Minggu, 31 Mei 2015

Aku dan Beberapa Pasang Kaki Lainnya

Akan kuceritakan secuil tentang asal muasalku yang tidak begitu penting kawan. Tentang suatu kawasan yang tidak terlalu diperhatikan dalam suatu peradaban. Disanalah aku pertamakali menjejakkan kaki kecilku. Bersama kaki-kaki kecil lainnya yang kini telah raib. Mereka satu persatu meninggalkan kampung. Rasanya waktulah yang telah memaksa.

Tidak ada yang istimewa ditempat itu kawan. Bahkan warung kopi dari jaman penjajahan hingga kini hanya ada satu yang masih bercokol disana. Jika saja warung kopi itu bisa bercerita Ia mungkin akan menjadi warung kopi bermulut besar. Karena sebab musabab berumur panjang. Seperti para orang-orang tua yang kita temui kawan, mereka lebih banyak beromong besar karena mengawali hidup lebih dulu dibanding kita.

Kampungku memang bisa dibilang pelosok. Lokasinya pun rawan akan perkelahian. Itulah yang sering terjadi jika bernasib hidup diperbatasan, akan sering terjadi selisih paham lantaran perbedaan adat serta budaya. Tidak satu dua kali kampungku terjadi baku hantam dengan kampung lain. Masalahnya sepele kawan, jika tidak karena kompetisi bola antar kampung, ya karena orkes musik dangdut. salah senggol dianggap menantang. Riskan memang!

Tapi bagaimanapun juga itulah kampungku. Kampung yang berbentuk kunci pintu jika dilihat dari google map. Menaruh banyak kenangan didalamnya. Kenangan tentang euforia bermain bola di musim hujan, hingga akhirnya pulang dengan tubuh belepotan berselimut lumpur, tapi lihatlah kami tak pernah sedikitpun jijik akan bau lumpur itu. Malahan kami masih sempat tertawa riang sambil lempar melempar lumpur satu sama lain. Syahdu sekali pamandangan kali itu. Begitulah aktivitas setiap sore.

Malam hari dilanjutkan dengan menyeduh secangkir kopi di warung kopi yang baru saja kuceritakan tadi kawan. Itulah pelepas dahaga untuk hari yang selalu terasa melelahkan. Percakapan-percakapan nan tak tertangguhkan tiada henti-hentinya mengalir. Malah semakin lama semakin deras. Itu bukanlah percakapan ilmiah yang sering kalian lakukan di tembok-tembok universitas, tentang suatu teori, tentang konsep ekonomi, atau tentang hal-hal rumit lainnya. Tapi itu hanyalah percakapan sepele kawan. Jika tidak tentang babi hutan yang merusak tanduran warga sian tadi. Ya tentang birokrasi kampung yang semakin bobrok karena ketuanya memakan uang pembangunan. Tiada habisnya, dua topik yang sangat melelahkan.

Kepulan asap rokok serta aroma kopi berpaduan dengan nada-nada lucu petikan gitar. Iya, bernyanyi adalah cara terbaik untuk memutus rantai percakapan yang tiada hentinya itu. Lihai sekali kawan-kawanku dalam bermain musik, tak ada musik cengeng yang mengalun diantara aroma seduhan kopi malam itu. Rasanya tak ingin malam terlalu cepat beringsut ditelan pagi. Kami tak mau itu cepat terjadi.

Sudah kawan Aku tidak mau memperpanjang cerita tak penting buatmu itu. Tapi setidaknya disinilah kami mulai merajut mimpi. Mengais-ngais harapan meskipun tak pernah jelas adanya. Mencoba segala peruntungan meskipun seringkali kami menuai kebuntungan. Kini kami, aku dan beberapa pasang kaki lainnya telah tunggang langgang meninggalkan kampung nan permai diselimuti hamparan sawah dan kali-kali kecil mengalir di pinggiran kampung. Setiap pagi kicaun burung pemakan biji selalu terdengar di sela pepohonan. Mencuri makanan dari sawah warga. Aku tak akan lupa itu. Aku yakin mereka juga.

Waktu telah memaksa kami untuk beranjak pergi. Menjemput mimpi yang kami sendiri tak tahu pasti dimana adanya. Biarlah kami sudah terbiasa berteman dengan ketidakpastian dalam mengais mimpi. Semoga ada satu kesempatan dimana kita bisa menjejakkan kaki bersama-sama ditempat pertama kita bermula.

Aku dan kawan-kawanku, para pesakitan.

Sabtu, 30 Mei 2015

Sementara, Dua Buku Antologi Dulu !

Aku masih ingat betul ketika niatku menulis hampir tertambat lantaran tak ada uang. Malam itu isi dompetku raib. Begitu juga isi ATM. Tak ada yang bisa diharapkan. Kedua-duanya mencapai ambang batas kritis. Sedang disisi lain aku sangat butuh uang sebanyak 300 ribu untuk mengikuti kursus menulis online.

Berkali-kali ku kirim sms pada teman, ponakan, bahkan keluarga yang isinya tentang pinjam uang alias hutang. Tapi tak ada satupun dari mereka yang membalas malah aku kena omel bapakku sendiri di kira minta uang untuk hal yang aneh-aneh. Malam itu aku pasrah diantara keinginan dan ketidakmampuan. Selanjutnya aku hanya bisa berdoa. Menyerahkan semuanya pada Allah. Minta padaNya agar memberikan yang terbaik.

Aku sangat berharap bisa mengikuti kursus online itu. Entah dari mana asalnya aku sangat tergila-gila dengan buku. Hingga tak ada waktu luang dipagi hari yang terbuang percuma tanpa kugunakan untuk membaca buku. Sehingga pernah terbesit keinginan untuk menulis buku. Menyampaikan ilmu-ilmu yang dirasa penting untuk disampaikan. Sehingga secara tidak langsung kita akan memperoleh pahala dari tulisan-tulisan kita.

Dan ketika pagi datang, tak dinyana-nyana. Teman dekatkulah yang membantuku, meminjami uang. Setelah beberapa saat yang lalu, kuceritakan keluh kesahku padanya. Aku masih ingat betul ketika Ia mengeluarkan dompet lantas menjulurkan tiga helai uang lima puluh ribuan. Kemudian Ia berkata hanya segitu yang ku punya, setidaknya bisa sedikit membantumu. Tentu saja sangat membantu kawan. Aku sungguh berterimakasih pada kawanku itu.

Aku agak lega pagi itu. Berarti kurang 150 ribu lagi uang yang kubutuhkan. Kemana aku harus mencari kekurangan itu. Sedangkan aku sendiri masih belum bekerja. Status dalam KTP menunjukkan aku hanyalah seorang mahasiswa. Lantas dari mana aku mendapatkan uang kecuali menengadahkan tangan pada orang tua.

Tapi bagaimanapun juga Aku tetap tidak enak rasa. Ketika disuruh minta uang orang tua. Setidaknya seperti itulah yang sebenarnya. Bahkan uang saku kuliahku saja hanya cukup untuk beli bensin, tak ada kelebihan meskipun hanya untuk sekedar membeli gorengan, apalagi sebungkus nasi.

Tapi Allah memang Maha Kaya, Maha Pemurah, juga Maha Mendengar. Ada saja jalan yang diberikan oleh-Nya ketika Ia telah meridhoi sesuatu. Rezeki datang tak terkira, dari seorang yang selalu menasihatiku, membimbingku ketika aku salah dalam melangkah. Dan akhirnya Aku bisa mengikuti kursus online selama lima hari itu. Iya hanya lima hari kawan, bayangkan!

Rasanya juga sudah hampir 7-8 bulanan aku rutin menulis. Di status facebook, diblog seperti ini, juga di microsoft word. Dalam proses penulisan buku. Berkali-kali aku ditolak majalah, tapi beberapa juga Alhamdulillah, bisa dimuat dalam majalah. Rasanya tak alang kepalang senangnya. Dan membuatku semakin gila dalam menulis. Setiap hari kusempatkan menulis buku dan satu artikel.

Dan yang paling tak terperikan rasa senangnya adalah melihat dua buku antologiku terbit. Meskipun menulis bersama teman-teman, setidaknya sebagian isi buku itu memuat secuil tulisanku didalamnya. Sementara ini baru bisa menghasilkan dua buah buku antologi. Semoga kedepannya mampu menerbitkan buku ku sendiri. Dan semoga senantiasa mampu memberi mamfaat bagi para pembaca.

Sholat Adalah Istirahat Terbaik

Memang tidak salah ketika sebagian orang tidak merasa tenang saat melangsungkan sholat. Semua itu lantaran urusan dunia yang senantiasa menjerat. Baik pekerjaan maupun keinginan-keinginan duniawi lainnya.

Pastinya banyak dari kita pernah resah akan pekerjaan yang tak kunjung kelar. Kita disesakkan pekerjaan yang menggunung. Sehingga menuntut untuk bekerja, bekerja dan terus bekerja. Dan ketika telah mencapai puncaknya, batas maksimal tubuh. Kita terkapar lesu di sudut kamar. Semua itu karena urusan dunia yang tak kunjung hentinya.

Sehingga tidak jarang panggilan Allah di kesampingkan. Hanya diam sejenak ketika adzan sedang berlangsung. Memilih melanjutkan pekerjaan dibanding melaksanankan sholat terlebih dahulu. Atau juga ada yang segera melaksanakan sholat tapi dengan irama yang tergesa-gesa bak orang yang dikejar-kejar anjing.

Mungkin ini adalah salah satu penyebab ketidak khusu' an dalam sholat. Kita menampikkan tujuan utama sholat. Yaitu dari berdzikir (mengingat) Allah beralih jadi berdzikir (mengingat) dunia: materi, urusan, dan pekerjaan lebih utama. Jika seperti itu kejadiannya semuanya akan salah kaprah.

Padahal sholat adalah waktu untuk beristirahat. Bukan beristirahat dalam bentuk yang lain. Tapi istirahat dalam bentuk melaksanakan sholat. Beristirahat dalam doa-doa yang kita lantunkan dalam setiap bacaan didalamnya. Berusaha takzim berdzikir kepada Allah. Dan sejenak melepaskan urusan dunia yang menjerat.

Jangan risau akan pekerjaanmu yang menumpuk. Jangan risau akan ancaman bos. Atau ancaman-ancaman lain yang kalian timbulkan sendiri. Atau lebih pantas disebut cemas akan sesuatu yang belum pasti. Serahkanlah semuanya pada Allah. Biarkan Allah menyelesaikan hal-hal yang mustahil bagi kita. Karena dihadapan-Nya tidak ada yang mustahil. Menggulung Bumi saja Ia mampu. Apalagi hanya menggulung masalahmu yang hanya secuil itu.

Biarkan waktu sholat menjadi waktu sholat. Jangan campur adukkan dengan urusan sholat dengan urusan dunia. Jadikan waktu sholat menjadi istirahat terbaik dalam hidupmu. Tidak ada yang mustahil ketika Allah telah meridhai sesuatu. Bahkan hanya untuk menyelesaikan masalah sepelemu. Karena semua hal baik akan kembali untukmu dan sholat bukanlah kewajiban melainkan kebutuhan.

Kamis, 28 Mei 2015

Penilaian

Persepsi banyak orang tentang kecerdasan selalu disangkut pautkan dengan angka. Merasa bangga bila menuai hasil cumlaude. Angka-angka manis tertera di tiap tabel mata perkuliahan. Tak satupun bertengger angka sial yang ditulis dengan tinta merah disana. Di rapor perkuliahan. Tapi yang perlu ditanyakan adalah cara memperolehnya.

Boleh saja berbangga. Siapa yang melarang? Tidak ada. Tapi berbangga atas hasil yang diperoleh dengan cara kurang terpuji itu ibarat seorang pengecut. Pengecut kelas kakap boi! Tak tahu malu, pun tak tahu diuntung. Tengok saja ketika musim ujian melanda. Puluhan siswa, mungkin bisa lebih sedikit urusan jumlahnya. Mereka seolah sedang menghadapi perhelatan besar. Yang mana menuntut hasil baik. Masa bodoh halal atau haram. Dua hukum itu menjadi samar. Mereka menerobos garis pembatas, membuat catatan-catatan kecil yang tak terperikan. Lantaran ingin mendapat nilai baik. Tak jujur pun tak mengapa. Inilah kawan bibit-bibit unggul yang kelak jadi benalu birokrasi. Alias koruptor.

Itu hanya secuil contoh kecil kecurangan-kecurangan yang sering terjadi di sekitar kita. Jika ditanya alasanya, mengapa bertindak demikian. Menyontek pas ulangan? Anak SD kemungkinan menjawab: saya takut dikatai bodoh sama temen-temen pak jika banyak angka merah dirapor nanti! Kenapa harus takut nak, Jangan takut!

Inilah kawan, penilaian. Iya penilaian orang lain terhadap kita. Kita takut dikatai bodoh lantaran rapor berwarna merah. Kita tak mau terlihat buruk dihadapan orang lain. Seringkali kita disesakkan oleh penilaian orang lain. Sehingga untuk mendapat penilaian baik jalan apapun diterjang. Termasuk mencontek hanya karena ingin dikatai cerdas.

Tak usah merisaukan nilai, atau penilaian orang lain. Cukup melakukan yang terbaik, jujur dalam berproses, dan barulah boleh bangga jika seperti ini kejadiannya. Meskipun hasil tak begitu memuaskan. Biarkan orang menilai, toh nilai atau angka-angka tak selalu berhasil menjadi tolak ukur suatu kecerdasan. Tak selalu mampu mendiskripsikan segalanya. Tengok saja kejujuran. Angka apa yang cocok untuk mendiskripsikannya. Ada? Jadi tak usah risau akan penilaian. Yang terpenting cukup melakukan yang terbaik.

Rasa Takut

Takut salah, memang itu dua kata yang sering muncul ketika seseorang dihadapkan pada hal-hal baru yang terlihat ganjil. Belum pernah menyentuhnya. Bahkan melakukannya.

Ini tentang kejadian beberapa minggu yang lalu. Tepatnya dua minggu yang lalu. Seorang foreigner asal Pakistan datang ke kelas mengajar kelas bahasa inggris kami. Untuk kali pertama. Jadi bisa dibilang ini adalah hal baru.

Layaknya sebuah perhelatan akbar. Seluruh partisipant kelas bahasa inggris dituntut untuk on time, tepat waktu. Jam 01.00 tepat, apapun alasannya kami sudah harus duduk takzim dikursi masing-masing. Seolah seperti perintah keramat, Aku takjub tak ada seorang pun yang datang melebihi jam satu. Padahal biasanya kami datang seenaknya sendiri, tak tahu malu meskipun telat lebih dari seperempat jam masih saja nyelonong masuk. Seolah tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Itulah kawan pertanda penyakit jiwa, tidak sadar bahwa telah berbuat salah.

Ruangan kelas sejenak lengang. Duapuluhan peserta yang duduk membentuk formasi U. Sibuk dengan persiapannya sendiri. Muka-muka bertabur rasa cemas, khawatir, juga was-was tersirat di ruang ini. Beberapa sibuk dengan tumpukan buku tebal yang berada didepan nya masing-masing. Beberapa lainnya sibuk bertanya pada temannya untuk memastikan apakah sudah benar atau belum. Iya, nanti satu-persatu peserta wajib bertanya dengan bahasa inggris pada foreigner asal Pakistan itu.

Jantungku berdegup semakin kencang ketika jam yang tergantung di dinding sebentarlagi memeluk angka satu. Tak bisa dipungkiri aku pun merasa cemas. Bagaimanapun juga nantinya kami harus bertanya pada orang Pakistan yang sekalipun belum pernah Aku berjumpa dengannya. Kecemasan ini tak kunjung sirna meskipun berkali-kali kucoba menepisnya dengan menghela napas.

Beberapa saat kemudian daun pintu terbuka. Tiga pasang kaki melangkah bergantiab perlahan. Tidak salah lagi itulah orang Pakistan yang berhasil menciutkan mental kami. Dari mukanya sudah bisa kukenali bahwa Ia bukanlah penduduk suku jawa, bahkan dari Sabang sampai Merauke tak pernah kujumpai raut muka seperti itu. Kesimpulannya ialah dia bukan penduduk bangsa satelit ini.

Jantan sekali dandannya. Sepatu cokelat alas tebal. Celana jeans biru model rock n roll. Kemeja hitam lengan panjang. Dan raut muka bule, gaya rambut yang jauh kriteria alay. Cukup potongan tipis dua tiga centimeteran. Gila, para perempuan yang tadinya beraut muka seperti orang kena kutukan. Dalam hitungan beberapa detik raut muka menyedihkan itu longsor. Aku yakin mereka berbunga-bunga hatinya melihat lelaki macho, macam orang Pakistan itu.

Tugasnya disini adalah mempresentasikan negaranya dengan bahasa Inggris. Ia lancar sekali berbahasa inggris, menerangkan pada kami tentang lika-liku negaranya. Aku hanya tafakur seolah mengerti betul apa yang dia omongkan. Padahal blas. Sesekali aku menganggukkan kepala, biar dibilang mafhum.

Akhirnya tibalah dipenghujung acara. Mau tidak mau kami harus berranya padanya. Seluruh peserta saling tatap satu sama lian. Yang mengandung makna tersirat: ayolah kau duluan kawan! Inilah kawan hal baru. Belum pernah sekali dalam hidup kami bercakap-cakap dengan orang asing.

Berat sekali bibir kami melontarkan kata. Rasa takut seakan mengunci mati lubang mulut kami. Aku bergidik ketika tak seorangpun berani mengacungkan tangan. Mereka saling tatap tak bertanggung jawab berlagak bodoh. Inilah kawan rasa takut yang selalu menjadi tembok penghalang bagi orang-orang yang labil. Sudah dulu kawan aku tak bisa melanjutkan cerita ini. Hari-hari ini deadline seperti mengejar dibelakangku sambil membawa golok.

Rasa takut kawan

Selasa, 26 Mei 2015

Menangguhkan Pekerjaan

Lantaran sering meremehkan pekerjaan yang dirasa enteng. Tak tanggung-tanggung kita begitu mudah menangguhkannya. Begitu mudah untuk mengabaikannya sementara waktu. Lantas menganggap masih ada banyak waktu di kemudian hari. Dan sekarang memilih leha-leha di tengah-tengah waktu luang.

Menyandarkan badan padahal belum merasa lelah. Itulah yang sering terjadi, kita selalu terbuai akan bujuk rayu rasa malas. Menenggelamkan kepala dalam nyamannya bantal. Kemudian untuk beberapa saat selanjutnya. Kesadaran telah sirna terseret legitnya mimpi dalam lelap. Tidur lelap. Selelap-lelapnya. Tanpa sadar waktu terus melangkah.

Kemudian setelah terbangun. Waktu telah jauh melangkah didepan kita. Dan tak akan mungkin berhenti sejenak. Detik demi detik berganti, menit demi menit berganti, jam dami jam berganti, begitu seterusnya.  Waktu selalu melangkah kedepan. Tak akan mungkin mundur. Ibarat daun yang berguguran, tak akan mungkin kembali menempel pada dahannya untuk kedua kali. Pastinya akan digantikan pucuk-pucuk yang lebih hijau lagi.

Seiring waktu terus merangkak meskipun perlahan. Seiring itu juga pekerjaan remeh temeh semakin bertambah. Satu pekerjaan belum selesai pekerjaan lain sudah antri dibelakangnya. Lantaran semakin sering, atau hobi dalam menunda pekerjaan. Lihat tugas didepanmu! Sudah membludak tak keruan. Penuh sesak tak terperikan. Dan biasanya dalam kondisi, juga waktu yang serupa. Bagaimanapun juga tugas-tugas itu harus selesai! Itu perintah Bos.

Mau tahu rasa kejadian seperti demikian? Tak akan ada jeda untuk berhenti. serasa sedang lari direl kereta dan dibelakang kita ada kereta yang tengah melaju kencang mengejar. Jika sejenak saja berhenti hanya karena ingin mengambil napas. Pastinya 'Buaamm..!' tamatlah riwayat kita, dilalap kereta itu. Bos mengomel lantaran tugas usai melewati deadline. Jabatan pun terancam copot.

Pastinya sulit mencari kenyamanan. Seolah kemerdekaan telah terampas kembali. Tapi semuanya sebab akibat perbuatan kita sendiri. Mudah terayu nafsu, malas. Leha-leha seenaknya. Suka meremehkan pekerjaan. Itu penyebabnya.

Coba bayangkan jika tidak mudah menangguhkan pekerjaan. Pekerjaan hinggap langsung disantap. Begitu seterusnya. Pasti kita tak akan seperti itu. Jabatan jadi aman. Bos pun akan jadi santun. Semuanya tergantung kita. Bagaimana cara memanage waktu dengan tepat. Sehingga akhirnya kita bisa selamat!

Senin, 25 Mei 2015

Candu Menulis, Membuatku Sial Kali Ini

Sial, Sial nian nasibku kali ini. Kali ini menulis membuatku celaka. Sudah satu jam setengah lamanya aku tenggelam dalam candu menulis. Waktu serasa menguap tak terkira secepat kilat. Aku larut dalam buih-buih keriangan. Perasaan senang yang artinya terlalu menikmati rutinitas. Memang aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk menyisihkan beberapa saat dalam sehari untuk menulis. Melampiaskan hasratku yang berhamburan.

Rasanya tak terperikan jika ada satu hari saja yang terlewati tanpa pernah aku menulis. Jika itu kejadian, hati serasa mengganjal seolah mengidap hepatomegali. Sejenis penyakit pembesaran hati. Perasaan sangat berdosa secara tiba-tiba akan muncul tanpa pernah aku tahu penyebabnya. Lalu kemudian aku akan mengutuki diriku sendiri. Menyesal dalam-dalam. Lantas tidur pun tiada pernah merasa nyenyak. Jika bisa sesaat aku terseret lelap. Itu hanya kelihatannya saja. Padahal sebenarnya aku tengah di kejar-kejar makhluk buruk rupa dalam mimpiku ketika itu.

Entah candu apa yang sedang menyelimutiku. Padahal tak ada se-gram pun zat aditif yang menelisik di lambungku. Meskipun itu hanya semacam tar salah satu kandungan rokok. Tak ada terselip dalam lambungku. Tapi sejujurnya aku tak pernah sesali rasa canduku terhadap menulis. Malah Aku merasa bersyukur sekali. Semoga Tuhan selalu melimpahiku dengan kecanduan menulis. Itulah sepotong doa yang kulayangkan sehabis sholat. Bahkan setiap waktu.

Bagiku menulis adalah pekerjaan yang mulia. Selain melampiaskan hobi. Lebih-lebih lagi mampu mendapat pahala dari sebuah hobi. Menyampaikan informasi, berdakwah lewat tulisan, yaitu menyampaikan ilmu-ilmu yang masih melekat dalam benak untuk disampaikan pada orang yang berkenan membacanya.

Kurang lebih sudah sepuluh bulan lamanya hobi menulis ini mematut-matut diriku. Itu artinya dua bulan lagi genap berumur satu tahun candu menulisku ini. Aku bertingkah layaknya orang berpenyakit waham. Sejenis penyakit yang menyerang jiwa yaitu terlalu over dalam melakukan sesuatu. Mulai dari menulis di status facebook, berupa artikel, esai, puisi. Atau sepotong kisah konyol. Dan itu kulakukan setiap hari. Dan jika aku membaca ulang tulisan ku pada masa yang berlainan. Sudah pasti aku akan terpekik sendiri. Malu melihat rangkaian-rangkaian kata itu. Aku terlalu over confident terhadap tulisanku. Sehingga tak jarang aku mengirimnya pada berbagai media seperti majalah. Hasilnya pun nihil. Tak ada suatu majalah yang bersedia menerbitkannya. Bahkan konfirmasi penolakan lewat email pun tak ada. Aku jadi riskan memikirkannya. Seburuk itukah tulisanku?

Katakanlah Aku pengecut atau pecundang jika hanya karena penolakan lantas kuhentikan kegiatan paling kusuka ini. Aku sudah terlanjur mengenal kebaikan-kebaikan menulis. Menulis mampu membawa Islam menaklukkan Eropa pada pertengan abad lalu. Mendirikan pusat peradaban pendidikan terbasar Islam di Andalusia. Juga melahirkan filsuf-filsuf Islam yang keterlaluan pandainya. Tengok saja Ibnu Rusyd (averous), Al-Ghazali, Al-Farabi, dan raja diraja dokter Ibnu Sina (Avicenna). Semuanya adalah penulis yang selalu hidup jiwanya meskipun secara fisik sudah terkulai dalam timbunan tanah jasadnya. Sebab telah terpaku jiwanya, perasaannya, juga pemikirannya dalam tulisan-tulisan yang dibukukannya.

Rasanya aku sudah terlanjur dibius kemuliaan candu menulis. Mengenal, pemikir-pemikir kuno, idealis-idealis kontemporer, juga penulis tanah air yang tak kalah ketajamannya dalam mengikat makna. Aku terpesona keelokan ilmu yang berpendar dibalik rangkaian kata, yang tertangguhkan diantara huruf-huruf, yang menunggu pembaca bersedia memanennya. Syahdu sekali ilmu-ilmu itu. Tak mungkin bisa disejajarkan dengan rupiah, bahkan dolar sekalipun. Sudah pasti ilmu terlalu banyak nilainya.

Bagiku tempat curhat yang selalu berbaik hati adalah lampiran kertas-kertas kosong. Benda yang terelok didunia ini bagiku adalah lampiran kertas-kertas kosong itu. Akan bernilai melebihi emas jika tepat dalam mengisinya.

Candu menulis, membuatku sial kali ini. Kini aku harus rela tergopoh-gopoh menuju kamar mandi lantas mandi dengan prioritas basah. Itu semua karena aku melangkahi pukul 07.00 dimana aku sudah harus siap duduk takzim mendengarkan dosen. Berpakain rapi putih-putih, dengan spatu fantofel yang tersemir licin, memakai jam tangan ditangan sebelah kiri. Lantas di akhiri dengan potongan klimis di sisir ke salah satu sisi. Tapi nyatanya tidak. Saat ini aku tengah berlarian di koridor menuju kelas. Setelah kulihat jam yang menggantung di jidat dinding menunjuk pukul 07.13. Sudah dulu ya kawan aku hendak kuliah dulu! Dan aku akan tetap menulis. Jangan kuatir!

Jumat, 22 Mei 2015

Mengulurkan Tangan

Hanya karena Ia orang tua renta, buruk rupa, tak menarik lagi bagi kita. Lantas kita enggan mengulurkan tangan untuk menolongnya ketika mereka berada dalam kesusahan.

Sebalikanya ada orang yang berupaya sebaik mungkin didepan orang yang disukainya. Menawarkan bantuan, meskipun kita tak membutuhkan. Sok perhatian, segala urusan yang kita anggap bisa dilakukan sendirian. Ia tak segan-segan membantunya. Ibaratnya, tak ada angin tak ada mendung, hujan mengguyur.

Hati-hati kawan dengan orang yang berperangai demikian. Ia menolong karena ada maunya. Ia mengulurkan tangan bukan lantaran kerelaan. Tapi ia menolong sebab ada kemauan. Ia mengharapkan balasan yang entah apa terkadang kita tidak tahu. Hatinya jauh dari keikhlasan. Seperti para penyuap-penyuap hakim yang bermulut manis. Tapi sebenarnya dalamnya lamis.

Cara mengetahui orang bertabiat demikian. Mudah sekali kawan. Biasanya orang seperti demikan, suka sekali mengungkit-ungkit kebaikan yang telah ia kerjakan. Mengungkit-ungkit pemberiannya. Lantas pada akhirnya ia menuntut balik pada kita, menuntut balas jasa kawan! Hidupnya penuh perhitungan antara untung dan rugi. Pikirannya selalu ingin untung. Tak ada kamus rugi terselip di pikirannya. Prioritasnya hanya keuntungan.

Hidup dimasyarakat pun demikian. Sering absen jika ada kegiatan gotong royong. Ada saja alasannya. Tapi jika pembagian sembako Ia berada dalam urutan pertama. Tak ingin kalah dari siapapun. Kemudia  Lebih memilih uang dari pada kawan.

Sudah pasti orang yang demikian tak banyak di suka orang. Kawan pun hanya secuil. Bisa dibayangkan hidup tak ada kawan. Pastinya kesepian. Padahal kawan lebih dari pada uang jika kita mengetahuinya.

Tapi jika kita berperangai sebaliknya. Mengulurkan tangan penuh keikhlasan. Membantu tanpa lihat bulu. Sudah pasti kawan akan bertebaran dimana-mana. Dan suatu saat ketika kita sedang kesulitan tak menutup kemungkinan salah satu dari kawan kita datang menolong. Pertolongan datang tak terkira. Bisa dari teman. Temannya teman kita. Dan seterusnya.

Saling tolong menolong berarti menyambung silaturahmi. Menambah relasi serta, mengikat hubungan baik dengan saling membantu sesama yang sedang mendapati kesusahan. Entah itu anak kecil, sebaya, atau orang tua. Laki-laki atau perempuan. Sebaiknya tidak usah pandang bulu dalam mengulurkan tangan. Sebab kita tak tahu apa rencana baik Allah. Janganlah enggan menolong kemudian menyombongkan diri. Allah saja menolong semua hambaNya. Membagi rezeki pada semua makhluk tanpa terkecuali.

Percakan Malam

Awalnya aku berniat untuk mengikuti kelas malam bahasa Inggris. Tapi setelah melihat kelas, hanya ada empat orang yang tengah menyelesaikan tugas bahasa inggris. Lantas mereka memberitahu bahwa tak ada kelas malam hari ini. Alias libur.

Setelah mengetahui hal itu. Aku memutuskan untuk kembali, setelah berpamitan pada mereka beberapa saat lalu. Membalikkan badan dan melangkahkan kaki. Melihat lurus kedepan. Koridor lantai dua lengang usai maghrib. Tak ada seorang pun yang berkeliaran, meskipun hanya duduk-duduk di salah salah satu kursi panjang yang berada di depan setiap kelas.

Tapi pada langkah yang belum melebihi delapan. Seorang bersweater dan tergantung ransel dipunggungnya keluar dari salah satu ruangan yang aku tahu itu adalah ruang dimana mahasiswa dapat menunaikan sholat. Persis delapan meter didepanku.

"Hei boy!", berjalan sigap sambil melambaikan tangan kearahku. Dan sedikit tersenyum tipis.

" Darimana Mr!", spontan tanyaku padanya. Aku tahu persis siapa dia. Aku biasa memanggilnya Mr. Ismed. Dialah orang yang memberi perkuliahan bahasa inggris pada malam ini. Mengajariku berbicara bahasa inggris selama kurang lebih sudah dua bulan lamanya. Tapi Speaking ku masih acak-acakan terkadang salah Grammar, tidak hanya satu dua kali tapi mungkin sudah ratusan.

Kemudian beberapa saat lagi. kami akan terlibat pembicaraan yang cukup panjang. Aku mengurungkan niat untuk pergi. Dan memilih duduk disalah satu kursi panjang di depan kelas.

"Fat tolong persiapkan beberap pertanyaan untuk besok ya! Dan tolong tepat waktu, ingat jam satu ya! Tolong kamu koordinir teman-temanmu juga ya!"

"Okay Mr. Jangan kawatir!"

Kemudian setelah berbasa-basi cukup lama. Pembicaraan ini berubah menjadi percakapan yang berkelas. Tentang kesuksesan dan saling memotivasi. Entah dari mana percakapan ini tumbuh. Awalnya hanya biasa-biasa saja. Seperti yang aku tahu percakapan antara dua orang memang sulit untuk berhenti. Bak lalu lintas disiang hari.

"Habiskan kegagalan mu di waktu muda. Berusaha dan terus berusaha. Jangan pernah takut untuk mencoba. Jadi bunuhlah kemalasan. Kamu lihat tokoh-tokoh besar. Ia belajar dari kegagalan. Memperbaiki dan terus memperbaiki kesalahan. Tapi kita dapat belajar dari mereka. Jika bisa langsung berhasil mengapa tidak?"

Aku menatapnya lamat-lamat, Mr. Ismed balas menatapku menjelaskan dengan intonasi meyakinkan. Tangannya reflek mengikuti ucapannya. Seperti yang kita tahu itulah efek samping dari meresapi apa yang dilakukan. Aku mengangguk-angguk pelan. Pertanda mengerti apa yang ia ucapkan. Semangat berkobar menyala kembali.

"Okay Mr. I will do it!", seperti biasanya aku membalasnya bersemangat. Dengan pelafalan yang agak sengau-sengau. Belum cukup lancar pronoun ku. (Cukuplah cerita malam itu)

Semangat Kepanduan

Puluhan anak-anak berkerumun
Bertebaran ditanah lapang
Bersorak sorai
penuh peluh di muka

Takmungkin memupuskan semangat
Ceria pun tak mungkin runtuh
Ditelan peluh
Lihatlah mereka tetap tersenyum

Menebarkan kecerian menjadi euforia
Melontarkan kata-kata penuh gairah
Gairah semangat pantang menyerah
Semua wajah merah merekah

Inilah anak-anak
Semangatnya meledak-ledak
Bercumbu dengan tawa
Dan esok akan jadi nostalgia

Itulah mereka
Koloni berseragam penuh perlengkapan
Yang kelak menjadi harapan
pandu atfal hizbul wathan.

Rabu, 20 Mei 2015

Tidak Ada Yang Mustahil Bagi Yang Berusaha

Tidak ada orang yang tidak pernah disindir. Saya yakin semuanya pasti pernah. Dikatai dengan perkataan yang tidak enak didengar, bahkan lebih-lebih hingga menyakiti hati. Sudah pasti ini sering kita alami.

Dikehidupan sehari-hari misalnya. Saat kita sedang asyik ngobrol dengan teman. Eh tiba-tiba ada seorang nyelonong mengatai kita dengan pernyataan dan intonasi yang kurang enak. Lantas, bagaimana kita menyikapinya? Setiap orang berbeda-beda cara menyikapinya. Ada yang diam saja, tak acuh. Ada yang lantas balas menyindir. Ada juga ada yang langsung menimpuknya. Akhirnya terjadi pertempuran kecil.

Memang tidak apa-apa jika sindiran itu bersifat mengkritik. Sebab pada dasarnya pengkritik, ialah orang yang peduli terhadap kita. Dan secara tidak sadar Ia telah menunjukkan kelemahan kita. Sehingga kita bisa memperbaiki kesalahan tersebut. Intinya sindirannya bersifat membangun.

Tapi bagaimana jika sindiran ini bersifat menjatuhkan? Ketika kita sudah bersusah payah melakukan usaha untuk meraih impian. Lantas ada seorang teman yang mengatai akan sia-sia usaha yang telah kamu lakukan! Tidak ada gunanya! Berhenti saja! Sudahlah kamu tidak akan bisa! Tidak menutup kemungkinan orang yang telah melakukan usaha tadi terbawa perkataan temannya. Menggulung semua usaha yang telah dilakukan. Dan mengikuti si orang tadi.

Hati-hati kawan terhadap orang yang berperangai demikian. Jangan pernah sekali-kali menjadikannya sebagai teman sehari-hari. Apalagi menjadikannya panutan. Huh...tak sedaplah dipandang jika hal yang demikian terjadi.

Setiap hari, bahkan setiap waktu anda akan tertular ion-ion negatif berbau pesimistis. Menahului nasib. Berpikiran negatif terhadap segala sesuatu. Sehingga anda tertular berbagai keburukan. Sebenarnya boleh-boleh saja berteman dengan orang yang demikian. Asalkan kita punya komitmen dan pendirian yang kuat. Pribadi yang tak mudah terpengaruh. Sehingga hidup tidak terombang-ambing bak kapal yang kehilangan kemudi di tengah lautan.

Kuncinya kita harus yakin dengan yang kita lakukan. Bahwa itu merupakan hal yang benar. Tentunya harus didasari dengan iman yang kuat.

Tidak usah digubris sindiran yang sifatnya menjatuhkan. Cukup didengarkan lewat kuping kiri kemudian keluarkan lewat kuping kanan. Lalu doakan ia panjang umur agar kelak Ia tertohok atas impian yang telah kau raih. Yang mustahil baginya, Tapi tak ada yang mustahil bagi yang berusaha. Sebab Allah pun telah berjanji. Tak akan mengubah nasib seseorang kecuali Ia mau merubahnya sendiri.

Imajinasi Adalah Bibit

Jika saya tanya pada kalian, mana yang lebih berharga antara imajinasi dan pengetahuan? Saya berani bertaruh sebagian besar kalian akan menjawab. Ya lebih berharga pengetahuanlah, apa berharganya imajinasi. Kemudian dalam hati mereka melanjutkan. semua orang bisa berimajinasi, mengkhayal, atau sebagainya. Apa berharganya coba?

Awalnya saya juga beranggapan demikian. Lebih memihak bahwa pengetahuan lebih berharga di banding imajinasi. Pengetahuan identik dengan kepandaian, dan kecerdasan itu yang saya tahu sebelumnya. Sedangkan imajinasi hanya sebuah pekerjaan yang sia-sia. Mengkhayal sesuatu yang tak jelas. Dan tak menghasilkan se sen uang pun.

Tapi ternyata itu salah telak jika anda menganggap bahwa pengetahuan lebih berharga dibanding imajinasi. Bukan malah sebaliknya, Mengapa demikian? Kalau boleh di analogikan pengetahuan itu ibarat hasil atau materi yang sedang dipunyai. Sedangkan Imajinasi itu seperti usahanya, atau proses dalam mencapai hasil.

Jika kita lihat kebanyakan kasus. Tidak usah jauh-jauh cukup di sekitar kita saja. Ketika seorang siswa mendapat sebuah soal tugas yang belum pernah Ia jumpai sebelumnya. Ia akan memilih menjiplak jawaban teman sebab Ia belum pernah tahu sedikitpun sebelumnya. Itu adalah anak yang meganggap pengetahuan lebih berharga.

Sedangkan sebaliknya, anak yang mengatakan imajinasi lebih berharga. Saya yakin dengan PD nya Ia akan menjawab soal itu sendiri. Meskipun jawabannya salah. Mengapa bisa demikian? Asal kalian tahu orang yang sering berimajinasi telah melatih mempekerjakan otak untuk berfikir. Mengira-ngira segala kemustahilan yang belum terjadi.

Berasal dari mana lampu neon? Jika Thomas Alfa Edison tidak berimajinasi, baru kemudian mencoba merealisasikan. Meskipun berkali-kali menuai kegagalan. Tapi dipenghujung cerita. Ia berhasil dengan imajinasinya. Hebat bukan?

Itu sebabnya mengapa Enstein berkata, Imajinasi lebih berharga dibanding pengetahuan. Seolah Imajinasi adalah bibit dari segala pengetahuan. Bibit dari segala rumus-rumus. Bibit dari sesuatu yang luar biasa, apabila semuanya mampu menjadi nyata.

Senin, 18 Mei 2015

Mencederai Hati

Mereka tertawa lepas bagai anak burung yang baru saja kabur dari sarangnya lantaran melihat ulat meggeliat di tepi daun. Sudah jelas-jelas mereka mencederai hati. Mencaci kawannya sendiri. Menghinanya setengah mati. Kemudian mengakhirinya dengan ekspresi wajah merendahkan.

Tega sekali bukan? Bukan karena menumpahkan kopinya. Bukan karena salah minum kopinya. Juga bukan karena muludahi kopinya. Dari tadi Ia hanya diam saja duduk di atas batu bata menikmati film di teleponnya. Lantas kawannya balas mencaci, sebab Ia cengar cengir tak jelas serupa penderita gangguan jiwa.

Lantas mereka sangat tega jika hanya untuk mencaci kecacatan tubuh. Seperti inilah manusia. Terkadang kita tidak berpikir, ciptaan siapa yang telah kita hina. Kita tertawakan. Seolah kita mampu membuat lebih baik dari pada bentuk kecacatan rersebut. Nyatanya bagaimana? Apalagi lebih baik, secuil saja saya yakin tak mampu.

Hati-hati kawan, mulut adalah lubang yang terlau berbahaya. Utamanya bagi para pemiliknya sendiri. Lubang fitnah, lubang dusta, juga lubang malapetaka. Hati-hati kawan! Terkadang jargon, mulutmu harimaumu. Berkata benar.

Minggu, 17 Mei 2015

Euforia Holiday

Untuk sebagian orang, minggu adalah waktu yang cocok untuk bermalas-malasan. Membenamkan kepala di bantal-bantal empuk untuk selang waktu yang cukup lama. Atau bersenda gurau dengan anakan kucing yang terlihat lucu dengan sepasang mata bulatnya yang berkilauan. Jika ada pilihan lain, pastinya itu adalah jalan-jalan. Melihat eloknya alam ciptaan Tuhan dengan segala rupa aksesorisnya.

Tapi itu orang lain. Sejak kecil aku sudah terbiasa untuk mengawali minggu terlalu awal. Berharap untuk sesegera mungkin menjemput keelokan free day. Dimana orang-orang berkacamata seumuran bapak-bapak sedang menyandarkan salah satu kakinya si atas kaki lainnya. Kemudian takzim dengan kertas lebar di depan mukanya. Sesekali Ia mengibaskannya. Sedang aku cukup memperhatikannya dari kejauhan sambil menapaki jalanan panjang didepanku. Aku selalu suka dengan euforia holiday. Orang terlihat santai di mana-mana.

Anak-anak riang duduk takzim di depan layar kaca. Menantikan film yang hanya tayang di hari minggu. Jadi itu seperti penantian panjang seorang kekasih yang di tinggal pasangannya. Akan senang sekali jika ada satu masa yang mana mampu mempertemukan keduanya. Iya, itu lah anak-anak yang akan bertemu film idamannya untuk beberapa menit kedepan dihari minggu. Dan Ia harus rela menunggu selama tujuh hari lagi untuk menyimak kelanjutannya. Itu semacam hubungan setia yang terjalin tanpa disadari. Elok sekali bukan?

Untuk beberapa alasan mengapa minggu lebih menarik dibanding enam hari lainnya. Itu tidak lain adalah kemerdekan, freedom. Apapun bisa di lakukan di hari minggu, bahkan mungkin bisa sangat serupa dengan rencana. Jika tidak ada faktor x yang menghalangi. Salah satunya ialah cuaca. Akan sangat mengecewakan jika rencana piknik di hari minggu terpaksa di batalkan lantaran hujan turun begitu derasnya. Helaan napas satu dua kali akan terjadi. Mau bagaimana lagi kawan, itulah takdir.

Mungkin juga, minggu adalah hari pelampiasan. Pelampiasan tidur tak kunjung bangun, bagi para pekerja malam. Pelampiasan menjelahah alam, bagi pekerja di dalam ruang. Pelampiasan bertemunya sepasang kekasih, yang terpisah disebabkan kesibukan. Serta pelampiasan berbagai macam hal yang tak kunjung dapat di kerjakan di enam hari lainya.

Bagiku minggu itu selalu menakjubkan. Entah kenapa seolah lingkungan berubah bersahabat. Tak ada jeratan deadline. Deadline sirna untuk beberapa saat. Kemudian muncul emprit-emprit beterbangan disana sini menabur kebahagiaan. Jika boleh di ganti enam hari lainnya dengan nama yang sama. Pastinya orang-orang akan bosan bermalas-malasan. Dan keindahan minggu akan lenyap untuk selamanya. Begitu juga dengan euforia holiday.

Sekolahanmu Buruk Rupa?

Kau lihat kawan? jangan pernah sekali-kali meremehkan tempat dimana engkau dididik saat ini. Hanya karena tempat itu tidak layak huni. Jangan pernah engkau merisaukannya. Tidak bisa melejitkan masa depan hanya karena engkau bersekolah di sekolah yang sederhana. Tidak berstandar nasional bahkan belum terakreditasi layaknya sekolahan megah lainnya.

Jangan pernah pesimis. Mendahului nasib, lantas membuat kesimpulan tidak ada masa depan cerah untuk siswa yang bersekolah di bangunan reot. Kemudian berusaha sekeras mungkin untuk segera mencari sekolahan lain yang dianggap layak. Dan mampu menyediakan kesuksesan kelak usai lulus. Yang tidak pernah engkau sadari, engkau telah membuang-buang waktu.

Salah besar kawan jika kita masih beranggapan demikian. Memang pada kenyataannya sekolah yang lebih berkualitas, fasilitas lebih dari memadai, dan di tunjang gedung penelitian untuk berbagai riset, akan menghasilkan peserta didik yang lebih berkualitas. Tapi itu jika dimanfaatkan secara maksimal. Jika tidak, bangunan-bangunan tersebut tidak lebih dari sebuah pajangan kemewahan yang teronggok manis diatas lahan.

Janganlah berkecil hati kawan. Bagi kawan-kawan yang tengah menempuh pendidikan di sekolahan yang kurang memadai baik dari gedung maupun fasilitasnya. Setidaknya kalian masih punya guru yang mengajar dengan tulus menyampaikan pengetahuannya dengan ikhlas dan menanamkan nilai-nilai kehidupan pada kalian. Itu lebih berharga dari gedung-gedung mewah dengan berbagai fasilitasnya.

Setidaknya kita bisa bangga dalam sekolah yang sederhana. Sebab masih bisa menemui orang-orang yang mengajar dengan ketulusan mengharapkan anak didiknya memperoleh yang terbaik darinya. Mengajar bukan memprioritaskan upah, tapi mengajar dengan memprioritaskan cita-cita yang luhur, yaitu  memerangi buta ilmu pengetahuan. menebarkan ilmu dengan kasih sayang.

Seperti pepatah jawa, guru iku di gugu lan ditiru. Yang artinya guru itu dihormati kemudian harus di tiru. Jika guru, baik perangainya. Murid pun akan baik perangainya. Sebab pada dasarnya anak-anak itu melihat terlebih dahuku kemudian baru mencontohnya. Dari sini kepribadian yang sehat akan terbentuk. Serupa dengan pernyataan Ahmad Syauqi Bey, seorang sastrawan arab abad pertengahan. Yang mana menyatakan, "Suatu bangsa yang besar tidak akan hancur karena ekonomi yang rusak, tetapi bangsa yang besar akan hancur karena moral yang rusak.". Jadi yang lebih penting adalah kepribadian. Moral dan Akhlak adalah dua hal yang harus di utamakan dalam pendidikan.

Jangan cemas kawan, karena sekolahan mu buruk rupa lantas engkau berpikiran tak akan menuai kesuksesan. Banyak orang-orang sukses yang lahir dari sekolah yang bisa di bilang biasa-biasa saja. Tengok Andrea Hirata yang dididik di SD Muhammadiyah yang bangunannya hampir ambruk. Tapi jadi apa dia sekarang? Penulis novel terkenal. Atau Ahmad Fuadi pendiri sekolah menara dan juga penulis novel best seller, ia adalah lulusan sekolah pondok.

Dari sini masihkah kita berfikiran bahwa kemegahan sekolahan berdampak besar pada kesuksesan seseorang. Jawabnya itu tidak terlalu kawan. Penentu sukses tidaknya seseorang adalah kepribadian seseorang. Itu berarti penentunya adalah diri sendiri. Tinggal mau atau tidak kita meraihnya, yang tentunya harus dengan bersusah payah. Seperti kata Chairul Tanjung, tidak ada kesuksesan yang diperoleh semudah membalikkan telapak tangan.

Jika kita bersungguh-sungguh dalam meraih kesuksesan. Niscaya kita akan mendapatkannya kelak. Bukankah Allah telah berjanji, tak akan mengubah nasib suatu kaum jika mereka tak berusaha merubahnya sendiri. Kemudian memanfaatkan semaksimal mungkin segala fasilitas di sekitar kita, karena itu merupakan bentuk syukur terhadap pemberian-Nya. Dan jika kita bersyukur niscaya Allah akan menambah nikmat-Nya.

Jumat, 15 Mei 2015

Berfikir dan Menulis

Islam pada abad pertengahan adalah Islam yang besar. Yang mana banyak berlahiran para pemikir-pemikir Islam. Seperti Ibnu Sina (avicenna) yang terkenal dengan ilmu kedokterannya. Bahkan tebersit kabar buku ensiklopedi kedokteran yang Ia tulis mampu menguasai eropa selama hampir 500 tahun di jadikan sebagai landasan ilmu kedokteran disana. Lain halnya dengan Ibnu Rusyd (averous) tokoh Islam dari Spanyol ini terkenal dengan buku filsafatnya yang mengkritik buku tulisan Al ghazali, sedangkan Al Farabi adalah salah satu tokoh Islam yang sungguh keterlaluan cemerlang otaknya. Dan masih banyak lagi.

Pada pertengahan abad lalu Islam tengah menikmati masa keemasannya. Itu bertepatan pada massa pemerintahan tiga Dynasti yaitu Umaiyah, Abbasiyah, dan Fatimiyah. Disitulah Islam sedang menguasai Eropa. Peradaban besar Islam mulai di bangun.

Andalusia menjadi pusat peradaban pendidikan dunia. Disini banyak didirikan universitas-universitas Islam, pusat para Ilmuan-ilmuan Islam melakukan pengkajian, penelitian, serta pengembangan Ilmu pengetahuan. Tak ketinggalan gedung perpustakan nan megah didirikan disini. Sehingga mengundang banyak orang dari seluruh penjuru berdatangan untuk menimba ilmu di sini.

Semua itu terjadi karena Islam gemar sekali melakukan pengkajian. Menelaah suatu kasus. Mengkaji atau menfsirkan Al-Quran. Lantas hasilnya mereka tulis dan dibukukan. Itulah budaya Islam dahulu. Yang mampu membawa ke masa keemasannya.

Mereka gemar sekali berfikr. Seolah itu menjadi sarapannya. Dan kemudian mengabadikannya dalam bentuk tulisan-tulisan. Elok sekali budaya Islam tempo dulu. Berfikir dan Menulis adalah budaya yang berhasil membawa ke masa emas.

Semoga jejak kawan-kawan Sahabat Pena Nusantara bisa serupa dengan Islam di abad pertengahan. Menjadikan berfikir dan menulis sebagai kebiasaan yang membudaya. Segera menetaskan karya-karya yang memperkaya literasi nusantara. Lebih-lebih mampu melejitkan derajad bangsa dan Islam dimata dunia. Dan memperkaya wawasan bangsa.

Kamis, 14 Mei 2015

Sebuah Esai dari Buya Hamka

Jika kita hanya mengerjakan yang sudah kita ketahui, kapankah kita akan mendapat pengetahuan yang baru? Melakukan yang belum kita ketahui adalah pintu menuju pengetahuan, jangan hanya menghindari yang tidak mugkin. Dengan mencoba sesuatu yang tidak mungkin, anda akan bisa mencapai yang terbaik dari yang mungkin anda capai. Salah satu pengkerdilan terkejam dalam hidup adalah membiarkan pikiran yang cemerlang menjadi budak bagi tubuh yang malas, yang mendahulukan istirahat sebelum lelah.

Bila anda mencari uang, anda akan dipaksa mengupayakan pelayanan terbaik. Tetapi jika anda mengutamakan pelayanan terbaik anda akan di cari uang. Waktu, mengubah semua hal, kecuali kita. Kita mungkin menua dengan berjalannya waktu, tetapi belum tentu membijak. Kita-lah yang harus mengubah diri kita sendiri.

Semua waktu adalah waktu yang tepat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jangan menjadi orang tua yang masih melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan saat muda.

Tidak ada harga atas waktu, tapi waktu sangat berharga. Memilik waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan.

#BuyaHamka

Eloknya Balasan Raja Salahuddin

Sering kita saling mencaci satu sama lain. Mencederai baik fisik maupun nonfisik. Semua itu terjadi lantaran adanya perasaan tidak suka. Sehingga terjadi permusuhan satu sama lainnya.

Seperti yang saya sebutkan diatas. Mencedarai satu sama lain adalah tindakan yang sering dilakukan. Seperti saling menjelek-jelekkan meskipun terkadang itu tidak benar adanya. Memang terkadang kata-kata cacian itu lebih sering ditambah-tambahi keburukannnya dengan karangan sendiri. Kejadian ini bisa kita lihat dari kebanyakan pelaku Parpol yang terkadang tega menjelek-jelekkan lawannya di depan publik. Saling umbar aib satu sama lain. Bahkan terkadang juga tega, untuk mencederai fisik.

Hanya karena kita tidak suka dengan Si Dia. Entah dia musuh kita dalam suatu pertandingan. Saingan kita dalam mendapat jabatan. Atau saingan kita dalam mendapatkan hati seorang perempuan. Kemudian kita tega melukainya dan enggan menolong orang tersebut saat ia sedang beroleh kesulitan. Hanya lantaran ia pernah menyakiti kita. Atau lantaran dia adalah musuh.

Kejadian seperti itu bukanlah sifat orang Islam yang sebenarnya. Seperti yang dicontohkan Raja Salahuddin al-Ayyubi, komandan pasukan Islam dalam perang salib III (The Crusader III) ketika tengah menghadapi Raja Richard I, seorang Raja Inggris yang mendapat julukan berhati singa, King Richard, The lion of heart.

Ketika dalam perang salib III itu Raja Salahuddin mendapati bahwa Raja Richard tengah menderita suatu penyakit. Sehingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan perang. Lantas ketika itu juga Raja Salahuddin meminta terjadinya gencatan senjata. Kemudian menawarkan pada pasukan musuh untuk memperkenankan tabib muslim memeriksa Raja Richard. Dan Raja Richard pun menanggapi permintaannya. Lantas dari kejadian ini, hubungan yang baik antar keduanya tercipta. Bahkan, terbetik kabar bahwa, Raja Richard berkenan mengawinkan adik perempuan nya dengan Raja Salahuddin. Namun cerita ini tidak ada kelanjutannya.

Betapa eloknya balasan Raja Salahuddin terhadap musuhnya. Meskipun sedang di sakiti, umat Islam di serang. Ia tak mengurungkan niat membantu ketika mengetahui musuhnya membutuhkan pertolongan. Beginilah umat Islam seharusnya. Banyak-banyak menebar kebaikan pada kawan maupun lawan. Pada dasarnya menamam kebaikan pun akan mengunduh kebaikan pula.

Malam Selat Bali!

Malam itu menjadi malam yang bisa di bilang mengesankan. Ya, cukup mengesankan jika dibanding malam-malam biasanya. Jam tanganku menunjuk pukul 11.47 itu berarti tiga belas menit kedepan adalah tengah malam. Sampai saat ini sedikitpun aku tidak merasakan kantuk, malah sebaliknya badan masih terasa segar seperti pada waktu pagi. Dimana aku baru saja terbangun dari tidur ku.

Mungkin saja itu karena malam ini adalah malam pertamaku berlayar meninggalkan Jawa untuk beberapa hari kedepan. Dua perasaan yang kini hinggap menyelimutiku. Dan saling bertolakan satu sama lainnya. Itu adalah rasa cemas dan riang. Bukankah itu saling bertolakan kawan?

Baru saja Bus yang kunaiki berhenti. Kami, aku dan 45 kawanku terpaksa harus turun. Lantas berjalan kaki menuju ujung pelabuhan. Meskipun ada beberapa anak yang terseok-seok, itu tidak lain karena rasa kantuk. Kami tetap saja berjalan saling beriringan. Pelan dan tetap bersama-sama bagai keluarga besar.

Angin laut terlalu dingin untuk menggelayuti tubuh kurus keringku. Dingin sekali angin laut malam ini. Mengalir melalu sela-sela diantara kami. Kawan-kawanku riang. Beberapa mendekap tubuh mereka masing-masing. Mencoba mengusir dingin yang menancap. Lainnya memeluk selimut, atau semacam selendang yang dikenakan layaknya selimut di Bus tadi. Itulah anak perempuan.

"Hey lihat anak itu!", salah satu temanku mengacungkan tangannya ke tepi pelabuhan. Ya tuhan elok sekali pemandangan di depan ku. Anak-anak kecil berenang. Menyelam kedasar lautan. Lalu beberapa saat muncul lagi kepermukaan. Sambil mengangkat tangan. Menunjukkan koin yang dilempar tadi berhasil ditemukan. Mereka gesit, sigap, mengejar koin yang dilemparkan para penumpang kapal saat melintas jembatan dari pelabuhan ke kapal.

Ramai sekali suasana ujung pelabuhan. Dipenuhi orang yang berbondong-bondong kekapal. Atau di bawah kapal ada beberapa orang berjaket tebal sedang mengatur kendaraan masuk kapal. Sedang kawan-kawanku masih riang melihat anak tadi. Beberapa melempar koin lima ratusan rupiah. Lantaran Ingin melihat atraksi itu lagi.

Aku semakin cemas juga bertambah riang. Cemas karena apa? Karena ini adalah kali pertama aku naik kapal. Aku takut ada apa-apa dengan kapal ini. Bagaimana kalau kapal tiba-tiba tenggelam? Bagaimana kalo mesinnya tiba-tiba mati di tengah lautan? Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan teman-teman ku nantinya? Bagaimana jika? Haduh Puluhan pertanyaan membuatku mengernyitkan jidat. Membuat kepalaku pening. Pertanyaan itu begitu saja muncul ketika sebentar lagi aku harus menjejakkan kaki di kapal. Tapi di sisi lain aku juga riang ingin sekali tahu rasanya naik kapal. Ingin sekali tahu eloknya memandang lautan di malam hari. Juga memandang rasi bintang-gemintang di atas sana.

Bagaimana ini naik apa tidak? Batinku semakin bergejolak. Peluh-peluh di mukaku mulai menyembul. Helaan napas beriringan dengan degup jantung yang semakin cepat. Beberapa kawanku telah berada di atas kapal. Melambaikan tangan kearahku. Riang. Mengajakku untuk cepat naik.

Ya Tuhan semoga Engkau senantiasa melundungi kami. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Seraya berdoa dalam batin. Meminta perlindungan-Nya. Memasrahkan semua kecemasan pada-Nya. Allah Tuhan yang memelihara semesta. Tempat dimana umatnya memohon dan berlindung.

###

Kini aku tepat berada di atas kapal. Menjejakkan kaki di atas lantai kapal. Menatap wajah-wajah riang. Di atas sini. Beberapa yang lain tengah sibuk berfoto. Mengambil gambar suasana laut di malam hari. Mengabadikan momen dalam jepretan kamera. Kami berada tepat di atas kapal paling tinggi. Dimana ruang kemudi kapal berada tepat di pinggirku.

Malam selat bali! Lihatlah pemandangan pelabuhan yang sungguh elok. Beberapa kapal sibuk berlabuh. Menurunkan barang. Beberapa lagi tengah beranjak meninggalkan pelabuhan melewati selat bali. Persis kapal yang kutumpangi ini. Bintik-bintik berkilauan terlihat dari kejauhan. Itu tidak lain adalah puluhan lampu di Bali.

Kapal perlahan meninggalkan pelabuhan menuju Bali. Tenang, ombak malam ini bisa di bilang cukup tenang. Goncangan-goncangan kecil tidak begitu berkesan. Terimakasih Tuhan.

Aku begitu senang malam ini. Tengah malam di selat bali. Beserta teman-teman baikku. Salah satu teman mengajakku berfoto saat ini.

Selasa, 12 Mei 2015

Sirna Seiring Waktu

Pagi tadi sewaktu berangkat menuju kampus. Seperti biasanya, Aku sempatkan terlebih dahulu berhenti di POM untuk isi bensin. Setibanya disana antrian mengekor di depanku. Kira-kira jika di beri nomor antrian. Aku mendapat nomor urut ke 5.

Sambil menunggu antrian yang bisa dibilang cukup lama. Ada saja yang kulakukan. Seperti melihat-lihat sekitar, ke Jalan raya yang tidak begitu padat. Melamun sejenak, atau mengecek pukul berapa sekarang, dengan perasaan cemas takut terlambat.

Antrian semakin memendek. Itu artinya sebentar lagi tiba giliran motor yang kunaiki ini mendapat kucuran bensin. Aku bergegas mengeluarkan uang dari dompet. Menyiapkan uang 10 ribu.

Suara raung motor sesekali terdengar dari belakang. Antrian semakin memanjang dibelakangku. Puluhan motor membentuk barisan acak menderu-deru tidak sabaran. Memang pagi dan sore hari selalu menjadi puncak aktivitas. Serasa detik secepat kedipan mata, menit secepat detik, jam secepat menit, begitulah seterusnya.

Tinggal satu orang lagi. Setelah itu tiba giliranku. Tapi inilah puncak dari pelajaran pagi tadi. Ketika kutajamkan pandanganku kedepan. Seorang bapak tua sedang berdiri disamping motor bututnya. Sama sepertiku ia juga pembeli bensin. Bajunya compang-camping. Memakai sarung, ikatannya berada jauh diatas perut. Kancing bajunya juga tidak semua masuk lubang. Kira-kira hanya tiga dari tujuh kancing yang sesuai pada twmpatnya.

Wajah nya keriput penuh lekukan-lekukan lemak disana sini. Iramanya pasrah, seolah ia telah lelah dengan hal yang berbau dunia, kumis serta jenggot putih menguncup di sekitar mulutnya. Mulutnya melongo dari situ terlihat gigi ompongnya. Ah kasihan sekali bapak tua ini. Motornya pun butut. Jika dikategorikan dalam strata kasta budha. Orang tua ini tak akan menempati salah satunya. Dia terlalu miris.

Kira-kira seperti inilah wujud tua kita nanti. Rentan. Rentan terserang penyakit. Juga rentan mengidap penyakit. Kekuatan pun menurun bahkan kekuatan untuk menutup mulut sendiri bisa saja tak mampu. Daya ingat sudah pasti sangat menurun. Jangankan ingat mengurus istri, diri sendiri saja kadang lupa tidak dinurus. Compang-camping tak keruan.

Lantas pantaskah kita untuk berlaku sombong. Karena memiliki segala kelebihan yang di genggam sekarang. Ketampanan atau kecantikan akan luruh seiring berjalannya waktu. Harta akan sirna meskipun kau pendam. Coba saja jika tidak percaya. Bahkan belum tentu besok adalah milik kita. Jangankan besok lima menit yang akan datang, belum tentu kita bisa menghirup udara.

Semuanya akan sirna termakan waktu. Jadi cukup melakukan yang terbaik dalam kebajikan. Singkirkan sombong. Dan senantiasa berdzikir (mengingat) Nya.

Sunrise di Tanah Lot

Pintu didepanku dari tadi tak henti-hentinya di pukul. Digedor-gedor dari luar. Aku bisa membayangkan dari gemuruh percakapan di luar. Pastinya ada lebih dari satu orang mungkin tiga sampai lima orang tengah antri didepan pintu toilet masing-masing.

Toilet umum ini telah ramai meskipun hari masih terlalu pagi. Bahkan matahari belum berkenan menunjukkan batang hidungnya. Hanya ada cahaya fajar yang beranyaman dengan kelabunya langit di atas sana. Itu artinya sekarang masih terlalu pagi untuk mengajak anjing jalan-jalan.

Badanku sudah terasa segar. Diguyur air dari pulau dewata. Saatnya keluar dari toilet umum lantas menghirup segarnya udara pagi di Tanah Lot. Tentunya beserta kawan-kawanku sekelas.

Aku terbelalak usai membuka pintu toilet. Sedikit terheran-heran antrian membludak memenuhi lorong. Puluhan orang berdiri mengantri didepan pintu setiap toilet sambil membawa peralatan mandinya masing-masing. Tidak terkecuali teman sekasku pun ada yang tengah mengantri.

Lantas aku bergegas meninggalkan toilet. Mempersilahkan pengantri tadi sebelum beranjak pergi. Aku berjalan di depan para pengantri pelan agak membungkuk pertanda aku memberi hormat. Dan sedikit jail ketika berjalan didepan kawanku sendiri. Menciprati mukanya dengan air. Tapi itu hanya becanda kawan tidak lebih.

Aku sudah tidak sabar menghirup udara pantai. Menikamati keindahan sunrise bersama deburan ombak di pantai di Tanah Lot. Aku sudah membayangkan berbagai macam keindahan yang akan kutemui disana. Berbagai macam rencana sudah tersusun apik dibenakku. Entah sejak kapan aku telah mempersiapkannya. Yang pasti sebentar lagi itu akan terwujud.

Iya tepatnya kini kami tengah berbondong-bondong ber empat puluh enam, berjalan melintasi jalan setapak berpaving. Disamping kanan dan kiri jalan berjejer-jejer toko souvenir bali. Rumah makan. Juga pelayanan jasa. Tak jarang di beberapa depan toko souvenir. Seekor anjing tengah duduk sambil menjulur-julurkan lidah. Beruntungnya si anjing terikat lehernya.

Nyanyian-nyanyian khas bali terdengar mengalun lirih dari beberapa toko. Nyaman sekali terdengar ditelinga. Hari ini langit agak kelabu tertutup mendung. Jalanan remang kawan. Tapi tak mengurangi suasana yang nyaman.

Allahu Akbar. Indahnya pantai-Mu. Nikmat mu memang tak terhitung jumlahnya. Kini didepanku telah terhampar lautan beserta seribu keindahannya.

Senin, 11 Mei 2015

Pemarah dan Hulk

Kalian pasti tahu salah satu superhero tokoh Marvel yang berbadan besar dan berwarna hijau. 'Hulk' itulah nama superhero satu ini. Awalnya dia hanya manusia biasa seperti kita. Tak punyai kekuatan yang mengerikan. Tubuhnya juga berukuran normal seperti kebanyakan orang lainnya. Tapi suatu ketika semuanya berubah. Perubahan itu berawal dari sebuah percobaan mutasi gen yang gagal. Hingga akhirnya ia mampu berubah menjadi raksasa hijau yang buas nan mengerikan.

Saya jamin anda akan berlari kencang, ketakutan jika berhadapan langsung dengan superhero satu ini. Mukanya yang awalnya tampan berubah mengerikan. Tubuhnya yang standar berubah semakin besar. Semuanya berubah dari warna kulit yang awalnya putih berubah jadi hijau. Begitu juga sifatnya yang awalnya ramah jadi pemarah. serta buas bak hewan liar. Ia tak segan-segan menyakiti kawannya ketika tengah berubah. Seolah-olah dimatanya kawan atau lawan adalah dua hal yang sama persis. Dan tak begitu diperdulikannya. Ia juga tega sekali jika hanya disuruh untuk melukai keduanya.

Seolah matanya tak mampu melihat atau membedakan mana yang baik dan buruk. Sifat ini serupa sekali dengan keadaan kita sewaktu marah. Bisa dibayangkan bukan betapa mengerikannya ketika sedang melihat orang yang marah. Secara reflek kita akan memilih untuk menjauhinya.  Bahkan seorang guru ngaji pun yang suka marah-marah. Saya yakin tidak lama muridnya akan pergi satu persatu karena ketakutan.

Orang yang tengah marah. Kebanyakan akalnya tak bisa berfungsi secara normal. Tak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Misalnya seperti ini, ada seorang Bapak yang tega memukul anaknya sebab baru saja si Bapak tengah bertengkar dengan istrinya. Padahal anak tidak salah apa-apa tapi mendapat imbas dari kemarahan. Maka tidak salah kalau marah dianalogikan sebagai sebuah api. Akan merambat dan terus merambat jika tidak dipadamkan. Dan jika telah usai marahnya ia baru sadar jika telah berbuat salah. Ia akan sangat menyesal sekali telah berbuat khilaf. Melukai buah hatinya sendiri.

Makanya tidak jarang jika seorang pemarah kekurangan teman. Melihat saja enggan, apalagi bercakap-cakap, lebih-lebih berteman. Siapa yang sudi berteman dengan seorang pemarah yang terkesan mengerikan dan hobi melakukan kekerasan. Saya kira tidak ada. Pasti akan khawatir dilukai si pemarah itu.

Oleh karena itu saya rasa penganalogian pemarah dangan Hulk adalah tepat sekali. Perlu diketahui juga bahwa si tokoh yang memerankan Hulk pun tak ingin ia berubah lagi menjadi monster tersebut. Ia berupaya untuk menahan amarahnya. Tak tanggung-tanggung yang Ia laukukan agar mampu menahan amarahnya. Lantas ia mengikuti terapi menahan amarah. Di situ Ia harus rela dipukuli badannya juga mukanya dengan perjanjian Ia tidak boleh marah.

Sampai segitunya upaya untuk menahan amarah agar bisa menjadi orang yang sabar. Padahal didalam Islam diajarkan tata cara mengendalikan amarah. Dimulai dari perintah untuk duduk jika sebelumnya kamu marah dalam keadaan berdiri. Jika masih marah maka berbaringlah. Dan terakhir kita di suruh mangambil air wudlu jika cara sebelumnya tak mampu mereduksi amarah.

Jadi jika tak mau serupa dengan Hulk. Maka jangan sekali-kali hobi menyandang amarah. Mengenakannya sebagai kebiasaan. Bukankah orang yang banyak teman dan disukai orang banyak adalah orang yang santun, penyayang, dan sabar. Maka dari itu mari berlomba-lomba untuk memperbaiki diri!

Minggu, 10 Mei 2015

Keluarga dan Anak

Keluarga. Mungkin bisa dibilang adalah kumpulan dari orang-orang yang memiliki hubungan darah dengan kita dan peduli pada kita. Didalamnya kita akan saling berinteraksi satu sama lain. Dengan Bapak, Ibu, Kakak, serta Adik.

Tapi tidak semuanya mampu melakukan interaksi satu sama lain. Terjadi ketidak cocokan tipe. Biasanya terjadi antara orang tua dan anak. Tapi tidak menutup kemungkinan terjadi misinteraksi antar saudara.

Kita tidak kekurangan kasus, atas hal ini. Berbagai macam media sering memuatnya, mulai dari televisi, koran, majalah, bahkan tidak hanya media yang menyiarkannya. Terkadang dapat kita jumpai secara langsung. Tengok saja tetangga disekitar kita. Bahkan tidak menutup kemungkinan anda sedang mengalaminya saat ini.

Akibat dari ketidakcocokan antar anggota keluarga. Kebanyakan akan berdampak buruk. Misalnya orang tua yang tidak memahami anaknya. Bisa saja anak akan mengalami stress. Sebab tidak ada keselarasan antara anak dan orang tua. Sehingga tidak menutup kemungkinan. Kompensasinya, anak akan melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya untuk mereduksi stress tadi.

Boleh-boleh saja jika hal yang dilakukan adalah bersifat positif. Tapi mungkin itu hanya sebagian anak. Selebihnya, atau kebanyakan lebih memilih ke hal negatif. Sebab, mereka lebih memilih ke hal-hal yang berbau pelampiasan. Seperti meneguk alkohol, narkoba, dan lain sebagainya.

Pada dasarnya anak, utamanya remaja lebih cenderung ingin melepaskan diri dari keluarganya. Mereka merasa malu dengan temannya. Apabila lebih dekat dengan keluarga. Ini sesuai dengan teori perkembangan prilaku dari remaja.

Sehingga yang terjadi adalah si anak yang ingin melepaskan ikatan dari keluarga. Dan merasa lebih cocok dengan temannya. Dari sini anak yang tidak pandai dalam memilih teman akan terjerumus pada keburukan. Dalam buku Jonathan Poyk yang berjudul Narkoba Sayonara. Yang berisi kumpulan kisah-kisah anak yang berkelit dengan narkoba. Dan akhirnya mampu melepaskan diri daru jeratan narkoba, kebanyakan mereka berpesan agar hati-hati dalam memilih teman. Dari sini kita tahu bahwa pernyataan jangan pernah pilah pilih dalam berteman. Adalah sebuah kesalahan.

Apa kaitannya kasus diatas dengan keluarga? Ketika keluarga mampu menjaga hubungan antar anggotanya. Saling memahami satu sama lain. Kemungkinan bisa untuk mereduksi kasus demikian. Sebab keluarga adalah wadah atau tempat kita untuk saling sharing. Mengutarakan masalah dan menyelesaikan masalah secara musyawarah. Sehingga akan ditemukan solusi yang disetujui seluruh anggota keluarga. Dan resiko terjadinya penyimpangan anggota keluarga bisa berkurang.

Pemilihan Putra Putri STIKES

(9/5) Sorak sorai penonton telah bergemuruh memenuhi aula utama kampus. Puluhan mahasiswa laki-laki maupun perempuan memadat di dalamnya. Mengibas-ngibaskan tangan ke udara ketika tengah manyaksikan jagoannya berlenggak-lenggok memamerkan aksi serta kebolehannya dalam berakting bak seorang model. Setidaknya itu adalah bentuk solidaritas mereka terhadap kawannya. Bersorak riang ketika kawannya beraksi dan bersorak huu!- keras- ketika lawanya beraksi.

Kursi-kursi di tata sedemikian rupa membentuk dua formasi persegi panjang menghadap ke panggung. Di kursi barisan depan duduk tamu undangan. Baru di belakanngnya, puluhan mahasiswa duduk. Yang paling menentukan adalah empat orang yang duduk dengan meja serong ke arah panggung. Mereka tak lain adalah juri lomba pemilihan putra-putri Stikes Muhammadiyah Lamongan.

Mekanisme lomba yang di buat panitia bisa di bilang cukup menarik. Tersusun dari empat tahapan. Pertama peserta wajib berlenggak-lenggok di panggung bak model memamerkan akting dan stelan bajunya, selama iringan musik. Tahap kedua dilanjutkan dengan pengenalan diri. Tentu saja ada yang berbeda disini. Seluruh peserta diwajibkan menggunakan bahasa internasional. Tahap ini mampu membuat ketir-ketir peserta yang kurang fasih dalam berbahasa inggris.

Dalam tahap kempat paserta harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menguji seberapa luas pengetahuan si peserta. Jika tidak salah ada tiga macam pertanyaan. Pertanyaan pertama ialah undian. Jadi peserta memilih sendiri pertanyaannya. Lantas di lanjutkan dua pertanyaan dari juri lomba. Tak semuanya mampu menjawab pertanyaan-pernyataan dari juri. Adapun peserta yang harus terpaku. Diam saja di panggung tak mampu berkutik sediktpun. Dan akhirnya ia harus turun panggus karena waktunya telah tandas.

Tahap terakhir atau ke empat adalah talenta. Disini peserta di tuntut untuk unjuk gigi menampilkan kebolehannya dalam bakat yang dimiliki. Disini kepercayaan diri sangat menentukan berhasil atau tidaknya. Talenta yang ditampilkan.

Dan akhirnya menginjak acara puncak. Dua orang putra dan putri telah terpilih. Lantas acara pun berakhir dengan foto bersama. Acara peringatan hari Kartini telah sukses dilaksanakan.

Jumat, 08 Mei 2015

Poster Untuk Kartini

Kursi-kursi biru saling berhimpitan satu sama lain melingkar membentuk huruf U. Satu dua anak mulai berdatangan lantas duduk di salah satu kursi yang mereka sukai. Ruang aula seluas kurang lebih 9 x 10 meter yang beberapa saat lalu lengang. Kini di penuhi anak-anak berseragam putih. Laki-laki perempuan serempak berdatangan memasuki ruangan. Sambil membawa crayon, pensil warna, dan tentunya, kerabatnya juga ikut.

Mereka bergegas mengambil tempat duduk di aula. Lantas menunggu untuk beberapa menit. Instruksi dari panitia terdengar lebih dari jelas. Keluar dari loudspeaker yang berdiri di dua sudut depan aula.

Iya, boleh dibilang ini adalah kali kedua aku ikut dalam lomba menggambar poster di kampusku. Mewakili kelas. Bukan kerena aku pandai dalam menggambar, suka menggambar, apalagi berbakat. Tapi karena tak ada lagi yang mau mewakili kelasku. Jadi tak ada rasa bangga sedikitpun melekat pada benakku. Biasa saja kawan. Mungkin itu yang lebih cocok mewakili perasaanku jika ditanya bagaimana rasanya.

Terpaksa? Tidak juga. Sesuai dengan motto hidup. Selalu melakukan sebaik yang dapat di lakukan. Iya, itulah yang dapat kulakukan saat ini untuk mewakili kelasku. Meskipun setahun yang lalu aku gagal dalam perlombaan yang serupa dengan saat ini. Tapi aku cukup bangga, setidaknya aku tidak mengalah sebelum berperang.

Aula semakin meriah. Orang-orang berbaju putih mendominasi di sini. Alunan music DJ menghentak-hentak mengisi setiap sudut ruang. Disampingku duduk anak perempuan sambil memangku kotak crayon. Mengucapkan ciss! Ketika kilatan cahaya mencuat dari kamera digitalku. Iya, sekarang dia sedang difoto. Ah tidak tepatnya dia dan aku sedang difoto teman perempuan kami. Ruangan menjadi riang sekali. Anak-anak lainya saling bercengkrama, sesekali terdengar canda tawa mereka. Aku rasa tak ada satu orang pun di ruang ini yang tengah berduka. Aku juga tidak. Tapi tidak terlalu riang juga. Mungkin lebih tepatnya biasa saja.

Jam yang menggantung di dinding depan tepat menunjuk pukul 01.30 lantas panitia mempersilahkan untuk memulai lombanya. Kini kami telah duduk dilantai. Di depan kami tergelar kertas manila seukuran sembilan lembar kertas A4 dan di sekitarnya alat-alat tulis beserta crayon tergeletak sembarangan.

Partner ku sudah memulai menggambar dari tadi. Meskipun ia terlihat kurang yakin dengan gambarnya. Sesekali goresan pensil yang hampir membentuk gambar wajah, Ia hapus beberapa bagian. Mungkin karena terlihat kurang sempurna baginya. Tapi aku kira gambarnya tak ada yang salah. Ia sudah mulai bekerja dengan alat tulisnya memeluk kertas manila didepannya. Berjibaku dengan imajinasi yang harus terbatas waktu. Waktu sudah dimulai beberapa menit lalu. Dan aku masih merasa kebingungan. Apa yang harus kulakukan. Otak kananku serasa mati tak ada sedikitpun insting seni yang keluar. Ya tuhan! Waktu semakin habis.

Detik demi detik, menit demi menit mulai berguguran. Aku masih kebingungan mengamati temanku sedang bekerja. Beberapa tim lain pun sudah sibuk dengan kerjaannya. Memulai proses menggambar. Sibuk menggoreskan pensil. Juga crayon ke kertas manila yang berada didepan meraka masing-masing.

Keraguannku tak kunjung lenyap. Aku tak yakin mampu menggambar padahal biasanya jari-jariku ringan untuk disuruh menggambar. Ah sudahlah. Berat sekali. Aku mulai memaksa. Menggoreskan pensil. Meskipun sesekali aku menghapusnya. Kina kami mulai bekerjasama.

Yah, ternyata tidak terlalu buruk. Kami sudah mulai leluasa. Menikmati saat-saat menyelesaikan gambar kami. Dan akhirnya waktu usai. Begitu juga dengan poster kami. Cantik sekali. Di salah satu sudutnya tertera tanda tangan kami. Peringatan hari kartini. Dengan poster berjudul Kartini, utamakan ASI, untuk Si bayi.

Rabu, 06 Mei 2015

Mencapai Harapan

Saya yakin pasti ada saja yang mengatakan kalau saya ini kurang kerjaan. Memposting status yang panjangnya minta ampun. Atau menshare tulisan di blog saya ke facebook. Pasti di beranda teman-teman akan nampak foto kecil profil saya. beserta tulisan panjangnya juga. Saya tidak akan bersakit hati, mendendam, mengolok-ngolok, apalagi sampai benci kepada anda. Mudah-mudahan saya tidak sampai hati untuk berlaku demikian. Tapi saya sangat senang sekali apabila anda membacanya. Dan amat senang lagi apabila teman-teman pembaca tidak bersikap apatis terhadap apa yang saya tulis ini.

Tentu saja saya sangat menyadari bahwa postingan saya ini jauh dari kata sempurna. Ditilik dari penyusunan katanya. Penyusunan kalimatnya. Kata sambung antar kata, kalimat, bahkan hingga paragraf. Juga tidak menutup kemungkinan kesalahan dalam isi tulisan yang saya sampaikan. Semua itu karena keterbatasan ilmu atau pengetahuan yang saya punyai. Tentu saja saya berharap ada pembaca yang mampu memberi masukan. Hingga mengajak saya untuk berdiskusi. Sehingga mampu mendekati kata sempurna.

Tapi saya selalu berdoa semoga para teman-teman pembaca memperoleh banyak manfaat dari tulisan yang selalu saya posting tiap waktu. Untuk itu yang saya lakukan adalah senantiasa menambah pengetahuan dari baca buku, majalah, atau bahan bacaan lain yang sekiranya bermanfaat untuk disampaikan. Terkadang saya juga mendapat banyak pelajaran dari kejadian-kejadian di sekitar. Bahkan saya rasa lebih banyak ilmu yang dapat diambil dari lingkungan apabila kita mampu merenung mencoba memahami setiap kejadian dan menyimpulkannya. Saya rasa itulah alasan mengapa Allah memberikan akal. Nikmat yang luar biasa bukan?

Perlu teman-teman tahu setidaknya ini adalah usaha yang dapat saya lakukan untuk mencapai harapan dan cita-cita saya. Terkadang kita harus berbuat yang overdo. Sehingga tidak menutup kemungkinan orang lain yang tidak tahu mengatai kita gila, stress, sinting, gak waras. It is never mind. Orang inggris bilang begitu. Lain lagi kalau orang jawa. Ia pasti bilang begini. Iku ora po po! Kalian juga bisa melakukan hal yang serupa untuk mencapai harapan dan mimpi kalian.

Tak usah terlalu di permasalahkan orang mau bilang apa. Yang terpenting kita masih merasa yakin bahwa apa yang kita lakukan itu dalam jalan yang benar. Tidak mengganggu orang lain. Apalagi sampai merugikan orang lain untuk mencapai tujuan atau harapan yang baik. Selalu optimis bahwa kita mampu melakukan sesuatu yang di rasa mustahil. Karena kita punya tempat memohon dan meminta yang bagiNya tidak ada kata mustahil. Kepada siapa lagi tempat memohon itu kalau bukan pada Allah Swt. Tuhan yang mampu memasang surutkan lautan. Begitu juga memasang surutkan hidupmu.

Pil Pahit itu, Harus Ditelan!

Bersyukur! Mungkin satu kata yang tepat untuk hasil sore ini. Bagaimanapun juga kami telah berusaha. Memeras otak. Mengintimi materi-materi yang telah di tentukan. Hingga memahami maksud-maksud perbutir dari pasal-pasal itu.

Sore ini mau tidak mau kami harus berlapang dada menerima hasil yang tidak sesuai harapan. Merengek, menangis, apalagi sampai menjerit-jerit tidak akan mengubah apapun. Banyak beralasan pun juga tak akan membuat terlihat hebat. Realitanya kami telah kalah bersaing.

Kalau boleh dikatakan rasanya kalah itu kurang lebih sama dengan rasanya patah hati. Manis di muka pahit di akhir. Bukankah seperti itu kawan? Tapi setidaknya kami boleh berbangga. Itulah buah dari usaha kami.

Sehingga Kami harus menelan pil pahit itu. Meskipun rasanya tak nyaman dilidah tentu Tak enak rasanya. Saat-saat yang paling memuakkan itu harus kami lalui. Sesuai menelan pada umumnya. Tak mungkin ujuk-ujuk pil pahit itu langsung di perut. Pastinya harus melewati mulut terlebih dahulu. Dan disitulah lidah berada. Organ yang mampu meresakan aneka rasa, mulai dari manis sampai pahit.

Yang terpenting dan perlu kita tahu. Bukan berarti pil pahit itu tak punyai sisi baik. Kata siapa? Obat-obat kebanyakan rasanya pahit. Tapi di sisi lain mampu memberi efek yang baik bukan? Sebagai penyembuh suatu penyakit. Misalnya.

Sehingga yang dapat dilakukan hanyalah berkhusnudzon dan bersyukur bahwa ini adalah hasil terbaik yang di berikan Allah. Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Tinggal mau apa tidak kita meniliknya. Bukankah Allah telah berjanji selalu ada kemudahan setelah kesulitan. "Ina Maal Usyri Usra". telan saja pil pahit itu. Selanjutnya bersabar. Niscaya Allah akan memberikan sesuatu yang lebih baik dan tak pernah terduga-duga sebelumnya. Entah kapan itu terjadi. Hanya Allah Yang Maha Penulis Skenario Terbaik. Yang tahu.

Senin, 04 Mei 2015

Diguyur Perundang-undangan

Sudah 168 jam lamanya Aku berkutat dengan materi-materi yang ada sangkut pautnya dengan pasal-pasal, ayat-ayat, bab-bab, serta Perpres, Inpres, atau apalah itu yang kesemuanya berbau peraturan perundang-undangan. Otak serasa dibebat kemudian dijerat dengan tali yang di ujungnya di beri bandul seberat puluhan kilo. Sudah pasti berat sekali. Ingin rasanya sejenak kubenamkam kepalaku pada bantal yang nyaman. Ya Tuhan pasti enak sekali rasanya.

Tapi didepanku tumpukan materi tentang pasal-pasal itu masih membukit. Kira-kira masih ada lima puluh lembar folio lagi yang harus ku libas malam ini. Aku hanya bisa menghela napas. Menilik secara teliti kata demi kata yang tak kunjung habis.

Suasana kamarku lengang. Beberapa jam yang lalu kedua orang tuaku telah beranjak memejamkan mata. Begitu juga dengan dua saudaraku. Adik dan kakakku. Mungkin mereka sudah terlalu lelah karena rutinitas harian yang tak ada henti-hentinya. Tentu saja itu sekolah. Hanya sejenak berhenti jika angka di kalender yang bersandar di dinding berwarna merah.

Aku kembali menyeka dahiku. Mengusir keringat yang menyembul. Mencoba mengumpulkan kembali semangatku yang kebanyakan telah berserakan di tempat tidurku. Kembali meraih satu bendel materi. Membacanya di bawah sinar lampu belajar yang menyilaukan mata. Jika tak ada lampu pijar ini mungkin dari tadi kepalaku sudah tersandar tak sadar pada meja belajar didepanku ini. Huh...lampu ini selalu bisa mengusir rasa kantukku. Meskipun leher bagian belakangku mulai terasa nyeri.

Setidaknya Aku juga harus bersyukur. Semua ini akibat peristiwa yang terjadi setahun lalu. Aku dan tiga orang temanku berhasil menjuarai sebuah kompetisi cerdas cermat perkoperasian tingkat kabupaten. Aku masih ingat. itu adalah buah manis dari usaha yang telah kami lakukan.

"Good job!","Congratulation!"," selamat kawan!", ucapan banyak orang yang kami temui. Mereka tersenyum riang sambil manjabat tangan kami kemudian mengayunkan beberapa kali keatas dan kebawah. Aku pun sedikit terheran-heran, tidak menyangka atas keberhasilan ini. Semua itu jelas karena ikhtiar dan doa yang tak henti-hentinya kulayangkan pada-Nya tiap waktu. Alhamdulillah. Terimakasih atas nikmatmu Ya Allah.

Dan hari ini adalah pertanggung jawaban dari peristiwa setahun lalu. Dua hari lagi terhitung dari malam ini Aku dan kedua temanku harus mewakili kabupaten Lamongan untuk mengikuti lomba di tingkat Provinsi. I'm coming Surabaya! Sorak-sorai dalam benakku malam ini. Di tengah kelelah-letihan tubuhku.

Biarlah, Aku harus berusaha terlebih dahulu baru menerima hasilnya. Malam ini semakin lengang di kamarku. Suara derik puluhan katak terdengar lamat-lamat diluar sana. Sudah tiga hari ini Lamongan di guyur hujan deras. Sedangkan aku sudah dua minggu lebih di guyur perundang-undangan. Dua jam lagi mungkin aku baru bisa terlelap.

Minggu, 03 Mei 2015

Dua Pelajaran

Cibiran tentu saja tidak datang ketika kita diam saja. Tak berbuat apapun untuk perubahan diri. Tapi cibiran, hinaan, cemoohan akan datang ketika kita berbuat  sesuatu diluar kemampuan kita. Tentu saja itu adalah pihak-pihak yang mungkin tidak suka akan tindakan kita. Bisa saja mereka iri oleh apa yang kita lakukan dan mereka tak mampu untuk melakukannya.

Kejadian ini serupa dengan apa yang Kick Andy siarkan pada minggu (3/5) pukul 13.00 WIB. Tentang guru-guru cacat yang luar biasa. Mereka mampu membuat perubahan dengan mendirikan sekolah gratis untuk siswa-siswanya. Hebat sekali bukan. Dan ini nyata terbukti.

Sebut saja Maftuhatul Khoiriyah salah seorang guru perempuan yang salah satu kakinya harus diamputasi karena sebuah kecelakaan. Ia mengaku banyak mendapat cibiran dari warga ketika hendak mendirikan sekolahan gratis. Manamungkin anak seorang petani mampu mendirikan sekolah gratis, mimpi kali! Itulah salah satu cibiran yang sering di ucapkan warga kata Miftakhul khoiriyah ketika di tanya oleh Andy F. Noya (host acara Kick Andy)

Tapi bagaimana reaksi selanjutnya dari seorang guru luar biasa ini. Menyerah? Mengurungkan niat karena cibiran warga? Tentu saja tidak kawan. Malah diluar dugaan Ibu guru ini mampu mendirikan sekolah SMP bertingkat. Bisa dibilang mewah dan gratis pula. Sehingga banyak anak-anak yang kurang mampu bisa bersekolah. Melanjutkan pendidikan dengan tenang tanpa terbayang-bayang jeratan biaya sekolah.

Dari mana anda mendapat biaya untuk mendirikan sekolah yang terbilang mewah itu? Salah satu pertanyaan Andy saat terheran-heran melihat foto sekolah yang di tampilkan dilayar kaca. "Tentunya semua bukan dari biaya yang saya miliki. Semua itu karena bantuan dari teman-teman. Alhamdulillah ada saja jalannya. Banyak donasi-donasi yang berdatangan memberi sumbangan. Salah satunya biaya BOS. Itu cukup membantu biaya pendidikan", Ibu guru Maftuhatul juga menjawab pertanyaan dengan penuh senyum keheranan.

Jadi ada dua pelajaran yang dapat kita ambil dari kasus diatas. Pertama tak usah pedulikan cibiran orang lain selama kita merasa pada jalan yang benar. Niat kita tidak salah. Apalagi niat kita untuk membantu. Ini niat yang baik bukan? Dan satu hal yang harus kita tahu. Pesawat dapat terbang karena melawan angin bukan sebaliknya. Jadi kita tidak harus mengikuti arus lingkungan. Sehingga akhirnya tidak mampu terbang sebab menggubris lingkungan yang belum tentu benar.

Yang kedua, jangan takut Allah bersama-sama orang yang berniat baik. Pasti ada saja bantuan. Pasti ada saja jalan. Pasti ada saja hal-hal mustahil yang mampu dilewati. Yang terkadang membuat kita sendiri tercengang keheranan. Kok bisa ya!. Semua itu karena bantuan dan pertolongan Allah. Yakinlah itu!

Sabtu, 02 Mei 2015

Keistimewaan Tulisan

Dengan tulisan kita mampu mengabadikan sesuatu yang seharusnya menguap bersamaan dengan berjalannya waktu.

Dengan tulisan juga kita mampu mengikat. Kejadian yang tak ingin terlepaskan.

Dengan tulisan kita mampu memenjarakan emosi yang meluap-luap. Bak ombak yang berhamburan memnghempas tegarnya karang.

Dengan tulisan juga kita mampu berkhayar tanpa terbatasi apa yang dinamakan dimensi.

Dengan tulisan kita mampu beramal jariyah. Dengan menyampaikan ilmu-ilmu yang kita tahu.