih tahu sedikit ya kawan di cerpen-cerpen itu Eka memasukkan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi pada masa lalu dimana kisah itu sedang berlangsung.

Dan ada lagi yang rasanya saya belum mahir, yakni menjadi narator yang menyenangkan. Eka bisa membuat saya terpingkal-pingkal disana-sini. Cara berkelakar Eka terasa bebas dan cerdas, ia juga menyuguhkan analogi-analogi yang kaya dan tidak kering.

Oh iya, saya rasa di cerpen-cerpen ini Eka gemar sekali membahas pemerintahan, peristiwa-peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia. Dan satu lagi Eka sering membahas dunia-dunia mahasiswa salah satunya di cerpen Kandang Babi.

Kiranya itu yang saya peroleh setelah membaca Corat-coret di Toilet, Eka Kurniawan. Keseluruhannya silahkan kawan-kawan baca sendiri, sepertinya lebih menyenangkan jika teman-teman membacanya sendiri. Sekarang pilih mana makan es krim sendiri atau saya ceritai bagaimana enaknya makan es krim.

Minggu, 09 Oktober 2016

Ayu Utami: Saman

Narator membuka cerita ini ketika berada di New York. Mulanya saya tidak mengerti siapa yang sebenarnya menjadi Narator dalam Roman ini. Tapi karena sudah terlanjur, mau tidak mau saya lanjutkan membaca Saman dan tak terasa cerita telah habis.

Dihalaman-halaman awal bermulanya cerita ini, saya seolah sedang di ajak jalan-jalan di tengah hutan pada waktu malam yang gelap gulita tidak tahu mau di ajak kemana, sehingga yang saya rasakan agak gamang untuk melanjutkan membacanya. Namun ketika setitik cahaya mulai terlihat didepan sana langkah saya semakin cepat dan keinginan untuk menoleh kebelakang dengan serta merta sirna dari kepala saya bagai debu yang disapu topan.

Setitik cahaya itulah yang saya maksud dengan konflik cerita. Ketika konflik itu mulai tampak saya seakan-akan terseret oleh sesuatu yang menggoda barangkali seperti perempuan cantik. Saya tergoda untuk selalu membaca dan dengan segera ingin mengetahui bagaimana kelanjutan ceritanya.

Ketika membaca Saman ini, saya teringat dengan cerpen M Aan Mansyur yang berjudul Kukila. Saman dan Kukila mempunyai kemiripan dalam hal Narator. Keduanya diceritakan oleh lebih dari satu Narator. Di Saman barangkali ada empat Narator yang bercerita. Pertama Laila, kedua Shakuntala, ketiga Saman atau Wisanggeni, yang terakhir adalah Yasmin. Meski dibentuk oleh empat narator cerita ini tetap kokoh dan tidak terkesan acak-acakan. Barangkali statemen: dunia akan hancur jika ada lebih dari satu Tuhan yang berkuasa. Di Saman ada lebih dari satu tuhan (Tuhan yang saya maksud dalam sebuah cerita adalah Narator) dan cerita tetap kokoh malahan menjadi semakin menarik.

Dan akhirnya saya akan mengangguk setuju dan sama sekali tidak heran jika Roman ini mendapat anugrah Pemenang Sayembara Roman 1998 versi DKJ. Saya suka cara Ayu Utami beralih peran dari narator satu ke narator lain. Pada salah satu narator Ayu Utami juga memerankan menjadi narator laki-laki, saya rasa itu tidak mudah dan butuh riset bagaimana menjadi seorang laki-laki sementara ia sendiri adalah perempuan. tentu saja ini tidak bisa dianggap sepele barangkali butuh riset yang mendalam mengenai psikologis, pandangan, pola pikir seorang laki-laki. Entah bagaimana cara Ayu Utami melakukan hal ini. Namun paling tidak dari Ayu Utami saya belajar bagaimana membuat cerita dengan narator yang lebih dari satu.

Oke baiklah saya akan ceritakan sedikit jika teman-teman ingin mengetahui bagaimana isi dari Roman ini. Cerita ini dimulai ketika Laila, yang menjadi narator pertama bekerja di sebuah pertambangan yang beroperasi di tengah laut mengalami sebuah kecelakan besar. Disitulah pertama kali ia melihat Sihar, seorang laki-laki pekerja tambang yang telah memikat hatinya. Laila tertarik padanya meskipun ia tahu Sihar telah beristri. Dari Sihar pulalah kemudian Laila teringat akan seseorang yang pada waktu kecil telah membuatnya terkagum-kagum yakni, Saman.

Wisanggeni adalah nama yang dipakai sebelum menggunakan nama Saman. Wis kecil adalah seorang anak yang dibesarkan di sebuah kampung, ketika ia kecil ibunya hamil dan ketika usia kandungannya mencapai tujuh bulan tiba-tiba bayi yang berada dikandungan yang kelak akan menjadi adiknya jika lahir, entah mengapa pada suatu hari tiba-tiba menghilang janinnya hilang. Dan kejadian ini berlanjut selama tiga kali ibunya hamil. Pada kehamilan ketiga adik Wis telah lahir namun tidak lama adiknya meninggal. Semenjak itu Wis kecil mendengar suara-suara aneh yang suka berbeisik didekat tengkuknya. Namun ketika Wis menoleh ia tak mendapati apa-apa.

Dari situlah saya mulai menikmati cerita, ketika membaca saya tiba-tiba teringat dongeng ibu saya pada waktu kecil kejadiannya persis yang dialami Ibu Wis. Ada makhluk tak kasat mata yang suka mengambil janin yang berada di kandungan.

Wis percaya bahwa saudara-saudara itu tidak benar-benar mati, ia menganggap mereka masih ada. Dan suara-suara itulah yang kelak suka muncul saat Wis berada dalam keadaan genting. Kisah ini mengambil setting pada masa orde baru. Pada masa ia beranjak dewasa Wis memilih untuk untuk menjadi Pastur dan ingin di tugaskan di tempat yang jauh.

Di Perabumulih Wis menjalani hari-hari sebagai seorang pastur. Sebelum sebuah kejadian mengubahnya untuk menjadi seorang aktivis penyelamat petani karet. Mulanya gara-gara Upi seorang gadis perempuan yang sakit jiwa. Ia dipasung  dalam sebuah kandang bambu. Kemudian ia membangunkan kandang yang lebih layak. Setelahnya Wis memperbaiki kebu karet warga yang hampir punah.

Setelah mengetahui hal ini tragedi-tragedi mengangkang mulai bermunculan. Penculikan yang dilakukan oleh pemerintah. Adegan-adegan asmara dewasa. Serta masih banyak lagi. Kira-kira tidak cukup jika saya ceritakan disini. Jika masih penasaran langsung baca saja bukunya, dan silahkan nilai sendiri buku ini.

Senin, 03 Oktober 2016

Bernard Batubara: Metafora Padma

Ini adalah buku ke sembilan Bernard Batubara. Metafora Padma merupakan buku kumpulan cerpen yang terdiri dari 14 cerpen. Sebelum membahas lebih jauh tentang buku ini. Lebih baik saya utarakan terlebih dahulu bahwa ini adalah salah satu buku yang istimewa. Kenapa? Pasti kalian akan tanya seperti itu. Baiklah akan saya jawab. Pertama buku ini saya dapatkan gratis tis tis, langsung di kasih penulisnya setelah saya menjawab pertanyaan, apa judul buku pertama Bara? Tentu saja saya jawab dengan lantang, keras (tanpa microphone) dan sangat percaya diri 'Angsa-angsa Ketapang' meski saya belum pernah baca buku kumpulan puisi itu. Setidaknya saya tahu judulnya.

Kedua buku ini ada tanda tangan Bernard Batubara dan yang diberikan untuk Fatah Ans(h)ori, meski salah tulis tidak ada huruf h dalam kata Anshori. Tapi tidak apa-apa paling tidak ia telah mendengar nama saya dan telah menuliskan nama saya, dalam sebuah kertas. Ketiga buku ini adalah buku yang dikerjakan secara bersama-sama. Desain sampul langsung dari Eka Kurniawan, salah satu penulis yang sering saya baca tulisan atau jurnalnya. Ilustrasi dari Ega Lathoya, saya tidak begitu tahu tentangnya tapi saya suka ilustrasi-ilustrasi yang ia buat untuk cerpen-cerpen Bara. Dan di ucapan terimakasih Bara juga menyebut nama Dea Anugrah, dia baru saja menerbitkan buku cerpen dengan judul 'Bakat Menggonggong' dan beberapa cerpennya ternyata telah banyak di muat di berbagai media. Ternyata perjalanan menulis saya masih jauh dan harus banyak belajar. Sisakan 3 jam dalam sehari untuk membaca dan menulis maka 10 tahun lagi akan kau dapatkan apa itu yang dinamakan keahlian, kurang lebih seperti itu kata Malcolm Gladwel.

Pertama kali saya membaca Bernard Batubara yakni dari buku kumpulan cerpenmya yang berjudul Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri, mungkin dari situlah sekarang saya keranjingan menulis cerpen. Jika dibandingkan dengan buku kumpulan cerpennya yang sebelumnya Metafora Padma ini terkesan agak berani. Dalam beberapa cerpen di Metafora Padma agaknya Bara menulis dengan gaya realisme. Semisal dalam cepen yang berjudul Sepenggal Dongeng Bulan Merah, yang diakhir-akhir cerita menggambarkan Manulais, seorang lelaki yang berjalan menuju bulan merah dan menemukan perempuan yang ia cintai didalam bulan merah itu. Atau dalam cerpen Gelembung, cerpen ini singkatnya berkisah tentang seseorang yang bangun dari tidurnya. Dan menemukan dirinya dilingkupi gelembung, semacam gelembung sabun yang besar dan tidak bisa pecah. Hal-hal semacam itu didunia nyata barangkali tidak ada.

Jika dibandingkan dengan buku cerpen Bara yang sebelumnya, Jatuh Cinta adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri. Yang sebagian besar cerpen-cerpennya mengambil POV orang pertama. Di Metafora Padma Bara entah mengapa mengambil POV yang bermacam-macam, omnisciene, dalam cerpen Percakapan Kala Hujan dan Alasan, misalnya. Disini seolah Bara menunjukkan kematangannya dalam bercerita.

Didalam cerpennya yang pertama, Perkenalan. Saya melihat A.S. Laksana bercerita dalam Murjangkung. Dalam cerpen itu yang menjadi narator adalah arwah yang sedang merasuki seorang anak. Disini Bara menggunakan narator yang tidak afdol seperti kebanyakan cerpen A.S. Laksana dalam Murjangkung. Tidak hanya itu saja jika A.S Laksana lebih hobi menjadikan setan sebagai narator. Di Metafora Padma akan kita temukan barang-barang atau benda yang sering kita jumpai dalam sehari-hari bisa bercerita dan mengungkapkan monolog interiornya. Semisal dalam cerpen Rumah dan Solilokui Natalia.

Keseluruhan saya suka cerpen-cerpennya, setidaknya menunjukkan pada saya bahwa saya harus banyak belajar, belajar dan belajar terus sebab begitu banyak teknik atau hal-hal dalam penulisan yang belum saya ketahui. Oh hampir lupa, di buku kesembilan Bara ini. Menurut saya, Ia terlihat lebih dewasa. Banyak sekali kalimat-kalimat filosofis yang berjejalan di cerpen-cerpennya. Semisal di Metafora Padma itu sendiri. Silahkan baca sendiri jika tidak percaya. Satu lagi, setelah baca buku ini saya baru tahu kalau Padma itu nama lain dari Lotus.