Senin, 31 Agustus 2015

Allah Maha Berkehendak

Dua hari yang lalu. Setelah empat hari berselang sejak hari kelahiranku. Aku sempat terkejut pada hari itu. Pasalnya dihari itu, kejadian yang belum pernah kuduga sebelumnya terjadi.

Padahal empat hari sebelumnya doa-doa baik. Tentang umur panjang, tentang kesuksesan, juga yang terpenting tentang kesehatan. Bertaburan di ucapkan setiap temandi beranda facebook ku. Rasanya amat membahagiakan ketika ada orang-orang yang masih peduli dengan kita. Meskipun itu hanya sebuah ucapan yang di tuliskan dengan satu dua kalimat. Semua itu merupakan suatu bentuk kepudulian mereka pada kita. Patut kita syukuri dan harus di balas dengan doa yang baik pula. Seperti yang Rasulullah ajarkan pada kita. Saling mendoakan dalam kebaikan.

Tetapi bagaimanapun juga ketentuan tetap Allah yang memberikan. Di hari keempat usai hari kelahiranku. Kesehatan ku memburuk, dimalam sebelumnya badanku demam. Aku menggigil kedinginan. Dadaku sesak, rasanya nyeri serasa di tekan. Berkali-kali aku batuk. Dan pagi harinya secara tidak sengaja ketika aku tengah asyik membaca buku. Secara reflek aku terbatuk. Kemudian secara tidak sengaja dahak kental keluar dari mulut lantas menempel di tanganku. Dan aku terbelalak tidak percaya ketika kulihat ada sedikit darah kental yang bercampur di dahak itu.

Ketika itu juga bayangan-bayangan yang amat buruk dengan serta merta menyesaki kelapalaku. Aku terbayang-bayang akan kematian, umur yang sudah tidak lama lagi, dan segera meninggalkan dunia menuju alam barzakh. Kiranya seperti itulah ketakutanku saat itu. Dan kenyataannya aku belum bisa menerima semua itu.

Begitulah manusia, makhluk yang lemah tapi enggan menerima semua ketentuan Tuhan Yang Maha Berkehendak. Aku sempat berdoa dalam hati. Jika memang Tuhan berkendak demikian, mungkin ini yang terbaik bagiku. Berkali-kali kuyakinkan diriku seperti itu. Mencoba meridlhoi segala kehendakNya.

Bukankah kita ini berasal dariNya. Begitupun kelak dalam waktu yang telah ditentukan olehNya. Kita juga akan kembali padaNya. Segala kehendakNya, entah itu baik atau buruk menurut kita. Baiknya sebagai Manusia, kita harus meridlhoinya. Dan memohon semoga itu yang terbaik yang di berikan Allah untuk kita.

Janji Kehidupan

Ditempat itu derita bertumpuk-tumpuk di setiap sudutnya. Malaikat pencabut nyawa bertaburan di setiap pintu-pintu ruangan. Bersiap siaga menarik ulur kehidupan. Alangkah menakutkannya. Di tempat itu kehidupan jaraknya amat dekat dengan kematian munkin hanya sebatas satu jengkal jari saja.

Dinding putih, lantai putih, kerangka bayang pun berwarna putih. Tapi putih yang satu ini bukanlah putih kesucian. Melainkan lebih condong pada putih ketiadaan. Entah dari mana asal muasal warna tersebut. Jika menatapnya lamat-lamat aku seolah-olah terseret ke dunia yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tak terperi pilunya.

Ditempat ini janji kehidupan di umbar dalam hitungan rupiah. Seolah nyawa bisa tertolong jika kau mengantongi rupiah dalam dompetmu. Jika sedikitpun tak ada, maka bersiap-siaplah enyah dari tempat ini, jangan harap kehidupan dan kematian berjarak sejengkal lebih. Boleh jadi akan kurang dari itu.

Pagi itu adalah hari pertama Aku berada di tempat ini. Perasaan canggung bercampur bingung menyelimuti pikiranku. Bahkan aku sempat ketakutan melihat pak tua bersimbah darah, lantaran jempol nya telah raib setengah bagiannya. Katanya gergagi barusan telah memotongnya secara tidak sengaja. Melihat dan mendengar kejadian itu. Bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Aku menelan ludah.

Kupandangi orang-orang bermuka gelisah. Duduk di kursi yang teronggok di teras sambil membawa sebotol cairan yang terhubung ke lengan orang-orang itu dengan selang seukuran sedotan air kemasan. Mereka mengankatnya tinggi-tinggi. Pandangan mereka memiliki makna keputusasaan, penderitaan, ketidakbebasan, bercampur ketidaknyamanan. Tapi mereka masih punya satu harapan, yaitu janji kesehatan.

Setiap kali ku sambangi mereka saban pagi. Hanya satu pertanyaan yang seringkali dilontarkan. 'Kapan Aku bisa pulang Pak?'. Aku cukup tersenyum membalas pertanyaan itu. Sambil mendoakan semoga lekas sembuh.

Disaat-saat seperti itu sering aku menghela napas dalam. Lantas memalingkan pandangan ke arah jasmine-jasmine yang baru saja bermekaran di depan teras itu. Hanya merekalah yang senantiasa tabah mendengar keluh kesah. Pasien-pasien puskesmas itu.

Para petugas kesehatan adalah orang yang paling kejam. Bagaimana tidak hidup mereka dari uang orang sakit. Bahkan mereka tertawa riang satu sama lainnya. Ketika orang sakit bertambah jumlahnya. Bukankah itu amat memuakkan. Tapi anehnya lagi si orang sakit itu menaruh harapan besar pada orang-orang petugas kesehatan itu.

Minggu, 23 Agustus 2015

Whiplash

"Charlie Parker tak tahu siapapun sampai Jo Jones melempar simbal ke kepalanya", Kata Neiman menimpali pamanya.

"Itukah pemikiranmu akan sukses?", Pamannya memotong pembicaraan.

"Menjadi musisi terbaik di abad 20 adalah ide semua orang akan kesuksesan.", Neiman melanjutkan pembicaannya yang sempat terpotong.

"Meninggal dalam keadaan bangkrut dan seorang pecandu pada usia 34 tahun bukan pemikiranku akan kesuksesan.", Ayah Neiman mencoba membela diri. Lantaran dipandang saudaranya bersalah atas kelakuan anaknya.

"Aku lebih baik begitu, tapi orang membicarakanku dibanding kaya dan meninggal di usia 90 tahun, tapi tak ada yang mengingatku.", dengan percaya dirinya Neiman berucap, Seraya menatap pamannya dengan tajam.

Sebelumnya Aku sempat tercenung memikirkan hal itu. Percakapan diatas adalah secuil perkataan amat menancap selama menyimak film 'Whiplash'.

Dalam film tersebut Neiman, laki-laki berumur 19 tahun. Dengan segala impiannya yang amat muluk. Ingin menjadi seorang musisi inti dalam sebuah grup band jazz sebagai penabuh drum. Di universitas Shaffer, satu-satunya sekolah musik terbaik di negaranya.

Tapi perjalanan meraih impian itu tidak semudah membalik telapak tangan. Meskipun boleh dibilang Ia amat berbakat. Kekecewaan, keputus asaan, dan derai air mata berlinang-linang dalam usahanya.

Yang paling mengesankan adalah pemikiran Neiman akan kesuksesan. Jauh melenceng dari pemikiran orang pada umumnya. Jadi cakupan kesuksesan itu amat luas maknanya. Mungkin bisa dibilang sukses itu relatif.

Kamis, 20 Agustus 2015

Nyanyian Setan

Hidup itu ibarat laut, pasti ada pasang surutnya. Adakalanya kita sedang bersemangat menggebu-gebu. Adakalanya juga kita tertunduk lesu tak berdaya macam orang menderita beruk.

Dikala pasang. Semangat kita seolah mirip api olimpiade, terus menyala. Itu adalah waktu dimana kita menatap cita-cita amat mungkin diraih. Dan tidak ada sedikitpun kemustahilan yang menghalangi cita-cita tersebut. Tapi apabila kita tengah berada dalam keadaan surut. Pikiran kita seolah kerasukan hawa negative. Sehingga bawaannya selalu negative thingking. Setiap kita berusaha, dalam benak selalu tersiral hal-hal negatif.  Misalnya demikian, untuk apa bersusah payah, toh semuanya akan sia-sia!

Jika dibenak kita sudah tertancap hal-hal negative macam demikian. Maka jangan pernah hiraukan. Boleh jadi itu nyanyian setan, seperti yang bang haji Rhoma Irama sering nyanyikan. Jangan pernah sedikit pun dimasukkan hati kawan. Siratan seperti itu ibarat mendung yang menutupi cahaya mentari. Harus cepat-cepat kau singkap kawan agar sinar mentarimu tetap bersinar.

Semoga setiap impian di dengar oleh Allah. Tuhan yang Maha Mendengar.

Minggu, 09 Agustus 2015

Takdir Yang Telah di Gariskan

Beberapa hari yang lalu. Ketika sedang berada di tanah kelahiran Karaeng. Aku amat gamang lantaran baru pertama kalinya. Semuanya asing, bahasa mereka asing di telingaku. Aku tak mengerti apa yang orang-orang bicarakan di warung makan yang tepat berada sebelahku duduk saat itu. Juga lingkungan yang asing. Tak biasa aku melihat anjing bebas berkeliaran mirip anak ayam di kampungku. Juga tebing yang yang melingkar dan berselimut pepohonan didepanku. Indah memang, pemandangannya tapi semuanya asing bagiku. Aku belum terbiasa.

Sesekali angin berhembus kencang menyapu debu juga dedaunan kering yang berserakan di lapangan seolah tak suka akan kedatanganku. Sejak jam di tanganku menunjuk pukul 09.00 udara di sekitar tebing ini menjadi semakin panas. Sehingga kesan dahaga srmakin melekat di tenggorokanku. Bawaannya ingin minum terus. Tapi disini semuanya memakai uang dan harganya dua sampai tiga kali lipat harga barang di Jawa Timur. Pedagang disini menurutku sungguh tidak adil, tidak berbelas kasihan. Seolah mereka telah menjadi kapitalis sejak lahir. Amat matrialis para pedagang-pedagang disini. Semuanya di jual sesuka hati, dengan harga setinggi tebing didepanku. Pintar sekali mereka memanfaatkan teori ekonomi. Bahwa disini demand lebih banyak dari pada suply. Oleh sebab itu mau tidak mau Aku harus bersikukuh menahan dahaga yang menggebu-gebu itu.

Saat itu adalah hari pertama dimana aku menjalani mandat kampus. Masih sekitar 9 hari aku tinggal di tanah makassar itu. Dan jika ingin hidup mau tak mau Aku harus pandai memanage uang. Agar cukup untuk hidup selama itu.

Kurang lebih empat jam berselang. Kuhabiskan dengan bercakap-cakap dengan seorang teman yang sejak tadi duduk bersamaku di atas bayang yang terbuat dari bambu.

Didepanku anak-anak kecil berlarian saling kejar satu sama lain. Mereka terlihat riang sekali. Seolah terpancar kecerian di sekitar kami. Gelak tawa pun berhamburan di sembarang tempat. Melesat liar bak molekul-molekul atom di tabung reaksi. Aku amat suka suasana saat itu.

Di tengah-tengah kecerian anak kecil itu terlihat kakek tua sedang berjalan memakai tongkat. Awalnya Aku tak mengira bahwa kakek itu akan sangat akrab dengan kami-- Aku dan Kawanku--hari-hari selanjutnya.

Kian lama, aku kian tahu mau kemana Kakek itu. Dari kejauhan Aku sedikit memperhatikan kakek tua itu. Jalannya amat pelan dan sedikit terseok-seok. Tapi untungnya ada tongkat yang membantunya berjalan. Maklum beginilah orang tua umumnya. Penampilannya amat menarik. Dari atas Ia memakai topi rimba. Rambutnya hampir keseluruhan memutih. Memakai seragam baju HW. Tapi bawahannya memakai sarung. Agak kurang pas memang. Tapi umur lah yang seolah membuat semua itu wajar dan bisa di terima.

Kini Beliau telah berada dalam jarak komunikasi efektif denganku. Ia duduk di bayang yang Aku dan temanku sedang duduki saat itu. Tanpa di suruh orang tua tadi berbicara semaunya seolah sedang bercerita. Memang ia sedang bercerita. Tapi tak tahu sedang menceritai siapa. Maka dengan sebuah ketidak sengajaan aku dan temanku mendengarkan pak tua tadi bercerita.

Ia bercerita banyak tentang anaknya yang tak begitu pandai dibsekolah. Tentang pengalamannya selama menjadi guru dulu. Tentang pengalaman sewaktu kecil beliau di Flores. Dan yang paling berkesan adalah cerita beliau tentang anak didiknya yang tak pandai dalam akademik. Namun karena anjuran beliau untuk tetap bersekolah. Dikemudian hari beliau bertemu dengan anak didiknya itu saat sudah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya.

Aku amat berterimakasih dengan takdir yang telah di gariskan Tuhan. Bahwa di dunia tidak ada yang kebetulan. Semuanya terjadi karena sebab akibat yang telah kita prrbuat di hari sebelumnya. Begitu juga dengan pertemuan dengan setiap orang. Bahwa semuanya telah di takdirkan. Dari beliau, Bapak Yusuf Ismail yang berusia 68 tahun ini banyak pelajaran hidup yang kuperoleh. Dan jarang sekali kutemukan di bangku perkuliahan.

Pembicaraan pun berakhir dengan kegembiraan di air terjun Bantimurung. Kami bersama-sama mengguyur lelah di bawah derasnya air terjun.

Minggu, 02 Agustus 2015

Novel 2

Kemiskinan dan air mata adalah sahabat terdekat saya. Hidup dengan kemiskinan amat pedih. Lantas bagaimana menyikapi kemiskinan dengan cara yang cantik, sehingga yang ada hanya air mata keikhlasan.

Pendidikan adalah hal yang teramat penting yang mesti kutaklukkan, meski berkali aral melintang.

Yang ketiga adalah cinta. Bagiku cinta itu kehidupan. Aku adalah orang yang mengais-ngais cinta, mencoba memahami keabstrakannya pula.

Jawaban

Bahwa Tuhan bukanlah tidak adil. Malahan Tuhan amat sayang dengan kita. Karena menempatkan kita ditempat yang sangat sulit bagi orang lain. Alasanya hanya satu, kita lebih mampu menghadapi kesulitan yang tidak dapat di taklukan orang lain.

Andaikata aku tak sekolah. Pastinya aku sudah jadi buruh tani. Yang mengais-ngais hidup di antara tanah yang tandus, yang amat pedih menelurkan secerca rejeki untuk makan. Dan kutemukan kesimpulan baru bahwa pendidikan bukanlah untuk mencari makan saja. Esensinya jauh dari itu semua. Lebih menuju pada ibadah untuk Tuhan. Nanti akan kujelaskan detilnya.

Cinta, aku adalah orang yang meraba-raba cinta. Bagaimana orang miskin seperti ku mengartikan cinta?
-----------------------------
Jalan cerita.

Dalam pertengahan cerita. Tokoh aku mengalami keputusasaan yang amat memiukan. Hingga membuatnya ingin membuang jauh-jauh impiannya.

Kemudian Ia amat menyalah-nyalahkan Tuhan. Atas segala pemberianNya. Mengapa Ia dilahirkan dalam keterbatasan yang sungguh keterlaluan. Rasanya semua itu tidak adil bagi tokoh Aku.

Tapi dengan segala pemahaman yang sulit dijelaskan dengan kata-kata ( PR riset). Akhirnya tokoh Aku seperti dilahirkan kembali. Dengan semangat baru. Menatap hidup dari kaca mata sebuah kesyukuran atas segala pemberianNya.

Selanjutnya adalah kehendakmu sebagai penulis yang melukis kisah ini.

*Fatah Anshori

Pentingnya Mengucap 'Insya Allah'

"Jangan bilang insya Allah, pokoknya harus bisa!", jawab kawanku dengan muka kesal ketika mendengar ucapan kawannya saat berjanji. Bahkan Ia sempat marah-marah usai mematikan telepon dari kawannya barusan. Kelihatannya Ia tidak puas ketika mendengar temannya berjanji dengan mengucap kata Insya Allah.

Seperti inilah kawan, Akhir-akhir ini saya sering mendengar banyak dari teman saya meremehkan kata 'insya Allah'. Atau lebih tepat nya menyalah artikan kata insya Allah. Mereka, kawan saya yang mendengar orang mengucap insya Allah saat berjanji padanya. Ia mengartikan bahwa orang yang berjanji tadi lebih banyak tidak akan menepati janjinya ketimbang menepati janji. Mungkin begitu juga dengan si pengucap janji tadi, pengartiannya sama pula. Persentase tidak menepati janji lebih besar ketimbang menepati janji.

Padahal yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Persentase menepati janji lebih besar ketimbang tidak menepati janji. Saya pernah membaca suatu majalah islam yang judul majalahnya saya sendiri sudah lupa. Di situ mengatakan bila kita mengucap insya Allah saat berjanji, itu artinya 99% kita harus menepati janji yang kita ucapkan tadi. Sedangkan 1% -nya adalah ketetapan Allah. Sering kita mendengar Manusia hanya bisa membuat rencana sedangkan hasilnya adalah takdir Allah.

Bukankah pernyataan itu amat sangat betul. Dalam Al-Quran, Allah telah memerintah pada seluruh umat muslim untuk mengucap Insya Allah ketika berjanji. Saya sendiri pun sering lupa dengan perintah Allah yang satu ini.

Apalagi ketika saya sedang sibuk-sibuknya menjadi seorang panitia dalam sebuah acara yang bisa dibilang amat sangat penting. Ketika teman bertanya atau meminta saya untuk hadir beberapa waktu kedepan. Dengan tegas dan lantang saya menjawab, "Iya saya bisa hadir nanti, jangan khawatir!". Begitu juga ketika ada SMS dari teman. Akan saya reply dengan jawaban tenang saja saya pasti bisa hadir. Dan baru saja, sore tadi saya mengulangi hal yang sama. Lantas saya termenung dan mengucap dalan hati, istighfar betapa angkuh dan sombongya diri ini.

Saya benar-benar khilaf, semoga Allah mengampuni perbuatan saya yang demikian. Kiranya Allah menyuruh kita mengucap Insya Allah ketika berjanji, tidak lain adalah agar manusia selalu mengingat Allah dan sadar bahwa manusia tidaklah memiliki apa-apa. Dan tidak tahu apa-apa.

Tidak memiliki apa-apa artinya, manusia tidaklah mempunya kekuatan untuk membuat kehendak menjadi nyata sesuai yang diharapkannya, bisa saja takdir Allah berkata lain. Dan tidak tahu apa-apa artinya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi beberapa waktu kedepan, jangankan lima menit bahkan beberapa detik kedepan saja kita tidak tahu apa yang akan terjadi.

Maka alangkah tidak tahu dirinya kita. Ketika melupakan Allah di setiap perbuatan yang tengah kita lakukan. Semoga tulisan ini mampu meningkatkan ketakwaan dan mengingatkan kita pada Kebesaran Allah. Tuhan pemilik apa yang ada dilangit dan dibumi.

Perjalanan Panjang Nan Melelahkan

Melalui perjalanan panjang ini Saya ingin rasanya bercerita banyak tentang pengalaman yang telah Saya dapat. Berawal dari surat tugas yang datangnya boleh dibilang sangat mendadak dan mendesak pula. Mau tidak mau Saya harus berangkat sesui tanggal yang tertera pada Surat Tugas tadi.

Awalnya Saya tidak percaya bahwa tiga hari kedepan, perjalanan panjang nan melelahkan harus Saya tempuh. Bagaimana tidak melelahkan jika perjalanan itu harus menyeberangi lautan, lautan kawan bukan selat. Dan harus naik kapal pula. Dalam benak saya kapal adalah benda yang amat asing. Ibarat hubungan Saya dengan Harimau Sumatera, hanya sebatas melihat dari TV. Belum akrab betul. Begitu juga dengan kapal tadi. Saya hanya tahu gambaran kapal dari sebuah buku.

Penafsiran kapal dalam benak Saya sebelumnya sangat elok. Boleh dibilang hati ini berbunga-bunga ketika tahu perjalanan panjang ke Makasar itu harus naik kapal, dan gratis pula. Alias free tidak usah bayar. Bayangan Saya sebelumnya. Kapal itu punya kabin semacam kamar dan  didalamnya terdapat dipan yang nyaman, untuk tidur penumpangnya. Lantas di dekat dipan ada jendela kaca bundar yang dapat digunakan untuk memandang keluar. Kemudian ada koki kapal yang masakannya luar biasa lezatnya. Kemudian ada juga kelasi atau ABK berpakain seragam putih-putih bersih, dan bersahaja pula dengan penumpang. Begitulah kiranya penafsiran Saya tentang Kapal, mirip dengan apa yang digambarkan dalam novel 'Rindu' karangan Bang Tere Liye.

Sesampainya di pelabuhan, sedikit penafsiran Saya yang indah-indah tadi telah di acak-acak oleh tukang parkir mobil yang tak tahu sopan santun. Baunya kecut, mukanya preman, dan dilehernya berkalung handuk kumal pula yang sesekali mereka sapukan kewajah mereka.

Dan seperti semangkuk bakso yang dibalik seratus delapan puluh derajad. Tumpah sudah penafsiran indah itu. Berganti dengan kekecewaan yang menohok ulu hati. Saat menjejakkan kaki diatas dek tiga kapal yang saya tumpangi. Tidak ada kabin, tidak ada kelasi baik hati, pun juga dengan chef yang pandai memasak. Tidak ada!

Bahkan di kapal itu. Barang-barang seperti minuman atau makanan dijual sesuka hati penjual nya. Seolah istilah pembeli adalah raja, berganti menjadi pembeli adalah babu. Baru saya tahu bahwa hukum ekonomi di lautan berlaku Demand lebih tinggi dari Suply. Jadi bisa di tarik kesimpulan jika ingin berjualan dengan harga setinggi tiang bendera bolehlah berjualan di kapal.

Kekecewaan Saya menjelma menjadi mimpi buruk ketika dua hari dua malam. Saya terkapar tidak bisa bangun. Tapi satu hal yang akan selalu ku ingat. Pelajaran kehidupan yang amat berharga. Tidak salah jika dibilang manusia itu lemah tanpa pertolongan Allah. Coba bayangkan, ketika di tengah-tengah lautan. Ruang gerak menjadi amat terbatas, kita boleh berkuasa di daratan lain lagi dengan di lautan. Tanpa ada kapal yang dengan kuasa Allah di apungkan, tamat sudah riwayat kita. Bukankah seperti itu kawan!