Sabtu, 26 September 2015

Pengabdian dan Tanggung Jawab

Ketika kita memandang pekerjaan sebagai suatu yang dapat meningkatkan harga diri, status sosial, dan atau gengsi diri. Tanpa pernah menyadari bahwa didalamnya terdapat sebuah pengabdian dan tanggung jawab. Maka bersiap-siaplah mendapat kekecewaan yang amat sangat, ketika suatu pekerjaan yang kau punyai saat itu direnggut dari dirimu.

Kebanyakan orang pada umumnya, ketika mendapat pekerjaan yang boleh dibilang berpangkat tinggi. Ia akan merasa bahwa dirinya memiliki strata sosial yang lebih tinggi dari pada masyarakat pada umumnya. Sehingga yang terjadi Ia amat senang dengan pujian atau sanjungan-sanjungan mengenai pekerjaannya.

Sehingga kemungkinan besar Ia lupa dengan sesuatu yang amat penting yang tengah Ia emban dari pekerjaannya, yaitu pengabdian dan tanggung jawab. Pun mudah sekali kita menilik orang yang lupa akan dua hal penting dalam sebuah pekerjaan.

Pertama, orang tersebut akan merasa bangga sekali ketika mendapat mendapat pujian atau sanjungan pekerjaan yang disandangnya. Kedua, Ia sangat mencintai pekerjaan yang tengah direngkuhnya dan enggan untuk melepaskannya. Ketiga, seperti yang biasa dinyanyikan oleh band papan atas 'Slank'. Sedikit bekerja banyak mintanya. Alias malas dalam bekerja tapi giat mencari laba. Mungkin inilah yang dikatakan, cinta pekerjaan tapi tidak cinta bekerja. Sebenarnya masih banyak lagi cirinya, jika kita mau memetani satu persatu. Tapi karena keterbatasan saya, hanya mampu mneyebutkan sedikit saja.

Lantas bagaimanakah, ciri-ciri orang yang tak lupa dengan hal dua hal penting diatas? Kiranya cukup kebalikan dari ketiga ciri yang baru saja disebutkan.

Yang sering kita tidak sadari, pekerjaan atau jabatan bukanlah merupakan suatu hal yang kekal. Ada masanya Ia akan pergi meninggalkan kita. Itu artinya pekerjaan atau jabatan hanyalah titipan sementara dari Nya. Atau ibarat amanah yang dipercayakan oleh Allah untuk kita. Maka menjalankan dengan baik adalah kunci terhidar dari segala kekecewaan terenggutnya pekerjaan.

Selasa, 22 September 2015

Belajar Bermain

Belajar. Mengingat kata itu, yang terlintas di pikiran adalah potongan-potongan kejadian masa kecil. Dimana Ibu senantiasa sabar menghadapi anaknya ini yang sungguh keterlaluan nakalnya. Disuruh belajar malah asyik bermain. Tapi entah dengan berapa kalilipat kesabaran Ibu senantiasa sabar menemani waktu belajarku.

Dulu Aku menganggap belajar adalah suatu kegiatan yang amat menjemukan. Yang harus selalu kulakukan setiap hari sehabis sholat maghrib. Belajar apalagi kalau bukan belajar membaca, mengaji, dan menulis. Semua itu karena kehendak ibuku.

Meskipun pernah sekali dua Aku lebih memilih bermain dari pada belajar bersama ibu. Tetap saja tak terlintas raut muka kesal melintang di wajah ibuku. Sempat aku bertanya dalam benak. Mengapa ibu tidak marah lantaran aku memilih bermain dari pada belajar pada waktu itu.

Seiring berjalannya waktu, detik menjadi menit. Menit berganti jam. Jam ditelan hari. Hari bersatu dengan tahun-tahun yang berjalan sebagaimana mestinya. Sudah tidak mungkin lagi bagi Ibu untuk menemaniku belajar menyelesaikan soal-soal matematika yang semakin pelik urusannya. Atau mengajariku tentang hukum-hukum fisika yang syarat akan keputus asaan dalam mengerjakan. Lantaran rumus-rumusnya yang kian hari kian panjang saja.

Sudah tidak mungkin lagi ibuku mengajariku tentang semua itu. Toh Ibuku hanya seorang lulusan sekolah menengah.

***

Sehingga semua nya harus kujalani sendiri. Kuhadapi sekuat tenaga. Tanpa henti pernah minta bantuan lagi. Kini semuanya terserah kehendakku entah belajar atau tidak usai sholat maghrib, sekarang bukan lagi urusannya. Seolah Ia selalu menyetujui setiap apa yang kukerjakan.

Tapi ternyata dari situlah aku mengerti bahwa ibuku adalah orang yang amat mengerti tentang hakekat belajar. Ia tahu bahwa hal yang dinamakan belajar bukanlah sesuatu yang memiliki arti sesempit apa yang pernah kuduga sewaktu kecil.

Ia percaya padaku bahwa setiap saat dimanapun aku berada. Aku selalu belajar. Bukankah belajar bukanlah hal yang hanya ada sangkut pautnya dengan nilai, atau rangking di kelas. Jauh diluar itu belajar merupakan kegiatan yang senantiasa kita kerjakan. Tanpa kita sadari. Bahwa belajar adalah proses yang amat panjang, bertahap dari ketidak tahuan menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Bahkan berjalan pun melalui hal yang dinamakan belajar. Yaitu belajar berjalan.

Itulah sebabnya mengapa ibu tidak marah ketika Aku lebih memilih bermain dari pada belajar. Sebab bermain pun merupakan sebuah pembelajaran.

Senin, 14 September 2015

Semangat Menulis

Maaf Sekedar Curhat tentang Pengalaman Menulis Saya

Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah, itulah kalimat yang serta merta saya lantunkan dalam sujud syukur saya barusan. Awalnya saya tidak pernah menyangka. Entah mimpi apa semalam, begitulah orang pada umumnya saat terkejut mendapatkan sebuah kebahagiaan.

Memang kurang lebih sudah setahun setengah saya menjalani aktivitas menulis ini. Setelah sebelumnya mengikuti kelas menulis online dari mas rifai rifan. Setiap hari Saya suka posting tulisan di fb, entah itu kisah sehari-hari, puisi, cerpen atau semacamnya. Bahkan saya juga membuat blog untuk menampung tulisan-tulisan saya. Begitu saya lakukan setiap hari istiqomah. Meskipun kadangkala ada hari yang terlewatkan tanpa menulis. Dan tahukah, kawan rasanya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal hati, ketika ada hari yang terlewatkan tanpa menulis.

Mengetahui ada teman-teman dari SPN atau Fresh author yang sudah menerbitkan buku. Rasanya saya sangat iri, karena belum juga menelurkan sebuah buku. Tapi tetap saya mendoakan teman-teman yang telah menerbitkan buku. Dan itu sebagai motivasi saya, saya jadikan penyemangat buat diri sendiri. Terus menulis dan menulis setiap hari, entah apa saja saya tulis. Pekerjaan saya sehari lebih banyak membaca dan menulis. Bahkan ibu saya sampai marah-marah  karena membaca buku sampai larut malam, dan tak kunjung tidur.

Saya selalu ingat quote-quote yang di berikan teman-teman penulis. Salah satunya dari situlah semangat menulis saya tidak kunjung padam.

Dan hari ini, saya amat bahagia. Sebab Saya tidak pernah menduga-duga sebelumnya, bahwa ada seorang pemilik atau founder dari sebuah yayasan pendidikan yang senantiasa membaca tulisan saya yang sering saya posting di fb. Dan katanya ia tertarik dengan tulisan saya, lantas ia mengapresiasi tulisan-tulisan saya dengan menyuruh saya untuk menulis di web yayasan pendidikan yang ia punyai tadi.

Betapa senangnya hati, hingga tak bisa dijelaskan dengan kata-kata rasa senangnya. Mungkin terasa agak lebay kawan, tapi kenyataannya seperti itu. Tak henti-hentinya saya bersyukur pada yang Maha Memberi Nikmat.

Memang saya menganggap tulisan saya pun tak sebaik tulisan teman-teman. Oleh karena itu saya senantiasa belajar setiap hari. Dan saya selalu mengingat pesan Andrea Hirata bahwa menulis adalah passion, jadikan menulis sebagai passion mu.

Maaf teman-teman sebelumnya saya hanya ingin sekedar curhat tentang kebahagian saya. Bukan maksud saya menggurui atau apalah, toh saya hanya bocah yang memohon dengan sangat agar teman-teman membimbing saya dalam dunia tulis menulis. Semoga kita senantiasa menulis setiap hari, dan mengikat hikmah yang tersirat setiap harinya. Semangat menuls.(14/09)

Sabtu, 12 September 2015

Masalah Kita, Generasi Muda

"Kota sebelah kita, Bojonegoro. Adalah kota penghasil minyak. Triliunan rupiah dihasilkan dari penglahan minyak itu. Tapi sayang minyak di kota tetangga itu di olah oleh perusahaan asing.

" Jawa timur merupakan provinsi yang luas wilayahnya enam belas kali lebih besar dari pada Negara Singapura. Tapi kenapa potensial luas wilayah yang begitu luasnya tak memicu Indonesia menjadi negara maju macam Singapura

"Belum lagi di Papua, kita punya gunung emas terbesar didunia. Betapa kaya bangsa kita, tapi sayang, seribu sayang gunung emas itu juga telah di kelola oleh pihak asing, freeport namanya....", begitulah secuil pidato dari seseorang yang kusimak secara diam-diam selama prosesi wisuda pagi tadi berlangsung.

Jujur saya sempat tercenung memikirkan hal runyam itu. Yang disebutkan dalam pidato tadi, hanya sebagian kecil dari kekayaan Indonesia amat luas ini. Terhampar dari Sabang sampai Merauke. Coba bayangkan alangkah luasnya negeri ini. Negeri yang katanya memiliki 18.000 lebih pulau-pulau. 6000 pulau yang telah di beri nama, dan sisanya masih belum.

Mengetahui ini, maka siapa sekarang yang patut untuk disalahkan. Bagaiman mungkin sebuah bangsa yang amat besar dengan melimpahnya SDA bisa terpuruk menghadapi krisis ekonomi. Harga rupiah pun juga melemah.

Mungkin tidak usag saya sebutkan, anda pun sudah atau apa sebab musabab dari permasalahan ini. Iya, tepat sekali. Sumber Daya Manusia yang kurang mumpuni. SDM yang masih belum sejajar dengan potensial SDA yang tinggi.

Lantas bagaiman cara meningkatkan kualitas SDM bangsa ini? Iya, tentu saja dengan meningkatkan ilmu pengetahuan kita. Senantiasa belajar dan terus belajar sebab jika kita tahu di abad 20 ini, ilmu pengetahuan sudah gencar-gencarnya dikembangkan. Berbagai penelitian, pengakajian disiplin ilmu di kembangkan menurut bidangnya sendiri-sendiri. Dari sini kita tahu alangkah luasnya ilmu itu.

Maka dari itu, jika menginginkan bangsa berkesejahteraan dari segi sosial utamanya perekonomian. Tentu saja dengan berilmu. Senantiasa belajar tanpa henti, mencoba menghela sebanyak-banyaknya ilmu Tuhan yang terhampar di bumi ini.

Bagaimanapun juga, waktu akan terus berjalan. Sudah pasti generasi akan silih berganti. Sebegai generasi muda yang berjiwa patriotis, kita-lah yang selanjutnya akan memegang pemerintahan bangsa. Maka menjadi PR kita bersama bagaimana menindak lanjuti urusan yang berbau exploitasi tersebut. Mari terus belajar dan belajar agar kualitas intelektual kita bisa berpacu dengan pesatnya imu pengetaguan.

Jumat, 11 September 2015

Hizbul Wathan?

aku berkawan dengan angin
aku berkawan dengan langit
aku berkawan dengan bumi
aku berkawan pula dengan nurani

meskipun berhari-hari ditempa
yang kata orang penuh siksa bercampur luka
sayang, mereka tak pernah mengenalnya
bagi kami itulah untaian bahagia

seakan bagi kami
batas bahagia dan luka hanya setipis angin
itu artinya tak ada yang perlu diresahkan
inilah kami, anak-anak nan penuh harapan

berjalan seiring waktu
berpaju mencari ilmu
berdakwah dengan melangkah
tak pernah menunggu perintah

meskipun kami berseragam
kami segan akui perbedaan
karena kami adalah Islam
agama kami, Islam!

penuh pangkat tak membuat kami angkuh
karena kami tahu
tahu dari angin, langit, bumi, juga mereka
bahwa segalanya, hanya kepunyaan-Nya

ber-amar makruf nahi munkar
selalu kami kejar
karena kami adalah Islam
kami, pandu Hizbul Wathan

Lamongan, 11 September 2015

Senin, 07 September 2015

Cacian Sampai Perpecahan

Tak jarang kita saling mancaci antar sesama teman. Entah itu sebuah ketidaksengajaan atau kesengajaan. Selama mencaci kita serasa biasa saja, sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan ada yang merasa senang sekali ketika bisa mencaci dan mempermalukan kawannya.

Kejadian macam itu tak sulit kita jumpai sehari-hari. Dari anak kecil sampai dewasa pun ada. Jujur Saya pun sering mencaci kawan. Malahan hingga kawan saya tadi terlihat agak kesal. Saya tidak sadar bahwa cacian-cacian yang saya lontarkan telah menyakiti perasaannya. Hingga suatu ketika saya pun pernah mengalami posisi yang serupa dengan kawanku. Dan memang sungguh tidak enak rasanya.

Maka tidak menutup kemungkinan apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Sempai terjadi baku hantam satu sama lain. Berawal dari cacian menjadi perselisihan, bahkan mungkin bisa menjadi perpecahan. Alangkah buruknya kejadian macam ini.

Hanya karena berbeda warna kulit lantas kita saling merendahkan. Hanya karena bentuk hidung yang lain dari pada umumnya kemudian seenaknya saja kita mengolok-olok. Hanya karena hal-hal kecil seperti itulah perpecahan sering terjadi.

Sebagai Manusia yang hidup di bumi. Sama-sama menginjak tanah. Sama-sama memakan nasi. Juga sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Alangkah baiknya kita saling menghargai satu sama lain. Bukankah Allah pun telah menyebutkan dalam Al-Quran bahwa, Allah menciptakan Manusia dalam berbagai ras, suku, berbangsa-bangsa adalah agar kita saling mengenal.

Bayangkan ketika manusia diciptakan oleh Allah dalam satu ras, satu bangsa, hidung yang sama, kulit yang sama, mata yang sama. Lantas bagaimana cara kita saling mengenal?  Jika semuanya di ciptakanNya dalam bentuk serupa. Bukankah semua itu ada hikmahnya tersendiri.

Maka alangkah zalimnya kita jika saling mencaci sesama. Menjelek-jelekkan sesama. Yang jarang kita sadari kita telah merendahkan dan menjelekkan ciptaanNya. Betapa tidak tahu dirinya kita.

Plosowahyu, (7/9)

Berlomba-lomba

Pagi tadi tidak sengaja saya melihat sebuah berita yang amat menggembirakan. Seorang pemuda menggiatkan komunitas baca. Didalamnya anak-anak kecil tengah asyik membaca buku. Tidak hanya membaca buku saja, mereka juga saling mengajari satu sama lain, belajar menjadi guru. Berbicara didepan teman-temannya. Betapa menggembirakannya kabar itu.

Saya lantas tercengang bercampur senang ketika salah seorang anak berumur sekitar sembilan tahunan tadi berujar tidak ingat sudah berapa buku yang habis di bacanya. Dari fiksi seperti novel hingga non fiksi seperti buku-buku pengetahuan umum.

Dengan adanya komunitas baca macam itu. Paling tidak SDM bangsa kita akan semakin membaik. Memang amat penting menanamkan minat baca pada usia dini. Paling tidak kebiasaan baik, seperti membaca buku, akan mereka bawa hingga besar nanti. Bisa dibilang itulah yang dinamakan penanaman karakter yang dilakukan sedini mungkin.

Semua ini berkat kepedulian sosial dari seorang pemuda tadi. Dengan bantuan kawan-kawannya Ia mendirikan komunitas itu. Tidak terlalu muluk memang, cukup dengan sebuah papan tulis, dan beberapa buku, komunitas baca ini bisa berlangsung.

Ternyata saat ini banyak komunitas pemuda-pemudi yang peduli akan lingkungan. Dan ini merupakan kabar baik bagi bangsa. Semua orang tengah berfastabiqul qoirot. Maka jangan sampai kalah, mereka telah memulai duluan.

Plosowahyu,(8/9)

Cacian Sampai Perpecahan

Tak jarang kita saling mancaci antar sesama teman. Entah itu sebuah ketidaksengajaan atau kesengajaan. Selama mencaci kita serasa biasa saja, sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan ada yang merasa senang sekali ketika bisa mencaci dan mempermalukan kawannya.

Kejadian macam itu tak sulit kita jumpai sehari-hari. Dari anak kecil sampai dewasa pun ada. Jujur Saya pun sering mencaci kawan. Malahan hingga kawan saya tadi terlihat agak kesal. Saya tidak sadar bahwa cacian-cacian yang saya lontarkan telah menyakiti perasaannya. Hingga suatu ketika saya pun pernah mengalami posisi yang serupa dengan kawanku. Dan memang sungguh tidak enak rasanya.

Maka tidak menutup kemungkinan apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Sempai terjadi baku hantam satu sama lain. Berawal dari cacian menjadi perselisihan, bahkan mungkin bisa menjadi perpecahan. Alangkah buruknya kejadian macam ini.

Hanya karena berbeda warna kulit lantas kita saling merendahkan. Hanya karena bentuk hidung yang lain dari pada umumnya kemudian seenaknya saja kita mengolok-olok. Hanya karena hal-hal kecil seperti itulah perpecahan sering terjadi.

Sebagai Manusia yang hidup di bumi. Sama-sama menginjak tanah. Sama-sama memakan nasi. Juga sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Alangkah baiknya kita saling menghargai satu sama lain. Bukankah Allah pun telah menyebutkan dalam Al-Quran bahwa, Allah menciptakan Manusia dalam berbagai ras, suku, berbangsa-bangsa adalah agar kita saling mengenal.

Bayangkan ketika manusia diciptakan oleh Allah dalam satu ras, satu bangsa, hidung yang sama, kulit yang sama, mata yang sama. Lantas bagaimana cara kita saling mengenal?  Jika semuanya di ciptakanNya dalam bentuk serupa. Bukankah semua itu ada hikmahnya tersendiri.

Maka alangkah zalimnya kita jika saling mencaci sesama. Menjelek-jelekkan sesama. Yang jarang kita sadari kita telah merendahkan dan menjelekkan ciptaanNya. Betapa tidak tahu dirinya kita.

Plosowahyu, (7/9)

Minggu, 06 September 2015

Cinta Ke Duaku

Kawan, bagiku waktu terbaik dalam hidupku saat ini adalah waktu dimana aku bisa bebas bercengkrama dengan buku-buku sastra di perpustakaan kampusku yang jumlahnya tak lebih dari hitungan jari. Sempat aku kecewa akan kemiskinan jumlah buku sastra di perpustakaan kampus itu lantaran semuanya sudah lunas kubaca. Bahkan ada beberapa buku yang sempat ku baca ulang. Itu adalah bentuk kecintaanku terhadap buku itu.

Pada suatu ketika, saat titik kejenuhan sudah hampir mencapai batas kekecewaan. Ku tengok sebuah rak didekat meja register. Dan disitulah kebahagian yang berpendar-pendar telah kutemukan. Jika digambarkan kebahagianku bak kebahagian orang tua yang telah menemukan anaknya yang sempat hilang untuk jangka waktu yang cukup panjang. Di rak buku itu aku seolah menemukan cinta ke duaku tengah menungguku dengan penuh kerinduan yang kadarnya mungkin sama dengan kerinduanku. Maka kami seolah mirip dengan frekuensi radio, hanya bisa tersambung ketika frekuensi kami sehati.

Di rak itulah kutemukan majalah-majalah yang amat memikat hati dari sampul hingga isinya. Pertama kali kubuka sampulnya, Ia seolah menggodaku untuk selalu bercengkrama dengannya. Ia juga menawarkan berbagai keindahan ilmu pengetahuan. Yang syarat akan kemanfaatan. Maka butuh banyak waktu, Aku telah terpikat akan satu hal yang namanya majalah. Setiap kali Aku masuk perpustakaan, selalu aku sempatkan untuk menilik dan mengambil salah satu majalah untuk kubaca sebagai selingan membaca buku-buku medis yang tebalnya minta ampun itu.

Seringkali kubayangkan tulisanku bisa dimuat di majalah itu, dan dapat di baca oleh khalayak. Maka alangkah senangnya hati ini. Oleh karena itu Aku sering mengirimkan tulisan-tulisanku ke redaksi majalah itu. Dan senantiasa berharap tulisanku akan di muat dengan gagah di majalah itu. Serta namaku akan terpampang dengan huruf bergaya miring tepat di bawah judul tulisanku. Tapi naas puluhan tulisan yang telah kukirim melalui e-mail tak juga di muat di edisi-edisi berikutnya. Bahkan hanyabsekedar balasan pemberithuan atas penolakan tulisanku pun tak ada. Tapi Aku sadar betul mungkin tulisan ku kurang bagus tak sesuai kriteria redaksi. Tapi cintaku akan majalah tersebut tak pernah pudar meskipun hanya secuil saja. Malahan bisa dibilang cintaku makin bertumpuk-tumpuk padanya.

***

Beberapa hari yang lalu surat undangan datang melalui emailku. Dan di undangan itu tertera namaku dan asal kampusku. Awalnya aku masih bimbang, apakah bisa atau tidak menghadiri undangan tersebut. Pasalnya ada agenda yang amat penting dan bertepatan dengan acara yang tertera dalam undangan tersebut.

Tapi akhirnya setelah mendapat persetujuan pihak kampus, akhirnya berangkat juga Aku ke kota dimana gudek populer disana. Pagi-pagi betul aku sudah bersiap dengan segala perlengkapan yang aku butuhkan. Di ufuk timur matahari belum kelihatan batang hidungnya. Sehingga jalanan masih agak gelap. Motor, mobil, serta kendaraan lain masih menyala lampunya ketika tengah melintasi jalan raya. Hawa dingin di pagi buta seakan menancapkan taringnya di sekujur tubuhku.

Perjalanan dari Lamongan ke Yogyakarta itu berlangsung kurang lebih selama sembilan jam. Perkiraannya hanya delapan jam sudah sampai. Semua itu lantaran kelakuan sopir bus yang tak tahu sopan santun, di tengah perjalanan Ia melanggar lalu lintas yang jelas-jelas Ia tahu. Tapi mungkin tabiat seorang sopir bus adalah macam demikian, penuh pemberontakan, sekehendak hatinya sendiri, serta amat tak peduli dengan aturan. Maka beginilah jadinya. Kami, aku dan penumpang lainnya harus menunggu prosesi penilangan sopir bus di kantor polisi itu. Pengalaman naik bus selama sembilan jam itu, sempat membuatku ketar-ketir lantaran sopir bus yang penuh nyali. Lebih dari dua kali bus yang kutumpangi hampir berciuman dengan truk-truk bermuka garang itu.

Tepat jam setengah lima sore kami sampai di tujuan. Ternyata acara telah dimulai beberapa menit yang lalu. Rapat itu mulanya berjalan panas, sebelum kedatangan kami. Setelah kami meminta izin, permisi memasuki ruangan rapat itu. Semuanya sempat membeku beberapa saat. Kami telah menarik perhatian puluhan orang yang telah berserius ria. Alias telah memporak-porandakan ketegangan untuk sementara waktu. Oleh karena itu aku sedikit gentar memasuki ruangan tersebut. Tapi kegentaranku seketika luruh, setelah mereka tersenyum mempersilahkan kami duduk.

Kemudian rapat berjalan dengan khidmat selama hampir lima jam lamanya. Dan alhamdulillah semu permasalahan telah menemui titik temunya. Kami telah bermufakat atas hasil yang telah didapat. Tepat pukul sepuluh kurang beberapa menit rapat telah usai. Sempat beberapa menit kita saling berbasa-basi dengan peserta lainnya. Hanya sekedar untuk bertukar pengalaman.

Lantas kami segera berjalan menuju jalan raya untuk mencari taxi. Diperjalanan aku sempat di tertawakan oleh kedua temanku lantaran pengakuanku, yang baru pertama kalinya Aku berkunjung ke jogja. Tapi Aku tak terlalu mengambil hati atas pelecehan kedua temanku itu.

Hingar-bingar malam di jogja amat jauh berbeda dangan suasana malam di kota ku. Jalanan masih agak ramai dipenuhi motor-motor yang berkeliaran kesana kemari. Di bibir jalan beberapa remaja tengah santai mengayuh sepeda. Lantunan musik jawa atau keroncong mengalun lirih bersama petikan ukulele. Remaja-remaja tengah bersuka cita di pnggir-pinggir jalan. Di trotoar yang terlihat membisu.

Mataku dari tadi tak kunjung berhenti lirik sana lirik sini. Pandanganku menyisir seantero yang dapat kulihat. Dua orang didepanku berjalan dengan langkah pasti. Seolah mereka sudah tidak terpesona lagi akan indah nya malam di kota gudeg itu.

Tiba-tiba disalah satu sudut di kanan jalan. Mataku terbelalak tidak percaya. Aku mengucek-ngucek mata, memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Bahwa yang kulihat di depan sana adalah tempat cinta keduaku di lahirkan. Di sana adalah pusat dimana cinta-cintaku berpendar. Di atas toko itu sebuah tulisan balok memancarkan cahaya merah. Yang terbaca: SUARA MUHAMMADIYAH. Dua orang sahabatku memberitahukan bahwa itulah pusat atau kantor induk majalah di produksi.

Maka dengan kegembiraan yang meluap-luap. Dan mata yang berbinar-binar lantaran sedikit harapanku telah terpenuhi. Lantas kusuruh salah satu kawanku mengabadikan momen itu dengan berfoto di depan kantor utama majalah yang sering di singkat SM itu.

Tapi aku sedikit kecewa lantaran kantor itu telah tutup karena sudah larut. Tapi biarlah dengan sekuat tenaga aku mengikhlaskannya.

Bertobat Sedini Mungkin

Jika kita renungi setiap hari, pastinya banyak sekali dosa yang kita perbuat. Entah itu kita sadari atau tidak kita sadari. Seringkali kita menggunjing kawan, mencari-cari keburukan kawan lantas kita perbincangkan dengan orang lain. Atau berpikiran buruk tentang sesuatu alias su'udzan. Itu sudah merupakan perbuatan yang berdosa.

Tapi karena sering kita lakuakan. Atau sudah menjadi kebiasaan. Kita merasa itu biasa-biasa saja. Dan tidak lagi merasa bersalah atas perbuatan yang sebenarnya salah untuk dilakukan itu. Dan hal itu kiranya berlaku untuk segala perbuatan salah atau berdosa yang sering kita lakukan sehari-hari. Misalnya menjahili kawan, mencuri barang orang, atau perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu disini.

Mengapa kita merasa biasa-biasa saja dan sama sekali tidak merasa bersalah atas perbuatan dosa yang sering kita lakukan? Itu semua lantaran noktah-noktah dosa sudah sangat bantak lantas menyelimuti nurani. Saya yakin setiap orang yang baru pertama kali melakukan kesalahan atau dosa. Pastinya akan ada perasaan bersalah dalam lubuk hati yang terdalam. Begitulah seterusnya, tapi lama-kelamaan perasaan bersalah itu akan semakin tidak kentara, dan amat tidak membekas sama sekali di hati. Lantaran kita sudah terbiasa berbuat salah.

Dan itulah hukuman terberat yang sangat di takuti. Yaitu ketika nurani kita tidak peka lagi terhadap dosa yang telah di perbuat. Dan kita merasa nyaman berkabung diantara dosa-dosa yang telah kita perbuat berulang kali. Seolah telah menjadi hal yang biasa. Padahal kata Ibnu Jauzi dalam Shaidul Khatir, hukuman terberat bagi para pendosa adalah perasaan tidak merasa berdosa.

Betapa ruginya kita saat nurani sudah tidak dapat lagi mendeteksi kesalahan-kesalah yang telah kita perbuat. Kita sudah tidak merasa gelisah, bersalah, atau takut akan dosa-dosa yang telah kita perbuat. Semua itu lantaran dosa-dosa tadi telah menebal memendam titah nurani. Itu artinya perasaan kita sudah tidak peka lagi terhadap dosa yang telah kita lakukan.

Dan ketika hal itu sudah terlanjur menjadi kebiasaan maka amat merugilah diri kita. Sehingga untuk dapat menghindari hukuman terberat bagi para pendosa itu adalah. Segera bertobat sedini mungkin. Bersikeras mengakiri pebuatan-perbuatan dosa itu. Mengucap istighfar seraya merenungi kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat.

Sehingga kebahagian hakiki niscaya akan tercipta. Yaitu ketika jiwa ini merasa tenteram, merasa nyaman, dan merasa amat damai dengan kehidupan yang sedang kita jalani. Meskipun hidup kita sederhana-sederhana saja.

Sidorejo, 5 September 2015

Bebas

Inilah Aku
Lelaki yang berkabung didalam pilu
Sejak kecil belum pernah merasakan manis

Mungkin manis hanya sejenak terlintas
Bagai desingan peluru
Yang hanya seketika terdengar

Orang-orang selalu melihatku dengan mata sebelah
Dan itu adalah kesakitan yang nyata
Lantas Mereka meludah ke tanah

Tapi Aku adalah lelaki
Insan yang pantang di kebiri
Bagiku caci maki adalah seni

Seni yang akan mewarnai hidup
Tak usah kumasukkan hati
Caci-cacian yang berkicau bagai emprit di pagi hari.

Langkahku masih tetap tajam
Sehingga pilu akan terkupas
Dan kelak Aku akan bebas, terbebas!

Bebas

Inilah Aku
Lelaki yang berkabung didalam pilu
Sejak kecil belum pernah merasakan manis

Mungkin manis hanya sejenak terlintas
Bagai desingan peluru
Yang hanya seketika terdengar

Orang-orang selalu melihatku dengan mata sebelah
Dan itu adalah kesakitan yang nyata
Lantas Mereka meludah ke tanah

Tapi Aku adalah lelaki
Insan yang pantang di kebiri
Bagiku caci maki adalah seni

Seni yang akan mewarnai hidup
Tak usah kumasukkan hati
Caci-cacian yang berkicau bagai emprit di pagi hari.

Langkahku masih tetap tajam
Sehingga pilu akan terkupas
Dan kelak Aku akan bebas, terbebas!

Tuhan Sedang Berbaik Hati

Entah dosa apa yang kuperbuat
Tempo hari
Kini napasku tersengal-sengal
Kutaksir tinggal seperempat tidal

Dadaku seakan diduduki bogel
Sesak amat sesak tak terperi
Sesekali kuhirup napas dalam-dalam
Hanya untuk menyambung nyawa

Kepalaku pening seolah dipalu durjana
Kemudian rasa gatal menyeruak
Menjalar dari tenggorokan ke dalam dadaku
Mereka telah berhasil menjajahku

Kini Aku hanya bisa terkapar
Lunglai didalam kamar
Dengan mata berbinar-binar
Tak ayal mirip orang mau meninggal

Sesorang baru saja bertanya
Apa yang Kau lakukan nak?
Kujawab dengan pandangan
Mata berderai kesedihan

Mungkin Tuhan sedang berbaik hati
Menitipkan penyakit padaku
Konon untuk meluruhkan dosa
Yang merekat erat macam karang gigi

Maka biarlah sejenak kupejamkan mata
Seraya menahan lara
Atas duka yang tak seberapa
Dibanding nikmat yang jarang kukenal

Sidorejo, 22 Agustus '15