Kamis, 30 Juni 2016

Sandal Jepit

1.
Sebenarnya aku pun punya impian, Layaknya kalian.

2.
Jika nanti ada perempuan, yang mau menemaniku.

3.
Aku ingin selamanya kita seperti: Sepasang sandal.

4.
Kau tahu sandal cukup sederhana, maka aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Sesederhana sepasang sandal.

5.
Dalam kemasan selalu bersama. Kemana-mana juga bersama, berjalan di becek lumpur bersama.
Berjalan di aspal pun bersama.

6.
Bukankah ia selalu menerima dan senantiasa bersyukur. Tak pernah menolak anugerah dari Tuhan. Berupa kaki-kaki itu, Entah kaki setan atau kaki manusia yang mengenakannya. Mereka berdua tetap bersama, tak pernah berdebat (hanya ingin dikenakan kaki yang sopan-sopan saja)

7.
Selalu bekerja bersama, dewasa dan saling menjaga. Ketika orang asing di masjid menculik salah satunya, salah satunya lagi selalu minta untuk diculik juga. Bukankah itu cukup untuk menunjukkan kesetiaan mereka.

8
Mereka pun menua bersama. Penuh bintik hitam dibadan mereka bersama. Bahkan mati pun mereka tetap bersama. Ketika salah satu lehernya putus, salah satunya lagi akan merenung disampingnya. Seolah menangis dalam diam, merenungi kekasihnya yang telah wassalam.

9.
Tak mungkin yang masih hidup itu selingkuh. Sebab sepasang kaki itu telah kawin lagi. Mereka macam ayam jago yang suka berganti bini. Lihatlah sepasang kaki itu sudah membeli sepasang sandal yang baru.

10.
Oh asyiknya kata sepasang kaki itu mengenakan sandal baru. Ia gembira ria seperti pengantin baru.

Plosowahyu, 1 Juni 2016

Untuk Flamboyan(ku)

Entah sejak kapan kau berdiri disana
Pernah kubayangkan membangun rumah,
Dilengan-lenganmu yang perkasa itu.
Pasti menyenangkan bisa tidur sambil,
Menghirup harummu.

Beberapa bulan yang lalu kecantikanmu nampak.
Aku tak menyangka kau secantik itu,
Bunga-bunga berwarna jingga hinggap di sela-sela rambutmu yang hijau.
Aku bertanya-tanya siapakah namamu?

Pada bambu-bambu disampingmu,
Ia hanya mendesis
Pada pohon mangga,
Ia menatapku sinis.
Pada rumput-rumput dibawahmu,
Ia sibuk menatap matahari.

Kau tumbuh cepat seperti perempuan,
Yang kutaksir,
Menawan dan membuatku kasmaran.

Aku pikir sudah delapan kali musim,
Kau lewati dengan kesabaran,
Yang dimiliki ibu.

Sore ini kau masih membisu
Dari balik jendela ini aku memperhatikanmu.
Kau sudah siap untuk menanam anakmu,
Benih-benih baru sudah menghitam disekujurmu.
Kau pasti tahu itu.

Tepat dua hari yang lalu,
Aku tidak sengaja melihat saudaramu (mungkin)
Tertangkap wajahnya di buku puisi
Yang kudapat di perpustakaan umum kota.

Saat itu aku tahu namamu,
Flamboyan, Pohon Flamboyan
Didepan Rumahku. (24 6. 2016)

__(sore ini kutepati janjiku untuk memenjarakanmu dalam sebuah sajak. Yang kutulis saat perutku tengah di hajar rasa lapar)

Ladang Padi

Kabut masih mengambang pagi itu,
Memotong padi muda adalah larangan yang kau buat untukku.
Aku mafhum tapi diam,
Kau masih saja banyak omong,
Tidak sadar bahwa usiamu telah mengalahkan segalanya.

Padi-padi hijau atau kuning,
Sama saja, mereka tahu siapa engkau.
Juga matahari yang akan mengusir,
Kabut-kabut ini.
Di balik pohon-pohon kertas itu,
Ia mengintip sekaligus mendengar.

Kebohongan mu.

Merekalah yang diam-diam mengabariku,
Membisiki dengan bahasa mereka.
Bahasa pagi,
Bahasa kabut,
Bahasa daun,
Bahasa puisi. (24 6.2016)

__(ku tulis puisi ini ketika kedua kakiku berbalut lumpur, di bawah teduhnya sepasang pohon jati yang terlihat mesra.)

Tumpukan Jerami

Aku lebih suka pada temanmu,
Ia lebih memilih duduk mendengar gamelan di tabuh
Dari handphone bututnya,
Ketimbang tidur dipagi hari.

Tumpukan jerami itu,
Kau perlakukan bagai bantal dan kasur
Kau terlelap di atasnya bagai bayi kemarin sore.
Menyedihkan.

Suara gamelan yang barusan telah lenyap
Di tindih suara rebana keagamaan.
Mungkin temanmu sudah insaf.
Sementara kau baru menguap.

Sidorejo, 24 juni 2016

Alamat Redaksimu

Hatimu ibarat surat kabar yang selalu membuatku
Riang tatkala melihatnya.
Enak dipandang
Terkadang membuatku mabuk kepayang.

Kau tak usah khawatir,
Sudah berkali-kali cintaku ditolak,
Oleh majalah agama, oleh koran pulau Jawa, juga oleh penerbit-penerbit buku itu.

Hari itu aku sengaja, aku menulis tiga judul puisi
Setelah tahu alamat redaksimu
Kukirim ketiga nya dengan malu-malu,
Dengan gemetaran yang merambati dada.

Paginya kutunggu kabar darimu,
Ah ternyata, hatimu sedang tak berkenan
Memuat puisi dariku.

Mungkin lusa atau kelak hatimu berkehendak,
Memuat puisi-puisi yang kukirimkan itu.
Sebab aku telah benar-benar jatuh cinta,
Padamu saja dan surat-surat kabar itu.

Karena itu aku tak pernah berhenti menulis puisi.

Sidorejo, 9 Juni 2016

Mendidik untuk Berpikir

Kebanyakan para siswa memilih soal pilihan ganda ketimbang soal essay ketika ditawari guru mereka, model soal saat ulangan nanti. Asumsi mereka, soal pilihan ganda dalam ulangan lebih mudah untuk menjawabnya ketimbang soal dalam bentuk essay. Seperti yang kita ketahui soal pilihan ganda berarti soal yang jawabannya sudah tersedia, kita tinggal memilih mana jawaban yang tepat. Sementara soal essay ialah soal yang menuntut kita mencari jawabannya sendiri yakni dengan cara menuliskan jawaban yang tepat pada jawaban soal essay tersebut.

Saya teringat ketika membaca sebuah artikel dalam koran Kompas (27/6) kemarin, seorang cendikiawan yang memperoleh penghargaan, Ignas Kleden mengatakan, pendidikan dalam bangsa ini tidak mengajarkan orang untuk berpikir, melainkan mengajarkan orang untuk tunduk pada kekuasaan. Kurang lebih seperti itu.

Kenapa bisa demikian? Itu pertanyaan pertama yang terlintas dikepala saya. Ia lantas menjelaskan dalam artikel tersebut, kebanyakan pendidikan kita mengajarkan tentang teori-teori. Sehingga kita hanya menghapal dan mengulang-ulang teori-teori yang di suguhkan itu. Tanpa pernah memikirkannya.

Secara tidak langsung kita telah di doktrin oleh teori-teori tersebut. Yang mana kita dengan mudah menerima teori-teori tersebut tanpa pernah mengkritisinya. Ini sama seperti ketika seorang suka menggunakan dalil-dalil kitab suci untuk menghakimi suatu masalah. Padahal ayat-ayat dalam kitab itu memiliki penafsiran. Dan penafsiran itu sendiri didapat ketika kita mengintegrasikan seluruh ayat yang ada, tidak hanya menggunakan sebagian dari ayat-ayat itu saja. Ini karena satu ayat, dalam buku Agus Mustofa di jelaskan penjelasannya di ayat yang lain, semacam untuk melengkapi kekurangannya.

Dalam artikel Kompas tersebut Ignas mengatakan, ketika seseorang hanya memiliki martil, ia akan cenderung memandang seluruhnya sebagai paku. Ini sama seperti seseorang yang selalu menggunakan teori-teori tanpa pernah berpikir atau membandingkan dengan berbagai konteks yang lain terlebih dahulu, sehingga terjadilah kesalahan tempat atau waktu dalam menggunakan alat berupa teori tadi.

Jika Pendidikan di negeri ini masih seperti itu, para pelajar enggan untuk berpikir, tidak mempunyai sifat yang kritis. Kemungkinan kita hanya akan melahirkan para penghapal-penghapal yang tekstual saja, dan mungkin juga, tidak akan pernah melahirkan ilmuan atau pemikir-pemikir yang melahirkan teori baru.

Saya sering menjumpai ketika ujian akan berlangsung. Banyak sekali mahasiswa di lorong-lorong kampus, di kelas, juga di tempat-tempat biasa mahasiswa nongkrong. Mereka tengah sibuk membaca materi ujian, yang mana ketika membaca mereka selalu mengulang-ulang setiap sub bab yang sekiranya sulit. Ini seolah-olah mereka benar-benar sedang menghapal bukan berpikir untuk memahami.

Secara tidak sadar metode ujian pilihan ganda telah mengajarkan kita untuk menghapal dan tunduk pada kekuasaan. Bagaimana mungkin kita di berikan pertanyaan dan disuruh menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pada jawaban-jawaban yang telah disediakan. Bukankah itu sebuah perampasan hak kebebasan berpikir. Kita, hanya dituntut untuk berpikir seputar jawaban mana yang lebih tepat. Sedikitpun tidak memberi kesempatan kita untuk mencari alternatif jawaban lain.

Berbeda ketika mereka dibiarkan untuk berargumen memberikan jawaban atas soal-soal itu berdasarkan pemahaman mereka. Meskipun kemungkinan dalam prakteknya jawaban atau argumen-argumen yang mereka kemukakan hanya akan mengocok perut alias mengada-ada saja. Tidak rasional. Namun yang tidak kita ketahui Adalah suatu kegiatan yang mana mereka telah berpikir untuk memberikan jawaban. Paling tidak mereka telah belajar memulai proses berpikir.

Jumat, 24 Juni 2016

Menilai Orang dari Sikap

Dalam perkuliahan seringkali kita sebagai mahasiswa selalu mengejar-ngejar angka. Bingung ketika IPK kita dibawah angka 3. Frustasi apabila dalam ulangan tak dapat mengerjakan soal dengan lancar. Seolah-olah apa yang barusan kita isikan dalam lembar jawaban kurang tepat.

Maka yang ada biasanya, kita mudah untuk melakukan kecuranga-kecurangan. mencontek teman. Melihat jawaban teman tanpa sepengetahuannya. Membuka catatan kecil yang kita buat saat belajar tadi malam. Atau yang sekarang sedang trend, yakni membuka smartphone lantas bertanya apa saja pada mbah Google. Luar biasa, jawaban yang kita tanyakan keluar semua.

Dalam dunia pendidikan perihal semacam ini bukan lagi mengejutkan. Malahan sudah menjadi rahasia umum. Dari anak SD hingga anak perguruan tinggi sudah tahu semua. Seakan ini merupakan budaya dalam dunia pendidikan kita.

Pemerintah tidak hanya diam mengetahui ini. Budaya mencontek yang kiranya sudah menjadi lingkaran setan ini seakan amat sulit untuk diputus. Apalagi seiring kemajuan teknologi, kecurangan-kecurangan dalam dunia pendidikan semakin banyak macamnya.

Pemerintah membuat aturan dengan mengeluarkan dua puluh paket soal. Siswa pun punya cara sendiri, dan tak kehabisan cara untuk mengahdapi upaya pemerintah dalam memutus rantai kecurangan itu. Ada saja cara mereka untuk menghadapinya. Seakan kreativitas mereka tak pernah kering. Namun dalam waktu dan tempat yang salah.

Pada dasarnya Si Murid ingin mendapatkan nilai yang bagus di atas rata-rata, karena memang sebuah tuntutan. Ketika siswa SD masuk ke SMP, SMP ke SMA, dan seterusnya, bahkan ketika hendak melamar pekerjaan, rasanya semua instansi mengharapkan nilai raport yang baik. Tidak ada angka dibawah rata-rata. Maka tidak salah jika siswa atau Si Murid selalu ingin mendapat angka yang memuaskan di semua bidang entah bagaimanapun caranya. Halal atau haram seakan tak jadi soal. Maka disinilah kita sebenarnya telah mengalami yang namanya defisit moral.

Mungkin akan lain ceritanya jika setiap instansi menerima pelamar tidak selalu memprioritaskan nilai dalam pendidikan formal. Yang kebanyakan selalu menunjukkan kecerdasan intelektual saja, padahal sebenarnya manusia memiliki berbagai macam kecerdasan. Seperti kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, misalnya.

Namun selanjutnya akan muncul pertanyaan, bagaimana cara mengukurnya? Bagaimana cara kita melihat kecerdasan-kecerdasan itu?

Prof. Renald Kasali dalam Kursus Indonesia X pernah mengibaratkan ini sebagai fenomena Gunung Es. Yang selalu demikian. Puncak gunung selalu terlihat lebih sedikit dibandingkan dasar gunung yang tertutup oleh air laut. Apa artinya ini? Puncak gunung yang terlihat itu diibaratkan sebagi ijazah, nilai, atau gelar yang didapat seseorang. Dan terlihat secara kasat mata. Namun yang berada didasar laut dan sejatinya lebih banyak adalah merupakan 'sikap' yang dimiliki seseorang.

Itulah yang lebih penting 'sikap'. Sikap tak pernah terdeskripsikan dalam nilai-nilai yang terrulis di ijazah. Tentang kejujuran, ethos kerja, dan cara menghadapi seseorang saat sedang berinteraksi, misalnya. Ini tak pernah dinilai dalam pendidikan formal. Padahal mungkin ini lebih krusial dari nilai-nilai itu. Pada dasarnya sikap merupakan penggambaran dari ilmu dan pengetahuan-pengetahuan yang kita peroleh, jika ilmu seseorang manfaat niscaya akan tercermin ke dalam sikapnya sebagai sebauh pengaplikasian.

Sebenarnya mudah saja mengetahui sebaik apa sikap seseorang, yakni dengan melihat tigkah lakunya saat tengah berinteraksi dengan kita. Bagaimana cara ia berbicara, bagaimana cara ia menyampaikan pendapat, kurang lebih seperti itulah.

Maka dari itu rasanya kita harus sadar nilai bukankah prioritas utama dalam menentukan kecerdasan atau potensi sesorang. Melainkan bagaimana sikap sesorang dalam menghadapi sesuatu. Jika begini rasanya perubahan mental bukanlah cita-cita yang amat sulit untuk diwujudkan. (25 6. 2016)

Perubahan Selalu Menghasilkan Resistensi

Ternyata tidak cukup hanya punya konsep atau rencana-rencana tentang suatu tindakan. Tanpa di imbangi dengan kepandaian kita dalam menyampaikan konsep kita barusan.

Sore itu adalah sore yang saya tunggu-tunggu, sehari sebelumnya saya sudah menyempatkan banyak waktu untuk sore itu. Menuangkan seluruh gagasan yang menyesaki kepala kedalam proposal. Oleh karena itu waktu saya berlama-lama di perpustakaan terpotong.

Dari jam sepulung pagi hingga jam dua dini hari saya rela berlama-lama didepan komputer untuk menyelesaikan proposal yang besok sorenya harus sudah di ajukan pada ketua kemahasiswaan. Apa yang mendasari kegiatan, apa yang menjadi tujuan, landasan, serta segala hal yang menyangkut kegiatan itu saya tumpahkan didalam proposal tersebut. Dalam benak, saya sudah benar-benar yakin dan kegiatan ini harus di setujui.

Sorenya saya dan dua orang teman menghadap pada wakil kemahasiswaan. Dan tahu apa yang terjadi? Benar-benar diluar dugaan kegiatan tidak disetujui. Saya pikir tidak ada yang salah dengan kegiatan tersebut.

"Orang-orang disini tak gemar membaca, seperti kalian yang tak gemar baca buku pelajaran.", Begitu kata Beliau.

Dan ketika itu saya kembali melakuakan kesalahan. Tak bisa menentang beliau, karena satu hal saya kurang tegas berbicara didepan orang, tak berani menatap mata orang yang saya ajak bicara. Mengetahui, orang itu punya jabatan tinggi dalam suatu lembaga.

Namun ketika saya telah keluar ruangan. Benar, saya sangan kecewa pada diri saya sendiri. Karena masih punya rasa takut. Rasa takut itu adalah takut dipandang jelek orang lain, takut menentang orang tua, kurang tegas, juga sifat saya sendiri yang kurang kritis menyikapi suatu perkara.

Padahal sebenarnya saya bisa menjawabnya, lontaran-lontaran alasan yang tidak realistis, kenapa kegiatan itu tidak disetujui. Pertama, memang dari sebuah masalahlah mengapa suatu tindakan itu perlu dilakukan. Jadi memang karena masyarakat kita tak punyai budaya membaca buku, oleh karena itu perlunya kita mengajak mereka untuk membaca buku. Kita selalu mencoba dan terus berupaya menyelesaikan masalah yang kita tangkap. bukankah, semestinya begitu?

Kedua memang saya sendiri yang harus banyak belajar. Saya begitu bodoh, memangapa saya takut di benci orang, takut tidak disukai orang, bukankah yang paling kita takutkan hanya di murkai Allah. Jika kau pernah membaca biografi tokoh-tokoh besar dunia, mereka adalh orang-orang yang dibenci lingkungan karena gagasan atau tindakannya yang berbeda dari orang kebanyakan. Pak Amien Rais hampir di tembak aparat negara karena mengubah sistem pemerintahan menjadi demokrasi. Namun lihat kini Pak Amien Rais terkenal sebagai Bapak Reformasi.

Sekali lagi saya harus berani berpegang pada prinsip, tidak plin-plan seperti orang tak berpendidikan tak mengenal ilmu pengetahuan tak mengenal agama. Sehingga tidak tahu mana yang baik dan buruk. Sudah seharusnya kita berpikir menggunakan akal, dan senantiasa belajar. Memang pada dasarnya perubahan selalu terhambat oleh bermacam-macam resistensi.

Berpegang Pada Prinsip Kebajikan

Jangan berusaha membuat semua orang menyukaimu, tapi berusahalah untuk menjadi orang baik. Itu saja sudah cukup.

Awalnya saya memang seperti itu, inginya apapun yang saya kerjakan semua orang menyukainya. Entah itu kinerja saya, sikap saya, atau pun pendapat saya. Saya selalu berusaha agar setiap orang, tidak ada yang membenci apa yang saya kerjakan.

Sehingga yang terjadi saya selalu berbuat apa yang kiranya membuat orang disekitar saya senang. Meskipun terkadang saya sendiri kurang suka. Namun kebiasaan ini terus saya lakukan hingga pada akhirnya saya sadar, bahwa ini hanyalah pekerjaan yang percuma.

Ketika itu di kampus saya sedang terjadi perhelatan akbar untuk memperingati hari ulang tahun kampus yang ke sepuluh. Kebetulan waktu itu saya termasuk dalam panitia penyelenggara. Acara tersebut berlangsung selama dua minggu. Selama dua minggu itu berbagai acara telah kami, panitia susun sedemikian rupa. Sesuai rencana. Selama dua minggu berlangsung, berbagai perlombaan antar kelas di selanggarakan sesuai jadwal.

Dan ketika acara berlangsung, pada salah satu perlombaan terjadi kejadian yang tak pernah saya duga sebelumnya. Yakni adanya ketidaksepahaman antara kelas saya dan tim panitia. Tentu saja teman dari panitia ataupun kelas. Menunjuk saya sebagai mediator ketidaksepahaman atau lebih tepatnya 'masalah' tersebut.  Kejadian itu kurang lebih hanya masalah sepele, itu menurut saya namun tidak bagi mereka yang tengah berseteru.

Alhasil pada suatu malam saya di adili oleh banyak teman. Mereka mengungkit-ungkit tentang kebijakan panitia dalam menjalankan peraturan hasil Technical Meeting. Kenapa tidak sesuai dengan kenyataan. Saya sendiri tidak tahu jelasnya sementara dalam beberapa hari itu antara pihak Panitia dan kelas selalu mengeluhkan kejadian itu pada saya. Namun yang saya tangkap, apa yang dikeluhkan panitia dan teman sekelas benar-benar berbeda.
Sehingga saya benar-benar bingung mana yang benar dan mana yang salah antara kelas saya dan pihak panitia. Tidak mungkin saya membela sepihak karena saya berada dalam posisi kedua-duanya. Maka pada malam itu pula saya memberikan pendapat yang saya kira sudah seobyektif mungkin. Namun mereka tetap tidak bisa menerima.

"Bagaimana pun mereka harus meminta maaf pada kita!", Bentak salah seorang teman pada saya.

Kemudian ketika saya mencoba memberi penjelasan, dengan mengambil contoh teladan Nabi Muhammad yang mudah memaafkan. Mereka tetap tidak bisa menerima.

"Itu Nabi Muhammad, bukan kita!", Bentaknya lagi. Saya hanya bisa mengelus dada.

Dan yang paling tidak bisa saya terima ketika salah seorang teman berucap pada saya, Kelas kita itu sudah enak di ajak baik ya oke, di ajak jelek ya oke.

Maka ketika itu saya sadar, sampai kapanpun kita tidak akan bisa membuat semua orang menyukai kita atau sependapat dengan kita, meskipun kita sendiri mengira bahwa apa yang kita lakukan sudah baik. Namun yang terpenting adalah berusaha untuk selalu menjadi baik sesuai pedoman yang telah diajarkan dalam Al-Quran.

Jika seperti itu kita akan menjadi orang yang teguh, kuat pendirian karena berpegang pada prinsip. Dan menjadi orang yang mengerti sekaligus faham. sehingga kita menjadi orang yang mempunyai dasar, ibarat rumah kita telah mempunyai fondasi, sehingga kita mamapu berdiri kokoh.

Tidak seperti apa yang diucapkan teman saya yang terakhir, jika seperi itu sama halnya kita dengan orang plin-plan. Mudah di jerumuskan lingkungan. Dan tak punyai ketegasan dalam mengambil keputusan.

Jadi, cukup untuk selalu berbuat berdasar prinsip kebajikan. Tidak peduli banyak orang yang membenci. Bukankah rasul-rasul Allah juga seperti itu dulu, banyak di benci kaumnya karena menyampaikan kebenaran.

Jumat, 10 Juni 2016

Menumbuhkan Gerakan Literasi dari Nge-blog

Sabtu pagi (11/6) perpustakaan Lamongan menjadi semacam tempat idaman bagi para pecinta blog. Sejak jam delapan pagi satu persatu orang berdatangan, mulai dari remaja hingga ibu-ibu pun turut meraimaikan acara. Meski saat acara berlangsung peserta tak lebih dari tiga puluh orang namun acara tetap berlangsung sebagaimana mestinya.

Seluruh peserta menyimak dengan seksama materi yang disampaikan oleh Bapak Agus Nur Buchori tentang apa itu blog, manfaat, macam-macam serta lainnya. Beberapa juga ada yang baru memulai. Sehingga ada juga yang masih awam mengenai blog. Namun ini tidak jadi masalah selama semangat untuk terus belajar masih ada. Seperti saat acara pelatihan ini berlangsung, beberapa yang masih awam mengenai blog, lebih aktif bertanya tentang apapun mengenai blog. Hingga akhirnya mereka tahu, dan berhasil membuat blog.

Kegiatan yang diadakan oleh Perpustakaan Kabupaten Lamongan bersama FLP Lamongan ini kiranya sangat bermanfaat. Selain sebagai pengenalan tentang kemajuan teknologi informasi juga turut serta dalam menumbuhkan gerakan literasi dari kegiatan Nge-blog.