Jumat, 11 Desember 2015

Cara Penerbitan Gramedia

GRAMEDIA PUBLISHER

Kami menerima naskah dari penulis untuk diterbitkan, bila naskah tersebut memenuhi standar penerbitan.

KETENTUAN UMUM:

1. Tebal naskah 100 s.d. 200 halaman.
2. Untuk buku anak, lengkapi dengan contoh ilustrasi dan konsep cerita, terutama untuk buku berseri.
3. Ukuran font 12pt, dengan spasi 1,5.
4. Tema naskah bebas, tidak menyinggung SARA dan tidak vulgar.

PILIH SALAH SATU CARA PENGIRIMAN NASKAH DI BAWAH INI:

Printout:

1. Ukuran kertas A4 atau folio.
2. Naskah sudah dijilid.
3. Sertakan ringkasan cerita/sinopsis.
4. Sertakan data diri singkat (nama, alamat, nomor telepon, alamat e-mail).
5. Setelah naskah masuk akan dipertimbangkan oleh tim editor paling lambat 3 bulan. Naskah yang tidak lolos seleksi tidak akan dikembalikan dan akan dimusnahkan.
6. Untuk memudahkan proses seleksi/pengategorian, cantumkan jenis naskah di sudut kiri atas, seperti:-Fiksi-Nonfiksi-Remaja-Dewasa-dll.

E-mail:Kirimkan naskah dan data diri melalui e-mail ke fiksi@gramediapublishers.com atau nonfiksi@gramediapublishers.com dengan subject Naskah: JUDUL.

Gramedia Writing Project:

Buat akun di situs resmi Gramedia Writing Project, lalu unggah sebagian naskah dan sinopsis.
________________________________________

Kami tidak memungut bayaran apa pun dari penulis.

Untuk keterangan lebih lanjut, hubungi Redaksi Gramedia Pustaka Utama 53650110 ext. 3511/3512 atau via e-mail: fiksi@gramediapublishers.com atau nonfiksi@gramediapublishers.com

Salam pekaweh ☺

Jumat, 04 Desember 2015

Berpolitik, Baik atau Buruk?

Dalam bukunya yang di tulis Hanum Salsabila Rais. Ia mengatakan bahwa politik adalah perkara yang identik dengan keburukan. Oleh karena itu Ia khawatir ketika pertama kali ayahnya, Amien Rais bergumul dengan politik. Yang pada waktu itu Pak Amien dan rekan-rekannya memutuskan untuk membentuk partai sendiri yang dinamai Partai Amanat Nasional.

Kiranya kekhawatiran Hanum akan kejelekan politik sama halnya dengan anggapanku tentang politik yang tiada bagus-bagusnya dimataku. Sebab ditelevisi, dikoran,  serta dimedia-media lainnya kerapkali memuat tentang kejelekan para politikus itu. Entah itu kasus korupsi, penggelapan dana, kasus suap, serta ribuan kasus lainnya yang amat miris untuk didengarkan.

Sehingga pada malam itu ketika saya tengah menjadi peserta Darul Arqom Dasar. Seluruh prasangka buruk mengenai dunia perpolitikan menyelimuti benak ibarat kabut tebal. Selanjutnya diam-diam saya simpulkan bahwa politik adalah disiplin ilmu yang tak membawa kearah kemaslahatan. Lebih condong pada ranah yang merusak. Sehingga kesan manusia sebagai khalifah dibumi pun bisa jadi tercoreng jika saya mempelajarinya secara mendalam.

Dugaan tersebut makin dikuatkan ketika seorang teman bercerita pada saya. Bahwa usai mempelajari ilmu politik tersebut. Ia serta merta bisa melihat tabiat setiap orang, dapat melihat pergerakan seseorang. Apa yang akan dilakukan serta mau kemana Ia akan melangkah. Yang kesemua itu saya anggap sebagai sebuah prasangka buruk. Sehingga dalam benak kawanku itu Ia selalu mengkritisi setiap tindakan orang disekitarnya. Apakah ada kepentingan-kepentingan yang terselubung?

Namun disatu sisi saya dilema atas kejadian yang tengah saya alami. Disatu sisi saya takut akan terjerat kejelekan-kejelakan dalam berpolitik. Disatu sisi saya pun membutuhkan ilmu tersebut agar tidak mudah dibodohi orang.

Dan kedilemaan saya lunas sudah diluluhlantahkan oleh sebuah buku yang ditulis Hanum. Dalam buku yang berjudul 'Menapak Jejak Amien Rais'. Disitu Pak Amien mengatakan bahwa hanya dengan politiklah alat untuk merubah bangsa. Beliau mengibaratkan politik sebagai sebuah alat. Maka tidak ada yang salah dengan politik. Yang salah adalah orang yang menggunakannnya.

Ibarat korek api, jika digunakan dengan tepat akan membawa kemaslahatan. Seperti digukan untuk memasak, menyalakan lilin. Sebaliknya jika salah menggunakan, akibatnya akan fatal meskipun itu hanya sebatang. jelaslah sudah bahwa seluruh ilmu itu baik, termasuk ilmubpoitik. Sekali lagi tergantung yang menggunakannya. Tergantung dasar niatan orang yang menggunakannya.(5/12)

Rabu, 02 Desember 2015

Perpusnas

keanggotaan.pnri.go.id
e-resources.perpusnas.go.id

15120300518/hw1350

Jalan Pilihan

Tidak selalu jalan yang telah kita pilih adalah jalan yang lurus dan tidak bergelombang. Kita amat tidak tahu apa yang akan terjadi satu atau dua kilometer didepan sana. Entah itu jalan menanjak, atau curam. Entah itu jalan berliku atau bergelombang.

Begitu juga dengan pilihan hidup kita. Kita selalu menatap kebaikan-kebaikan yang akan didapat kelak tatkala sudah berhasil. Tanpa pernah menyadari adanya kesulitan-kesulitan yang harus dilewati dengan jantan. Dalam banyak kasus banyak yang berbalik dan lari, tak sanggup menaklukkan kesulitan-kesulitan tersebut.

Seperti halnya jalan tadi. Yakinlah dengan jalan yang telah dipilih. Anggap saja jalan yang terjal, curam, berliku, serta bergelombang adalah suatu proses dalam pencapaian tersebut. (3/12)

Selasa, 10 November 2015

Beasiswa Luar negeri

,Silahkan disebarkan ke group lain bila ada yg berminat mencari beasiswa utk melanjutkan pendidikan, semoga putera-puteri dari Seluruh Nusantara ini semakin hebat.. 𞌶𞌬

1. Australia Award Scholarship (http://australiaawardsindo.or.id)

2. LPDP Scholarship (http://www.beasiswalpdp.org/index.html)

3. DIKTI Scholarship
a. Dalam Negeri (http://www.beasiswa.dikti.go.id/dn/)
b. Luar Negeri (http://beasiswa.dikti.go.id/ln/)

4. Turkey Government Scholarship (http://www.turkiyeburslari.gov.tr/index.php/en)

5. General Cultural Scholarship India (http://www.iccrindia.net/gereralscheme.html)

6. USA Government Scholarship
a. (http://www.aminef.or.id/index.php)
b. (http://www.iief.or.id)

7. Netherland Government Scholarship (http://www.nesoindonesia.or.id/beasiswa)

8. Korean Government Scholarship (http://www.niied.go.kr/eng/contents.do?contentsNo=78&menuNo=349)

9. Belgium Government Scholarship (http://www.vliruos.be/4273.aspx)

10. Israel Government Scholarship (http://www.mfa.gov.il/mfa/abouttheministry/departments/pages/scholarships%20offered%20by%20the%20israeli%20government%20to.aspx)

11. Sciences Po France (http://formation.sciences-po.fr/en/contenu/the-emile-boutmy-scholarship)

12. Utrecht University Netherland (http://www.uu.nl/university/international-
students/en/financialmatters/grantsandscholarships/Pages/utrechtexcellencescholarships.aspx)

13. Prasetya Mulya Business School Indonesia (http://www.pmbs.ac.id/s2/scholarship.php?lang=ENG)

14. Brunei Darussalam Government Scholarship (http://www.mofat.gov.bn/index.php/announcement)

15. Monbugakusho Scholarship Japan (http://www.id.emb-japan.go.jp/sch.html)

16. Paramadina University Master Fellowship Indonesia (https://gradschool.paramadina.ac.id/in/graduate-school-fellowship/paramadina-medco-fellowship-2013.html)

17. PPM School of Management Indonesia (http://ppm-manajemen.ac.id/beasiswa-penuh-s2-mm-reguler/)

18. University of Twente Netherland (http://www.utwente.nl/internationalstudents/scholarshipsandgrants/all/uts/)

19. Sweden Government Scholarship (http://www.studyinsweden.se/Scholarships/)

20. Chinese Government Scholarship (http://www.csc.edu.cn/laihua/scholarshipdetailen.aspx?cid=97&id=1422)

21. Taiwan Government Scholarship (http://www.studyintaiwan.org/taiwan_scholarships.html)

22. United Kingdom Government SCholarship (http://www.chevening.org/indonesia/)

23. Panasonic Scholarship Japan (http://panasonic.net/citizenship/scholarships/pso/requirements/)

24. Ancora Foundation Scholarship (http://ancorafoundation.com)

25. Asian Public Intellectuals Fellowship Japan (http://www.api-fellowships.org/body/)

26. AUN/SEED-Net Scholarship (http://www.seed-net.org/index.php)

27. Art Asia Major Scholarship Korea National University of Arts (http://eng.karts.ac.kr:81/karts/board/list.jsp?
c_no=003013002&bt_no=123&page=1&b_category=&b_categoryimg=&searchSelect=&keyword=&divisionSelect=&engNotice=engNotice)

28. Ritsumeikan Asia Pacific University Japan (http://www.apu.ac.jp/home/life/index.php?content_id=30)

29. Seoul National University Korea (http://en.snu.ac.kr/apply/graduate/scholarships/before-application)

30. DIKTIS Overseas Scholarship (http://www.pendis.kemenag.go.id/beasiswaln/)

31. Honjo International Scholarship Foundation Japan (http://hisf.or.jp/english/sch-f/)

32. IDB Merit Scholarship Programme for High Technology (http://www.isdb.org/irj/portal/anonymous?NavigationTarget=navurl://c28c70fde436815fcff1257ef5982a08)

33. International HIV & Drug Use Fellowship USA (http://www.iasociety.org/fellowship.aspx)

34. Nitori International Scholarship Foundation Japan (http://www.nitori-shougakuzaidan.com/en/)

35. School of tGovernment and Public Policy Indonesia (http://sgpp.ac.id/pages/financial-conditions)

36. Inpex Scholarship Foundation Japan

37. Asia University Taiwan (http://ciae.asia.edu.tw/AdmissionsScholarship.html)

38. Macquaire University Australia (http://www.mq.edu.au/future_students/international/scholarships_and_awards/macquarie_university_international_scholarships/)

Jumat, 06 November 2015

Serahkan Semuanya Pada Allah

Jika dicaci orang maka balaslah mencacinya. Jika di pukul orang maka balaslah memukulnya. Jika ditemdang orang maka balaslah menendangnya. Jika diludahi maka balaslah dengan meludahinya. Begitu seterusnya, itulah yang dinamakan Qisas, kebebasan yang di berikan Allah pada kita untuk membalas perlakuan orang pada kita.

Seringkali kita merasa sakit hati jika tengah di kerjai orang atau teman. Lantas secara spontan kita membalas perlakuan si orang tadi dengan perlakuan yang sama pula. Apa itu boleh? Ternyata Allah membolehkannya.

Seperti ketika Rasulullah dulu berperang melawan kafir Quraisy. Untuk memerangi mereka lantaran sudah banyak kezaliman-kezaliman yang dilakukan kafir quraisy pada kaum muslimin. Sehingga yang terjadi adalah peperangan seperti yang tertulis dalam buku sejarah. Lebih lengkapnya telah di ceritakan Allah dalam kitab suci Al-Quran.

Memang keinginan membalas perlakuan buruk terhadap seseorang yang telah menjaili kita itu sifatnya condong pada kebencian. Sehingga didalam hati kita seolah tumbuh niatan yang amat kuat untuk membalas. Tidak jarang kita membalas melebihi batas yang telah di tentukan. Misalnya, barusan orang lain mencaci maki kita didepan orang banyak. Lantaran kita tidak terima, maka didalam benak kita terbetik keinginan kuat untuk membalas perlakuan yang lebih menyakitkan lagi, katakan saja kita membayar orang untuk memukuli si prang tadi. Naudzubillah. Tapi itulah kenyataan yang sering terjadi.

Entah mengapa ketika ada orang yang telah menyakiti kita. Rasa hati ingin sekali lekas membalas keburukan tersebut. Mungkin hal semacam tadi boleh diktakan adalah dendam. Sifatnya ingin segera membalas dan membalas degan keburukan tadi.

Tapi coba kita renungkan apabila ada seseorang yang tengah membantu kita. Memberi makan ketika kita tengahbkelaparan. Meminjami uang ketika kita tengah berada pada posisi kekurangan uang. Atau hanya sekedar memberi minum ketika kita tengah kehausan. Apakah kita lekas ingin membalas perlakuan baik orang yang telah membantu kita tadi dengan perlakuan yang serupa? Mungkin hanya sebagian kecil orang yang mempunyai pikiran semacam ini.

Dan paling-paling itu hanya niatan kecil saja untuk membalas perlakuan baik orang tadi. Sebab kita sendiri tengah kesusahan bagaimana kita dapat membalas kebaikan-kebaikan penolong tadi. Jelas tidak bisa. Mungkin balasan terbaik untuk orang yang telah baik pada kita adalah sebuah doa yang kita panjatkan dengan hati yang ikhlas padaNya.

Gambaran umumnya memang seperti itu jika kita di zalimi maka dengan segara kita ingin menzalimi balik. Tapi ketika kita tengah mendapat bantuan kita senang sekali dan terkadang lupa untuk membalas kebaikan itu.

Alangkah baiknya ketika semua perbuatan atau balasan terhadap orang yang tengah menzalimi kita atau tengah membantu kita, semuanya kita serahkan pada Allah. Jika seperti ini, kita telah berlaku yang lebih baik. Sebab pertama, jika kita menyerahkan balasan qisas pada Allah itu termasuk sebuah penebus dosa yang baik. Kedua, kita telah mendoakan agar orang yang telah membantu kita mendapat balasan yang lebih baik oleh Allah swt.

Selasa, 27 Oktober 2015

Kendaraan Super Tradisional

Kawan, Pagi itu langit cerah-cerah saja. Tak sedikitpun terlihat tanda-tanda akan turunnya hujan. Bagaimana mungkin hujan akan turun, jika matahari saja tidak pernah sembunyi dibalik mendung. Awan-gemawan berarakan tipis di antara semburat sinar mentari pagi. Burung-burung mencicit didahan-dahan yang telah mengering tak berdaun.

Jalanan beraspal sejauh mata memandang didampingi oleh lahan-lahan yang tengah mengering. Sehingga pemandangan keseluruhan adalah warna cokelat tandus. Rumput, daun, serta bekas ladang jagung pun demikian, mereka terlihat kehausan.

Kawan ini adalah kemarau. Jadi tak usah khawatir jika banyak makhluk yang merintih merindukan air.

Pemandangan serta suasana kemarau di minggu pagi itu telah lunas membuatku terkesima. Aroma anginnya, semburat mentarinya, serta kelepak burung diantara awan berarakan.

Aku tak pernah manyangka sebelumnya, akan bertemu untuk kedua kalinya dengan kendaraan super tradisional yang tak pernah dapat ketemui di sorot stasiun televisi. Iya ini untuk kedua kalinya, dulu di waktu musim penghujan aku pernah melihatnya, hanya sebatas melihat. Tapi pagi itu takdir seolah berbaik hati. Aku mendapat kesempatan untuk menaiki kendaraan super tradisional yang ditarik oleh dua ekor sapi, meskipun hanya sebatas naik dan berfoto saja.

Kata ibunya temanku, kendaraan itu bernama Cikrak, dan masih ada di bumi Lamongan, sebelah utara agak menjorok kedalam. Jika berminat marilah kita naik bersama-sama kawan!

Minggu, 18 Oktober 2015

Riset Dalam Novel

Menulis novel harus hidup. Hidup disini yang saya maksud, setiap kejadian harus ada gambaran seutuhnya. Entah itu gambaran perasaan si tokoh. Atau gambaran lingkungan sekitar yang mempengaruhi perasaan tokoh tadi.

Dalam menulis novel tidak seluruhnya semua itu adalah hasil imajinasi. Tapi harus ada sebuah riset yang menyatakan kebenaran tentang suatu kejadian. Riset adalah hal yang teramat penting untuk kesempurnaan novel.

Misalnya untuk menggambarkan suatu kejadian. Ada suatu tokoh yang tengah marah. Untuk memperkuat kejadian itu, maka riset yang kita butuhkan adalah mengenai sifat-sifat orang marah, apa saja kebiasaan orang marah, jika perlu kita bisa menambahkan teori-teori dari ilmuan tersohor tentang sifat marah tadi.

Sabtu, 17 Oktober 2015

Coming Soon "Ilalang di Kemarau Panjang"

Dulu saya pernah mendengar ada seorang kawan yang mengatakan bahwa buku cerita atau terkhusus novel adalah buku yang sama sekali tidak berguna. Memang pada dasarnya dia tak mempunyai jiwa pembaca yang baik. Menyikapi hal tersebut saya hanya tersenyum simpul. Kiranya saya tak perlu banyak bicara pada orang yang demikian.

Dan beberapa saat yang lalu saya mendengarkan, sebuah cerita dari kawan saya--Seorang laki-laki 20 an tahun--mengatakan bahwa baru saja Ia menangis usai membaca ending sebuah novel. Lantaran cerita dalam novel itu mampu membuatnya termotivasi untuk berbuat baik. Saya masih ingat wajah jujurnya yang menggebu-gebu seraya menceritakan pada saya tentang ending novel tersebut. Bahkan ketika Ia menceritakan  ending novel tersebut, kuliahat matanya masih berkilauan, penuh air mata. Dan yang saya lakukan, tidak lain hanya menjadi pendengar yang baik, sambil tersenyum simpul, persis seperti kejadian yang pertama.

Maka silahkan kawan menyimpulkan sendiri usai membaca kedua kisah tadi. Benarkah novel tidak bermanfaat? Dan mengapa saya hanya menyimpul senyum mendengar kedua kejadian tersebut?

***

Oleh karena itulah saya sangat berharap pembaca mendapat banyak kebaikan-kebaikan yang  saya selipkan dalam novel pertama saya. Niat saya tidak muluk-muluk hanya ingin menabur kebaikan. Dan saya amat senang sekali jika ada yang berkenan membacanya. Semoga apa yang tertulis didalamnya mampu memberikan kebaikan-kebaikan untuk para pembaca.

ComingSoon "Ilalang di Kemarau Panjang"

Coming Soon "Ilalang di Kemarau Panjang"

Dulu saya pernah mendengar ada seorang kawan yang mengatakan bahwa buku cerita atau terkhusus novel adalah buku yang sama sekali tidak berguna. Memang pada dasarnya dia tak mempunyai jiwa pembaca yang baik. Menyikapi hal tersebut saya hanya tersenyum simpul. Kiranya saya tak perlu banyak bicara pada orang yang demikian.

Dan beberapa saat yang lalu saya mendengarkan, sebuah cerita dari kawan saya--Seorang laki-laki 20 an tahun--mengatakan bahwa baru saja Ia menangis usai membaca ending sebuah novel. Lantaran cerita dalam novel itu mampu membuatnya termotivasi untuk berbuat baik. Saya masih ingat wajah jujurnya yang menggebu-gebu seraya menceritakan pada saya tentang ending novel tersebut. Bahkan ketika Ia menceritakan  ending novel tersebut, kuliahat matanya masih berkilauan, penuh air mata. Dan yang saya lakukan, tidak lain hanya menjadi pendengar yang baik, sambil tersenyum simpul, persis seperti kejadian yang pertama.

Maka silahkan kawan menyimpulkan sendiri usai membaca kedua kisah tadi. Benarkah novel tidak bermanfaat? Dan mengapa saya hanya menyimpul senyum mendengar kedua kejadian tersebut?

***

Oleh karena itulah saya sangat berharap pembaca mendapat banyak kebaikan-kebaikan yang  saya selipkan dalam novel pertama saya. Niat saya tidak muluk-muluk hanya ingin menabur kebaikan. Dan saya amat senang sekali jika ada yang berkenan membacanya. Semoga apa yang tertulis didalamnya mampu memberikan kebaikan-kebaikan untuk para pembaca.

ComingSoon "Ilalang di Kemarau Panjang"

Senin, 12 Oktober 2015

Tidak Ada Yang Paling Baik

Disuatu kampung yang tak perlu saya menyebutkan kampung mana itu. Ada orang yang senantiasa sholat lima waktu ke masjid. Ketika adzan berkumandang ia dengan segera memakai peci dan menyampirkan sarung dipundak. Lantas pergi menuju masjid, dimana adzan dikumandangkan itu.

Tapi di kampung itu, orang-orang tak menganggapnya sebagai orang saleh. Bahkan Ia terkenal sebagai orang yang picik perangainya. Dan amat dibenci oleh warga kampung. Di toko-toko, di jalanan, di warung kopi, di setiap sudut kampung banyak desas desus yang menggosipkan orang itu. Inti desas desus tadi tidak lain adalah perasaan geram warga terhadap tingkah laku orang tersebut.

Pasti yang terlintas dalam benak anda, kok bisa ya orang yang rajin sholat kok malah dibenci warga kampung. Apakah seluruh warga kampung itu non muslim? Tapi nyatanya bisa, dan seluruh warga kampung Alhamdulillah muslim semua. Lantas apa yang salah?

Ternyata ketika saya mendengar secara tidak sengaja dari desas-desus yang bertebaran sudut kampung. Tingkah laku orang itu amat jauh dari perkataan baik. Bahkan sering menyimpang dari nilai-nilai Islam. Seringkali Ia membohongi tetangganya sendiri, mengadu domba orang lain, mencuri barang orang dan masih banyak lagi. Lantas untuk apa Ia sholat? atau bagaimana Ia sholat? Padahal jika kita tahu fungsi sholat salah satunya untuk mencegah dari perbuatan mungkar.

Saya sempat tercengang, ketika telinga saya mendengar dari pembicaraan orang, bahwa orang itu sholat hanya untuk tameng, agar dianggap sebagai orang baik-baik. Naudzubillah, entah itu benar atau salah saya sendiri tak tahu. Tak pantaslah menggunakan sholat sebagai pelindung diri agar disebut sebagai orang baik-baik.

Saya rasa dalam kejadian di atas tak ada yang benar dan tak ada yang salah. Entah itu warga kampung, atau si orang tadi. Karena kedua-duanya tak mencerminkan sikap yang terpuji.

Dari si orang yang menggunakan sholat sebagai tameng dapat kita ambil pelajaran, bahwa bukanlah sholat semata yang menjadikan kita baik di mata orang. Tetapi lebih mengarah pada tingkah laku kita. Dari sini dapat kita ketahui mengapa negeri ini mendapat peringkat diatas seratus, mengenai negera Islami didunia. Lantaran nilai-nilai Islam tidak tertanam dalam tingkah laku penduduknya. Orang Islam adalah orang-orang yang menanamkan nilai-nilai keislaman dalam seluruh tingkah lakunya. Tak cukup hanya melaksanakan sholat atau hanya mengucap syahadat sudah bisa dikatakan Islam.

Yang kedua, pelajaran yang dapat kita ambil dari masyarakat yang suka menggunjing, kiranya tidak pantas kita menjelek-jelekkan orang. Jika itu yang kita kerjakan maka, kita juga tak lebih dari orang yang tak baik. Maka sepantasnya kita mendoakan si orang tadi agar segera kembali kejalan kebaikan, dan mendapat hidayah dari Allah. Biarlah sedikit kisah ini menjadi koreksi diri kita masing-masing. Tidak ada manusia yang paling baik. Yang ada hanya senantiasa berusaha semakin baik.[]

Sabtu, 03 Oktober 2015

Hak Tubuh Kita

Hebat sekali ketika hidup kita dipenuhi dengan impian-impian yang luar biasa. Disesaki dengan target-target yang nantinya harus tercapai tepat pada waktunya. Sehingga rasanya tiada waktu untuk rehat sejenak. Senantiasa bekerja dan bekerja seiring berjalannya waktu. Hingga rasanya tiada hari untuk beristirahat.

Saya acungi jempol ketika ada diantara kita orang seperti yang saya gambarkan barusan. Punya target hebat, punya tujuan hidup yang jelas, punya gairah yang hebat untuk mencapai goal-goalnya sendiri. Tidak menutup kemungkinan ada orang macam itu diantara kita. Bahkan mungkin anda yang sekarang tengah membaca tulisan kecil saya ini. Sekali lagi saya acungi jempol untuk anda.

Tapi saya yakin yang anda rasakan tiap hari adalah lelah, penat, bahkan mungkin gelisah lantaran tujuan anda masih belum tergapai-gapai. Seakan-akan ia hanya berjarak 5 cm didepan anda. Kelihatannya tinggal sedikit lagi, tinggal sedikit lagi impian saya akan tergapai. Kiranya seperti itu kalimat yang selalu terlintas dibenak anda.

Hingga yang terjadi kita senantiasa menggenjot usaha kita lebih keras lagi. Tapi apa daya, memang keinginan kita luar biasa tapi fisik kita sudah tidak kuat lagi. Lantaran sakit, lelah, penat telah memenuhi sekujur tubuh. Seolah kita telah lupa dengan hak tubuh kita. Alangkah zalimnya kita pada diri sendiri. Tak memberi waktu untuk rehat sejenak untuk fisik yang telah dianugerahkan tuhan pada kita.

Seringkali kita berlaku tidak adil. Jangan dulu bahas ketidakadilan kita pada orang lain, pada diri sendiri pun kita sering atau lupa tidak berlaku adil. Salah satu contohnya tidak memberikan jeda untuk istirahat pada fisik kita. Kita lupa bahwa istirahat pun merupakan hak untuk tubuh kita beristirahat.

Seringkali yang kita lihat pada orang-orang kantoran diluar sana tidak memberikan waktu istirahat untuk tubuh, lantaran tugas-tugas masih bertumpukan dimeja kerja. Ketika rasa kantuk mulai hinggap, ketika mata sudah tak lagi cerah, bawaanya mau terpejam saja. Dan biasanya disertai menguap sampai-sampai mata mengeluarkan air mata karena saking lelahnya tubuh kita. Tapi dengan perasaan tak bersalah sedikitpun kita meneguk secangkir kopi atau pil suplemen untuk menghilangkan rasa kantuk tadi, dengan semangat palsu yang menggebu-gebu.

Mengantuk atau semacamnya tadi, yang tak pernah kita sadari adalah merupakan pesan tersirat tubuh kita sebagai permintaan untuk rehat sejenak. Layaknya computer yang jika sering dipakai tanpa pernah di refresh pasti nantinya akan macet atau sedikit mengalami kerusakan. Begitu juga dengan tubuh kita.

Oleh karena itu tak baik rasanya jika kita tak memberikan hak pada tubuh untuk beristirahat. Allah begitu adil pada ciptaannya senantiasa memberikan apa yang dibutuhkan untuk makhluknya. Allah menciptakan air untuk penghilang dahaga, Allah mencipta makanan untuk menyingkirkan lapar. Begitu juga Allah menciptakan hari libur untuk rehat sejenak bagi makhluknya.(4/10)

Sabtu, 26 September 2015

Pengabdian dan Tanggung Jawab

Ketika kita memandang pekerjaan sebagai suatu yang dapat meningkatkan harga diri, status sosial, dan atau gengsi diri. Tanpa pernah menyadari bahwa didalamnya terdapat sebuah pengabdian dan tanggung jawab. Maka bersiap-siaplah mendapat kekecewaan yang amat sangat, ketika suatu pekerjaan yang kau punyai saat itu direnggut dari dirimu.

Kebanyakan orang pada umumnya, ketika mendapat pekerjaan yang boleh dibilang berpangkat tinggi. Ia akan merasa bahwa dirinya memiliki strata sosial yang lebih tinggi dari pada masyarakat pada umumnya. Sehingga yang terjadi Ia amat senang dengan pujian atau sanjungan-sanjungan mengenai pekerjaannya.

Sehingga kemungkinan besar Ia lupa dengan sesuatu yang amat penting yang tengah Ia emban dari pekerjaannya, yaitu pengabdian dan tanggung jawab. Pun mudah sekali kita menilik orang yang lupa akan dua hal penting dalam sebuah pekerjaan.

Pertama, orang tersebut akan merasa bangga sekali ketika mendapat mendapat pujian atau sanjungan pekerjaan yang disandangnya. Kedua, Ia sangat mencintai pekerjaan yang tengah direngkuhnya dan enggan untuk melepaskannya. Ketiga, seperti yang biasa dinyanyikan oleh band papan atas 'Slank'. Sedikit bekerja banyak mintanya. Alias malas dalam bekerja tapi giat mencari laba. Mungkin inilah yang dikatakan, cinta pekerjaan tapi tidak cinta bekerja. Sebenarnya masih banyak lagi cirinya, jika kita mau memetani satu persatu. Tapi karena keterbatasan saya, hanya mampu mneyebutkan sedikit saja.

Lantas bagaimanakah, ciri-ciri orang yang tak lupa dengan hal dua hal penting diatas? Kiranya cukup kebalikan dari ketiga ciri yang baru saja disebutkan.

Yang sering kita tidak sadari, pekerjaan atau jabatan bukanlah merupakan suatu hal yang kekal. Ada masanya Ia akan pergi meninggalkan kita. Itu artinya pekerjaan atau jabatan hanyalah titipan sementara dari Nya. Atau ibarat amanah yang dipercayakan oleh Allah untuk kita. Maka menjalankan dengan baik adalah kunci terhidar dari segala kekecewaan terenggutnya pekerjaan.

Selasa, 22 September 2015

Belajar Bermain

Belajar. Mengingat kata itu, yang terlintas di pikiran adalah potongan-potongan kejadian masa kecil. Dimana Ibu senantiasa sabar menghadapi anaknya ini yang sungguh keterlaluan nakalnya. Disuruh belajar malah asyik bermain. Tapi entah dengan berapa kalilipat kesabaran Ibu senantiasa sabar menemani waktu belajarku.

Dulu Aku menganggap belajar adalah suatu kegiatan yang amat menjemukan. Yang harus selalu kulakukan setiap hari sehabis sholat maghrib. Belajar apalagi kalau bukan belajar membaca, mengaji, dan menulis. Semua itu karena kehendak ibuku.

Meskipun pernah sekali dua Aku lebih memilih bermain dari pada belajar bersama ibu. Tetap saja tak terlintas raut muka kesal melintang di wajah ibuku. Sempat aku bertanya dalam benak. Mengapa ibu tidak marah lantaran aku memilih bermain dari pada belajar pada waktu itu.

Seiring berjalannya waktu, detik menjadi menit. Menit berganti jam. Jam ditelan hari. Hari bersatu dengan tahun-tahun yang berjalan sebagaimana mestinya. Sudah tidak mungkin lagi bagi Ibu untuk menemaniku belajar menyelesaikan soal-soal matematika yang semakin pelik urusannya. Atau mengajariku tentang hukum-hukum fisika yang syarat akan keputus asaan dalam mengerjakan. Lantaran rumus-rumusnya yang kian hari kian panjang saja.

Sudah tidak mungkin lagi ibuku mengajariku tentang semua itu. Toh Ibuku hanya seorang lulusan sekolah menengah.

***

Sehingga semua nya harus kujalani sendiri. Kuhadapi sekuat tenaga. Tanpa henti pernah minta bantuan lagi. Kini semuanya terserah kehendakku entah belajar atau tidak usai sholat maghrib, sekarang bukan lagi urusannya. Seolah Ia selalu menyetujui setiap apa yang kukerjakan.

Tapi ternyata dari situlah aku mengerti bahwa ibuku adalah orang yang amat mengerti tentang hakekat belajar. Ia tahu bahwa hal yang dinamakan belajar bukanlah sesuatu yang memiliki arti sesempit apa yang pernah kuduga sewaktu kecil.

Ia percaya padaku bahwa setiap saat dimanapun aku berada. Aku selalu belajar. Bukankah belajar bukanlah hal yang hanya ada sangkut pautnya dengan nilai, atau rangking di kelas. Jauh diluar itu belajar merupakan kegiatan yang senantiasa kita kerjakan. Tanpa kita sadari. Bahwa belajar adalah proses yang amat panjang, bertahap dari ketidak tahuan menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Bahkan berjalan pun melalui hal yang dinamakan belajar. Yaitu belajar berjalan.

Itulah sebabnya mengapa ibu tidak marah ketika Aku lebih memilih bermain dari pada belajar. Sebab bermain pun merupakan sebuah pembelajaran.

Senin, 14 September 2015

Semangat Menulis

Maaf Sekedar Curhat tentang Pengalaman Menulis Saya

Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah, itulah kalimat yang serta merta saya lantunkan dalam sujud syukur saya barusan. Awalnya saya tidak pernah menyangka. Entah mimpi apa semalam, begitulah orang pada umumnya saat terkejut mendapatkan sebuah kebahagiaan.

Memang kurang lebih sudah setahun setengah saya menjalani aktivitas menulis ini. Setelah sebelumnya mengikuti kelas menulis online dari mas rifai rifan. Setiap hari Saya suka posting tulisan di fb, entah itu kisah sehari-hari, puisi, cerpen atau semacamnya. Bahkan saya juga membuat blog untuk menampung tulisan-tulisan saya. Begitu saya lakukan setiap hari istiqomah. Meskipun kadangkala ada hari yang terlewatkan tanpa menulis. Dan tahukah, kawan rasanya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal hati, ketika ada hari yang terlewatkan tanpa menulis.

Mengetahui ada teman-teman dari SPN atau Fresh author yang sudah menerbitkan buku. Rasanya saya sangat iri, karena belum juga menelurkan sebuah buku. Tapi tetap saya mendoakan teman-teman yang telah menerbitkan buku. Dan itu sebagai motivasi saya, saya jadikan penyemangat buat diri sendiri. Terus menulis dan menulis setiap hari, entah apa saja saya tulis. Pekerjaan saya sehari lebih banyak membaca dan menulis. Bahkan ibu saya sampai marah-marah  karena membaca buku sampai larut malam, dan tak kunjung tidur.

Saya selalu ingat quote-quote yang di berikan teman-teman penulis. Salah satunya dari situlah semangat menulis saya tidak kunjung padam.

Dan hari ini, saya amat bahagia. Sebab Saya tidak pernah menduga-duga sebelumnya, bahwa ada seorang pemilik atau founder dari sebuah yayasan pendidikan yang senantiasa membaca tulisan saya yang sering saya posting di fb. Dan katanya ia tertarik dengan tulisan saya, lantas ia mengapresiasi tulisan-tulisan saya dengan menyuruh saya untuk menulis di web yayasan pendidikan yang ia punyai tadi.

Betapa senangnya hati, hingga tak bisa dijelaskan dengan kata-kata rasa senangnya. Mungkin terasa agak lebay kawan, tapi kenyataannya seperti itu. Tak henti-hentinya saya bersyukur pada yang Maha Memberi Nikmat.

Memang saya menganggap tulisan saya pun tak sebaik tulisan teman-teman. Oleh karena itu saya senantiasa belajar setiap hari. Dan saya selalu mengingat pesan Andrea Hirata bahwa menulis adalah passion, jadikan menulis sebagai passion mu.

Maaf teman-teman sebelumnya saya hanya ingin sekedar curhat tentang kebahagian saya. Bukan maksud saya menggurui atau apalah, toh saya hanya bocah yang memohon dengan sangat agar teman-teman membimbing saya dalam dunia tulis menulis. Semoga kita senantiasa menulis setiap hari, dan mengikat hikmah yang tersirat setiap harinya. Semangat menuls.(14/09)

Sabtu, 12 September 2015

Masalah Kita, Generasi Muda

"Kota sebelah kita, Bojonegoro. Adalah kota penghasil minyak. Triliunan rupiah dihasilkan dari penglahan minyak itu. Tapi sayang minyak di kota tetangga itu di olah oleh perusahaan asing.

" Jawa timur merupakan provinsi yang luas wilayahnya enam belas kali lebih besar dari pada Negara Singapura. Tapi kenapa potensial luas wilayah yang begitu luasnya tak memicu Indonesia menjadi negara maju macam Singapura

"Belum lagi di Papua, kita punya gunung emas terbesar didunia. Betapa kaya bangsa kita, tapi sayang, seribu sayang gunung emas itu juga telah di kelola oleh pihak asing, freeport namanya....", begitulah secuil pidato dari seseorang yang kusimak secara diam-diam selama prosesi wisuda pagi tadi berlangsung.

Jujur saya sempat tercenung memikirkan hal runyam itu. Yang disebutkan dalam pidato tadi, hanya sebagian kecil dari kekayaan Indonesia amat luas ini. Terhampar dari Sabang sampai Merauke. Coba bayangkan alangkah luasnya negeri ini. Negeri yang katanya memiliki 18.000 lebih pulau-pulau. 6000 pulau yang telah di beri nama, dan sisanya masih belum.

Mengetahui ini, maka siapa sekarang yang patut untuk disalahkan. Bagaiman mungkin sebuah bangsa yang amat besar dengan melimpahnya SDA bisa terpuruk menghadapi krisis ekonomi. Harga rupiah pun juga melemah.

Mungkin tidak usag saya sebutkan, anda pun sudah atau apa sebab musabab dari permasalahan ini. Iya, tepat sekali. Sumber Daya Manusia yang kurang mumpuni. SDM yang masih belum sejajar dengan potensial SDA yang tinggi.

Lantas bagaiman cara meningkatkan kualitas SDM bangsa ini? Iya, tentu saja dengan meningkatkan ilmu pengetahuan kita. Senantiasa belajar dan terus belajar sebab jika kita tahu di abad 20 ini, ilmu pengetahuan sudah gencar-gencarnya dikembangkan. Berbagai penelitian, pengakajian disiplin ilmu di kembangkan menurut bidangnya sendiri-sendiri. Dari sini kita tahu alangkah luasnya ilmu itu.

Maka dari itu, jika menginginkan bangsa berkesejahteraan dari segi sosial utamanya perekonomian. Tentu saja dengan berilmu. Senantiasa belajar tanpa henti, mencoba menghela sebanyak-banyaknya ilmu Tuhan yang terhampar di bumi ini.

Bagaimanapun juga, waktu akan terus berjalan. Sudah pasti generasi akan silih berganti. Sebegai generasi muda yang berjiwa patriotis, kita-lah yang selanjutnya akan memegang pemerintahan bangsa. Maka menjadi PR kita bersama bagaimana menindak lanjuti urusan yang berbau exploitasi tersebut. Mari terus belajar dan belajar agar kualitas intelektual kita bisa berpacu dengan pesatnya imu pengetaguan.

Jumat, 11 September 2015

Hizbul Wathan?

aku berkawan dengan angin
aku berkawan dengan langit
aku berkawan dengan bumi
aku berkawan pula dengan nurani

meskipun berhari-hari ditempa
yang kata orang penuh siksa bercampur luka
sayang, mereka tak pernah mengenalnya
bagi kami itulah untaian bahagia

seakan bagi kami
batas bahagia dan luka hanya setipis angin
itu artinya tak ada yang perlu diresahkan
inilah kami, anak-anak nan penuh harapan

berjalan seiring waktu
berpaju mencari ilmu
berdakwah dengan melangkah
tak pernah menunggu perintah

meskipun kami berseragam
kami segan akui perbedaan
karena kami adalah Islam
agama kami, Islam!

penuh pangkat tak membuat kami angkuh
karena kami tahu
tahu dari angin, langit, bumi, juga mereka
bahwa segalanya, hanya kepunyaan-Nya

ber-amar makruf nahi munkar
selalu kami kejar
karena kami adalah Islam
kami, pandu Hizbul Wathan

Lamongan, 11 September 2015

Senin, 07 September 2015

Cacian Sampai Perpecahan

Tak jarang kita saling mancaci antar sesama teman. Entah itu sebuah ketidaksengajaan atau kesengajaan. Selama mencaci kita serasa biasa saja, sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan ada yang merasa senang sekali ketika bisa mencaci dan mempermalukan kawannya.

Kejadian macam itu tak sulit kita jumpai sehari-hari. Dari anak kecil sampai dewasa pun ada. Jujur Saya pun sering mencaci kawan. Malahan hingga kawan saya tadi terlihat agak kesal. Saya tidak sadar bahwa cacian-cacian yang saya lontarkan telah menyakiti perasaannya. Hingga suatu ketika saya pun pernah mengalami posisi yang serupa dengan kawanku. Dan memang sungguh tidak enak rasanya.

Maka tidak menutup kemungkinan apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Sempai terjadi baku hantam satu sama lain. Berawal dari cacian menjadi perselisihan, bahkan mungkin bisa menjadi perpecahan. Alangkah buruknya kejadian macam ini.

Hanya karena berbeda warna kulit lantas kita saling merendahkan. Hanya karena bentuk hidung yang lain dari pada umumnya kemudian seenaknya saja kita mengolok-olok. Hanya karena hal-hal kecil seperti itulah perpecahan sering terjadi.

Sebagai Manusia yang hidup di bumi. Sama-sama menginjak tanah. Sama-sama memakan nasi. Juga sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Alangkah baiknya kita saling menghargai satu sama lain. Bukankah Allah pun telah menyebutkan dalam Al-Quran bahwa, Allah menciptakan Manusia dalam berbagai ras, suku, berbangsa-bangsa adalah agar kita saling mengenal.

Bayangkan ketika manusia diciptakan oleh Allah dalam satu ras, satu bangsa, hidung yang sama, kulit yang sama, mata yang sama. Lantas bagaimana cara kita saling mengenal?  Jika semuanya di ciptakanNya dalam bentuk serupa. Bukankah semua itu ada hikmahnya tersendiri.

Maka alangkah zalimnya kita jika saling mencaci sesama. Menjelek-jelekkan sesama. Yang jarang kita sadari kita telah merendahkan dan menjelekkan ciptaanNya. Betapa tidak tahu dirinya kita.

Plosowahyu, (7/9)

Berlomba-lomba

Pagi tadi tidak sengaja saya melihat sebuah berita yang amat menggembirakan. Seorang pemuda menggiatkan komunitas baca. Didalamnya anak-anak kecil tengah asyik membaca buku. Tidak hanya membaca buku saja, mereka juga saling mengajari satu sama lain, belajar menjadi guru. Berbicara didepan teman-temannya. Betapa menggembirakannya kabar itu.

Saya lantas tercengang bercampur senang ketika salah seorang anak berumur sekitar sembilan tahunan tadi berujar tidak ingat sudah berapa buku yang habis di bacanya. Dari fiksi seperti novel hingga non fiksi seperti buku-buku pengetahuan umum.

Dengan adanya komunitas baca macam itu. Paling tidak SDM bangsa kita akan semakin membaik. Memang amat penting menanamkan minat baca pada usia dini. Paling tidak kebiasaan baik, seperti membaca buku, akan mereka bawa hingga besar nanti. Bisa dibilang itulah yang dinamakan penanaman karakter yang dilakukan sedini mungkin.

Semua ini berkat kepedulian sosial dari seorang pemuda tadi. Dengan bantuan kawan-kawannya Ia mendirikan komunitas itu. Tidak terlalu muluk memang, cukup dengan sebuah papan tulis, dan beberapa buku, komunitas baca ini bisa berlangsung.

Ternyata saat ini banyak komunitas pemuda-pemudi yang peduli akan lingkungan. Dan ini merupakan kabar baik bagi bangsa. Semua orang tengah berfastabiqul qoirot. Maka jangan sampai kalah, mereka telah memulai duluan.

Plosowahyu,(8/9)

Cacian Sampai Perpecahan

Tak jarang kita saling mancaci antar sesama teman. Entah itu sebuah ketidaksengajaan atau kesengajaan. Selama mencaci kita serasa biasa saja, sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan ada yang merasa senang sekali ketika bisa mencaci dan mempermalukan kawannya.

Kejadian macam itu tak sulit kita jumpai sehari-hari. Dari anak kecil sampai dewasa pun ada. Jujur Saya pun sering mencaci kawan. Malahan hingga kawan saya tadi terlihat agak kesal. Saya tidak sadar bahwa cacian-cacian yang saya lontarkan telah menyakiti perasaannya. Hingga suatu ketika saya pun pernah mengalami posisi yang serupa dengan kawanku. Dan memang sungguh tidak enak rasanya.

Maka tidak menutup kemungkinan apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak. Sempai terjadi baku hantam satu sama lain. Berawal dari cacian menjadi perselisihan, bahkan mungkin bisa menjadi perpecahan. Alangkah buruknya kejadian macam ini.

Hanya karena berbeda warna kulit lantas kita saling merendahkan. Hanya karena bentuk hidung yang lain dari pada umumnya kemudian seenaknya saja kita mengolok-olok. Hanya karena hal-hal kecil seperti itulah perpecahan sering terjadi.

Sebagai Manusia yang hidup di bumi. Sama-sama menginjak tanah. Sama-sama memakan nasi. Juga sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Alangkah baiknya kita saling menghargai satu sama lain. Bukankah Allah pun telah menyebutkan dalam Al-Quran bahwa, Allah menciptakan Manusia dalam berbagai ras, suku, berbangsa-bangsa adalah agar kita saling mengenal.

Bayangkan ketika manusia diciptakan oleh Allah dalam satu ras, satu bangsa, hidung yang sama, kulit yang sama, mata yang sama. Lantas bagaimana cara kita saling mengenal?  Jika semuanya di ciptakanNya dalam bentuk serupa. Bukankah semua itu ada hikmahnya tersendiri.

Maka alangkah zalimnya kita jika saling mencaci sesama. Menjelek-jelekkan sesama. Yang jarang kita sadari kita telah merendahkan dan menjelekkan ciptaanNya. Betapa tidak tahu dirinya kita.

Plosowahyu, (7/9)

Minggu, 06 September 2015

Cinta Ke Duaku

Kawan, bagiku waktu terbaik dalam hidupku saat ini adalah waktu dimana aku bisa bebas bercengkrama dengan buku-buku sastra di perpustakaan kampusku yang jumlahnya tak lebih dari hitungan jari. Sempat aku kecewa akan kemiskinan jumlah buku sastra di perpustakaan kampus itu lantaran semuanya sudah lunas kubaca. Bahkan ada beberapa buku yang sempat ku baca ulang. Itu adalah bentuk kecintaanku terhadap buku itu.

Pada suatu ketika, saat titik kejenuhan sudah hampir mencapai batas kekecewaan. Ku tengok sebuah rak didekat meja register. Dan disitulah kebahagian yang berpendar-pendar telah kutemukan. Jika digambarkan kebahagianku bak kebahagian orang tua yang telah menemukan anaknya yang sempat hilang untuk jangka waktu yang cukup panjang. Di rak buku itu aku seolah menemukan cinta ke duaku tengah menungguku dengan penuh kerinduan yang kadarnya mungkin sama dengan kerinduanku. Maka kami seolah mirip dengan frekuensi radio, hanya bisa tersambung ketika frekuensi kami sehati.

Di rak itulah kutemukan majalah-majalah yang amat memikat hati dari sampul hingga isinya. Pertama kali kubuka sampulnya, Ia seolah menggodaku untuk selalu bercengkrama dengannya. Ia juga menawarkan berbagai keindahan ilmu pengetahuan. Yang syarat akan kemanfaatan. Maka butuh banyak waktu, Aku telah terpikat akan satu hal yang namanya majalah. Setiap kali Aku masuk perpustakaan, selalu aku sempatkan untuk menilik dan mengambil salah satu majalah untuk kubaca sebagai selingan membaca buku-buku medis yang tebalnya minta ampun itu.

Seringkali kubayangkan tulisanku bisa dimuat di majalah itu, dan dapat di baca oleh khalayak. Maka alangkah senangnya hati ini. Oleh karena itu Aku sering mengirimkan tulisan-tulisanku ke redaksi majalah itu. Dan senantiasa berharap tulisanku akan di muat dengan gagah di majalah itu. Serta namaku akan terpampang dengan huruf bergaya miring tepat di bawah judul tulisanku. Tapi naas puluhan tulisan yang telah kukirim melalui e-mail tak juga di muat di edisi-edisi berikutnya. Bahkan hanyabsekedar balasan pemberithuan atas penolakan tulisanku pun tak ada. Tapi Aku sadar betul mungkin tulisan ku kurang bagus tak sesuai kriteria redaksi. Tapi cintaku akan majalah tersebut tak pernah pudar meskipun hanya secuil saja. Malahan bisa dibilang cintaku makin bertumpuk-tumpuk padanya.

***

Beberapa hari yang lalu surat undangan datang melalui emailku. Dan di undangan itu tertera namaku dan asal kampusku. Awalnya aku masih bimbang, apakah bisa atau tidak menghadiri undangan tersebut. Pasalnya ada agenda yang amat penting dan bertepatan dengan acara yang tertera dalam undangan tersebut.

Tapi akhirnya setelah mendapat persetujuan pihak kampus, akhirnya berangkat juga Aku ke kota dimana gudek populer disana. Pagi-pagi betul aku sudah bersiap dengan segala perlengkapan yang aku butuhkan. Di ufuk timur matahari belum kelihatan batang hidungnya. Sehingga jalanan masih agak gelap. Motor, mobil, serta kendaraan lain masih menyala lampunya ketika tengah melintasi jalan raya. Hawa dingin di pagi buta seakan menancapkan taringnya di sekujur tubuhku.

Perjalanan dari Lamongan ke Yogyakarta itu berlangsung kurang lebih selama sembilan jam. Perkiraannya hanya delapan jam sudah sampai. Semua itu lantaran kelakuan sopir bus yang tak tahu sopan santun, di tengah perjalanan Ia melanggar lalu lintas yang jelas-jelas Ia tahu. Tapi mungkin tabiat seorang sopir bus adalah macam demikian, penuh pemberontakan, sekehendak hatinya sendiri, serta amat tak peduli dengan aturan. Maka beginilah jadinya. Kami, aku dan penumpang lainnya harus menunggu prosesi penilangan sopir bus di kantor polisi itu. Pengalaman naik bus selama sembilan jam itu, sempat membuatku ketar-ketir lantaran sopir bus yang penuh nyali. Lebih dari dua kali bus yang kutumpangi hampir berciuman dengan truk-truk bermuka garang itu.

Tepat jam setengah lima sore kami sampai di tujuan. Ternyata acara telah dimulai beberapa menit yang lalu. Rapat itu mulanya berjalan panas, sebelum kedatangan kami. Setelah kami meminta izin, permisi memasuki ruangan rapat itu. Semuanya sempat membeku beberapa saat. Kami telah menarik perhatian puluhan orang yang telah berserius ria. Alias telah memporak-porandakan ketegangan untuk sementara waktu. Oleh karena itu aku sedikit gentar memasuki ruangan tersebut. Tapi kegentaranku seketika luruh, setelah mereka tersenyum mempersilahkan kami duduk.

Kemudian rapat berjalan dengan khidmat selama hampir lima jam lamanya. Dan alhamdulillah semu permasalahan telah menemui titik temunya. Kami telah bermufakat atas hasil yang telah didapat. Tepat pukul sepuluh kurang beberapa menit rapat telah usai. Sempat beberapa menit kita saling berbasa-basi dengan peserta lainnya. Hanya sekedar untuk bertukar pengalaman.

Lantas kami segera berjalan menuju jalan raya untuk mencari taxi. Diperjalanan aku sempat di tertawakan oleh kedua temanku lantaran pengakuanku, yang baru pertama kalinya Aku berkunjung ke jogja. Tapi Aku tak terlalu mengambil hati atas pelecehan kedua temanku itu.

Hingar-bingar malam di jogja amat jauh berbeda dangan suasana malam di kota ku. Jalanan masih agak ramai dipenuhi motor-motor yang berkeliaran kesana kemari. Di bibir jalan beberapa remaja tengah santai mengayuh sepeda. Lantunan musik jawa atau keroncong mengalun lirih bersama petikan ukulele. Remaja-remaja tengah bersuka cita di pnggir-pinggir jalan. Di trotoar yang terlihat membisu.

Mataku dari tadi tak kunjung berhenti lirik sana lirik sini. Pandanganku menyisir seantero yang dapat kulihat. Dua orang didepanku berjalan dengan langkah pasti. Seolah mereka sudah tidak terpesona lagi akan indah nya malam di kota gudeg itu.

Tiba-tiba disalah satu sudut di kanan jalan. Mataku terbelalak tidak percaya. Aku mengucek-ngucek mata, memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Bahwa yang kulihat di depan sana adalah tempat cinta keduaku di lahirkan. Di sana adalah pusat dimana cinta-cintaku berpendar. Di atas toko itu sebuah tulisan balok memancarkan cahaya merah. Yang terbaca: SUARA MUHAMMADIYAH. Dua orang sahabatku memberitahukan bahwa itulah pusat atau kantor induk majalah di produksi.

Maka dengan kegembiraan yang meluap-luap. Dan mata yang berbinar-binar lantaran sedikit harapanku telah terpenuhi. Lantas kusuruh salah satu kawanku mengabadikan momen itu dengan berfoto di depan kantor utama majalah yang sering di singkat SM itu.

Tapi aku sedikit kecewa lantaran kantor itu telah tutup karena sudah larut. Tapi biarlah dengan sekuat tenaga aku mengikhlaskannya.

Bertobat Sedini Mungkin

Jika kita renungi setiap hari, pastinya banyak sekali dosa yang kita perbuat. Entah itu kita sadari atau tidak kita sadari. Seringkali kita menggunjing kawan, mencari-cari keburukan kawan lantas kita perbincangkan dengan orang lain. Atau berpikiran buruk tentang sesuatu alias su'udzan. Itu sudah merupakan perbuatan yang berdosa.

Tapi karena sering kita lakuakan. Atau sudah menjadi kebiasaan. Kita merasa itu biasa-biasa saja. Dan tidak lagi merasa bersalah atas perbuatan yang sebenarnya salah untuk dilakukan itu. Dan hal itu kiranya berlaku untuk segala perbuatan salah atau berdosa yang sering kita lakukan sehari-hari. Misalnya menjahili kawan, mencuri barang orang, atau perbuatan-perbuatan buruk yang tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu disini.

Mengapa kita merasa biasa-biasa saja dan sama sekali tidak merasa bersalah atas perbuatan dosa yang sering kita lakukan? Itu semua lantaran noktah-noktah dosa sudah sangat bantak lantas menyelimuti nurani. Saya yakin setiap orang yang baru pertama kali melakukan kesalahan atau dosa. Pastinya akan ada perasaan bersalah dalam lubuk hati yang terdalam. Begitulah seterusnya, tapi lama-kelamaan perasaan bersalah itu akan semakin tidak kentara, dan amat tidak membekas sama sekali di hati. Lantaran kita sudah terbiasa berbuat salah.

Dan itulah hukuman terberat yang sangat di takuti. Yaitu ketika nurani kita tidak peka lagi terhadap dosa yang telah di perbuat. Dan kita merasa nyaman berkabung diantara dosa-dosa yang telah kita perbuat berulang kali. Seolah telah menjadi hal yang biasa. Padahal kata Ibnu Jauzi dalam Shaidul Khatir, hukuman terberat bagi para pendosa adalah perasaan tidak merasa berdosa.

Betapa ruginya kita saat nurani sudah tidak dapat lagi mendeteksi kesalahan-kesalah yang telah kita perbuat. Kita sudah tidak merasa gelisah, bersalah, atau takut akan dosa-dosa yang telah kita perbuat. Semua itu lantaran dosa-dosa tadi telah menebal memendam titah nurani. Itu artinya perasaan kita sudah tidak peka lagi terhadap dosa yang telah kita lakukan.

Dan ketika hal itu sudah terlanjur menjadi kebiasaan maka amat merugilah diri kita. Sehingga untuk dapat menghindari hukuman terberat bagi para pendosa itu adalah. Segera bertobat sedini mungkin. Bersikeras mengakiri pebuatan-perbuatan dosa itu. Mengucap istighfar seraya merenungi kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat.

Sehingga kebahagian hakiki niscaya akan tercipta. Yaitu ketika jiwa ini merasa tenteram, merasa nyaman, dan merasa amat damai dengan kehidupan yang sedang kita jalani. Meskipun hidup kita sederhana-sederhana saja.

Sidorejo, 5 September 2015

Bebas

Inilah Aku
Lelaki yang berkabung didalam pilu
Sejak kecil belum pernah merasakan manis

Mungkin manis hanya sejenak terlintas
Bagai desingan peluru
Yang hanya seketika terdengar

Orang-orang selalu melihatku dengan mata sebelah
Dan itu adalah kesakitan yang nyata
Lantas Mereka meludah ke tanah

Tapi Aku adalah lelaki
Insan yang pantang di kebiri
Bagiku caci maki adalah seni

Seni yang akan mewarnai hidup
Tak usah kumasukkan hati
Caci-cacian yang berkicau bagai emprit di pagi hari.

Langkahku masih tetap tajam
Sehingga pilu akan terkupas
Dan kelak Aku akan bebas, terbebas!

Bebas

Inilah Aku
Lelaki yang berkabung didalam pilu
Sejak kecil belum pernah merasakan manis

Mungkin manis hanya sejenak terlintas
Bagai desingan peluru
Yang hanya seketika terdengar

Orang-orang selalu melihatku dengan mata sebelah
Dan itu adalah kesakitan yang nyata
Lantas Mereka meludah ke tanah

Tapi Aku adalah lelaki
Insan yang pantang di kebiri
Bagiku caci maki adalah seni

Seni yang akan mewarnai hidup
Tak usah kumasukkan hati
Caci-cacian yang berkicau bagai emprit di pagi hari.

Langkahku masih tetap tajam
Sehingga pilu akan terkupas
Dan kelak Aku akan bebas, terbebas!

Tuhan Sedang Berbaik Hati

Entah dosa apa yang kuperbuat
Tempo hari
Kini napasku tersengal-sengal
Kutaksir tinggal seperempat tidal

Dadaku seakan diduduki bogel
Sesak amat sesak tak terperi
Sesekali kuhirup napas dalam-dalam
Hanya untuk menyambung nyawa

Kepalaku pening seolah dipalu durjana
Kemudian rasa gatal menyeruak
Menjalar dari tenggorokan ke dalam dadaku
Mereka telah berhasil menjajahku

Kini Aku hanya bisa terkapar
Lunglai didalam kamar
Dengan mata berbinar-binar
Tak ayal mirip orang mau meninggal

Sesorang baru saja bertanya
Apa yang Kau lakukan nak?
Kujawab dengan pandangan
Mata berderai kesedihan

Mungkin Tuhan sedang berbaik hati
Menitipkan penyakit padaku
Konon untuk meluruhkan dosa
Yang merekat erat macam karang gigi

Maka biarlah sejenak kupejamkan mata
Seraya menahan lara
Atas duka yang tak seberapa
Dibanding nikmat yang jarang kukenal

Sidorejo, 22 Agustus '15

Senin, 31 Agustus 2015

Allah Maha Berkehendak

Dua hari yang lalu. Setelah empat hari berselang sejak hari kelahiranku. Aku sempat terkejut pada hari itu. Pasalnya dihari itu, kejadian yang belum pernah kuduga sebelumnya terjadi.

Padahal empat hari sebelumnya doa-doa baik. Tentang umur panjang, tentang kesuksesan, juga yang terpenting tentang kesehatan. Bertaburan di ucapkan setiap temandi beranda facebook ku. Rasanya amat membahagiakan ketika ada orang-orang yang masih peduli dengan kita. Meskipun itu hanya sebuah ucapan yang di tuliskan dengan satu dua kalimat. Semua itu merupakan suatu bentuk kepudulian mereka pada kita. Patut kita syukuri dan harus di balas dengan doa yang baik pula. Seperti yang Rasulullah ajarkan pada kita. Saling mendoakan dalam kebaikan.

Tetapi bagaimanapun juga ketentuan tetap Allah yang memberikan. Di hari keempat usai hari kelahiranku. Kesehatan ku memburuk, dimalam sebelumnya badanku demam. Aku menggigil kedinginan. Dadaku sesak, rasanya nyeri serasa di tekan. Berkali-kali aku batuk. Dan pagi harinya secara tidak sengaja ketika aku tengah asyik membaca buku. Secara reflek aku terbatuk. Kemudian secara tidak sengaja dahak kental keluar dari mulut lantas menempel di tanganku. Dan aku terbelalak tidak percaya ketika kulihat ada sedikit darah kental yang bercampur di dahak itu.

Ketika itu juga bayangan-bayangan yang amat buruk dengan serta merta menyesaki kelapalaku. Aku terbayang-bayang akan kematian, umur yang sudah tidak lama lagi, dan segera meninggalkan dunia menuju alam barzakh. Kiranya seperti itulah ketakutanku saat itu. Dan kenyataannya aku belum bisa menerima semua itu.

Begitulah manusia, makhluk yang lemah tapi enggan menerima semua ketentuan Tuhan Yang Maha Berkehendak. Aku sempat berdoa dalam hati. Jika memang Tuhan berkendak demikian, mungkin ini yang terbaik bagiku. Berkali-kali kuyakinkan diriku seperti itu. Mencoba meridlhoi segala kehendakNya.

Bukankah kita ini berasal dariNya. Begitupun kelak dalam waktu yang telah ditentukan olehNya. Kita juga akan kembali padaNya. Segala kehendakNya, entah itu baik atau buruk menurut kita. Baiknya sebagai Manusia, kita harus meridlhoinya. Dan memohon semoga itu yang terbaik yang di berikan Allah untuk kita.

Janji Kehidupan

Ditempat itu derita bertumpuk-tumpuk di setiap sudutnya. Malaikat pencabut nyawa bertaburan di setiap pintu-pintu ruangan. Bersiap siaga menarik ulur kehidupan. Alangkah menakutkannya. Di tempat itu kehidupan jaraknya amat dekat dengan kematian munkin hanya sebatas satu jengkal jari saja.

Dinding putih, lantai putih, kerangka bayang pun berwarna putih. Tapi putih yang satu ini bukanlah putih kesucian. Melainkan lebih condong pada putih ketiadaan. Entah dari mana asal muasal warna tersebut. Jika menatapnya lamat-lamat aku seolah-olah terseret ke dunia yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tak terperi pilunya.

Ditempat ini janji kehidupan di umbar dalam hitungan rupiah. Seolah nyawa bisa tertolong jika kau mengantongi rupiah dalam dompetmu. Jika sedikitpun tak ada, maka bersiap-siaplah enyah dari tempat ini, jangan harap kehidupan dan kematian berjarak sejengkal lebih. Boleh jadi akan kurang dari itu.

Pagi itu adalah hari pertama Aku berada di tempat ini. Perasaan canggung bercampur bingung menyelimuti pikiranku. Bahkan aku sempat ketakutan melihat pak tua bersimbah darah, lantaran jempol nya telah raib setengah bagiannya. Katanya gergagi barusan telah memotongnya secara tidak sengaja. Melihat dan mendengar kejadian itu. Bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Aku menelan ludah.

Kupandangi orang-orang bermuka gelisah. Duduk di kursi yang teronggok di teras sambil membawa sebotol cairan yang terhubung ke lengan orang-orang itu dengan selang seukuran sedotan air kemasan. Mereka mengankatnya tinggi-tinggi. Pandangan mereka memiliki makna keputusasaan, penderitaan, ketidakbebasan, bercampur ketidaknyamanan. Tapi mereka masih punya satu harapan, yaitu janji kesehatan.

Setiap kali ku sambangi mereka saban pagi. Hanya satu pertanyaan yang seringkali dilontarkan. 'Kapan Aku bisa pulang Pak?'. Aku cukup tersenyum membalas pertanyaan itu. Sambil mendoakan semoga lekas sembuh.

Disaat-saat seperti itu sering aku menghela napas dalam. Lantas memalingkan pandangan ke arah jasmine-jasmine yang baru saja bermekaran di depan teras itu. Hanya merekalah yang senantiasa tabah mendengar keluh kesah. Pasien-pasien puskesmas itu.

Para petugas kesehatan adalah orang yang paling kejam. Bagaimana tidak hidup mereka dari uang orang sakit. Bahkan mereka tertawa riang satu sama lainnya. Ketika orang sakit bertambah jumlahnya. Bukankah itu amat memuakkan. Tapi anehnya lagi si orang sakit itu menaruh harapan besar pada orang-orang petugas kesehatan itu.

Minggu, 23 Agustus 2015

Whiplash

"Charlie Parker tak tahu siapapun sampai Jo Jones melempar simbal ke kepalanya", Kata Neiman menimpali pamanya.

"Itukah pemikiranmu akan sukses?", Pamannya memotong pembicaraan.

"Menjadi musisi terbaik di abad 20 adalah ide semua orang akan kesuksesan.", Neiman melanjutkan pembicaannya yang sempat terpotong.

"Meninggal dalam keadaan bangkrut dan seorang pecandu pada usia 34 tahun bukan pemikiranku akan kesuksesan.", Ayah Neiman mencoba membela diri. Lantaran dipandang saudaranya bersalah atas kelakuan anaknya.

"Aku lebih baik begitu, tapi orang membicarakanku dibanding kaya dan meninggal di usia 90 tahun, tapi tak ada yang mengingatku.", dengan percaya dirinya Neiman berucap, Seraya menatap pamannya dengan tajam.

Sebelumnya Aku sempat tercenung memikirkan hal itu. Percakapan diatas adalah secuil perkataan amat menancap selama menyimak film 'Whiplash'.

Dalam film tersebut Neiman, laki-laki berumur 19 tahun. Dengan segala impiannya yang amat muluk. Ingin menjadi seorang musisi inti dalam sebuah grup band jazz sebagai penabuh drum. Di universitas Shaffer, satu-satunya sekolah musik terbaik di negaranya.

Tapi perjalanan meraih impian itu tidak semudah membalik telapak tangan. Meskipun boleh dibilang Ia amat berbakat. Kekecewaan, keputus asaan, dan derai air mata berlinang-linang dalam usahanya.

Yang paling mengesankan adalah pemikiran Neiman akan kesuksesan. Jauh melenceng dari pemikiran orang pada umumnya. Jadi cakupan kesuksesan itu amat luas maknanya. Mungkin bisa dibilang sukses itu relatif.

Kamis, 20 Agustus 2015

Nyanyian Setan

Hidup itu ibarat laut, pasti ada pasang surutnya. Adakalanya kita sedang bersemangat menggebu-gebu. Adakalanya juga kita tertunduk lesu tak berdaya macam orang menderita beruk.

Dikala pasang. Semangat kita seolah mirip api olimpiade, terus menyala. Itu adalah waktu dimana kita menatap cita-cita amat mungkin diraih. Dan tidak ada sedikitpun kemustahilan yang menghalangi cita-cita tersebut. Tapi apabila kita tengah berada dalam keadaan surut. Pikiran kita seolah kerasukan hawa negative. Sehingga bawaannya selalu negative thingking. Setiap kita berusaha, dalam benak selalu tersiral hal-hal negatif.  Misalnya demikian, untuk apa bersusah payah, toh semuanya akan sia-sia!

Jika dibenak kita sudah tertancap hal-hal negative macam demikian. Maka jangan pernah hiraukan. Boleh jadi itu nyanyian setan, seperti yang bang haji Rhoma Irama sering nyanyikan. Jangan pernah sedikit pun dimasukkan hati kawan. Siratan seperti itu ibarat mendung yang menutupi cahaya mentari. Harus cepat-cepat kau singkap kawan agar sinar mentarimu tetap bersinar.

Semoga setiap impian di dengar oleh Allah. Tuhan yang Maha Mendengar.

Minggu, 09 Agustus 2015

Takdir Yang Telah di Gariskan

Beberapa hari yang lalu. Ketika sedang berada di tanah kelahiran Karaeng. Aku amat gamang lantaran baru pertama kalinya. Semuanya asing, bahasa mereka asing di telingaku. Aku tak mengerti apa yang orang-orang bicarakan di warung makan yang tepat berada sebelahku duduk saat itu. Juga lingkungan yang asing. Tak biasa aku melihat anjing bebas berkeliaran mirip anak ayam di kampungku. Juga tebing yang yang melingkar dan berselimut pepohonan didepanku. Indah memang, pemandangannya tapi semuanya asing bagiku. Aku belum terbiasa.

Sesekali angin berhembus kencang menyapu debu juga dedaunan kering yang berserakan di lapangan seolah tak suka akan kedatanganku. Sejak jam di tanganku menunjuk pukul 09.00 udara di sekitar tebing ini menjadi semakin panas. Sehingga kesan dahaga srmakin melekat di tenggorokanku. Bawaannya ingin minum terus. Tapi disini semuanya memakai uang dan harganya dua sampai tiga kali lipat harga barang di Jawa Timur. Pedagang disini menurutku sungguh tidak adil, tidak berbelas kasihan. Seolah mereka telah menjadi kapitalis sejak lahir. Amat matrialis para pedagang-pedagang disini. Semuanya di jual sesuka hati, dengan harga setinggi tebing didepanku. Pintar sekali mereka memanfaatkan teori ekonomi. Bahwa disini demand lebih banyak dari pada suply. Oleh sebab itu mau tidak mau Aku harus bersikukuh menahan dahaga yang menggebu-gebu itu.

Saat itu adalah hari pertama dimana aku menjalani mandat kampus. Masih sekitar 9 hari aku tinggal di tanah makassar itu. Dan jika ingin hidup mau tak mau Aku harus pandai memanage uang. Agar cukup untuk hidup selama itu.

Kurang lebih empat jam berselang. Kuhabiskan dengan bercakap-cakap dengan seorang teman yang sejak tadi duduk bersamaku di atas bayang yang terbuat dari bambu.

Didepanku anak-anak kecil berlarian saling kejar satu sama lain. Mereka terlihat riang sekali. Seolah terpancar kecerian di sekitar kami. Gelak tawa pun berhamburan di sembarang tempat. Melesat liar bak molekul-molekul atom di tabung reaksi. Aku amat suka suasana saat itu.

Di tengah-tengah kecerian anak kecil itu terlihat kakek tua sedang berjalan memakai tongkat. Awalnya Aku tak mengira bahwa kakek itu akan sangat akrab dengan kami-- Aku dan Kawanku--hari-hari selanjutnya.

Kian lama, aku kian tahu mau kemana Kakek itu. Dari kejauhan Aku sedikit memperhatikan kakek tua itu. Jalannya amat pelan dan sedikit terseok-seok. Tapi untungnya ada tongkat yang membantunya berjalan. Maklum beginilah orang tua umumnya. Penampilannya amat menarik. Dari atas Ia memakai topi rimba. Rambutnya hampir keseluruhan memutih. Memakai seragam baju HW. Tapi bawahannya memakai sarung. Agak kurang pas memang. Tapi umur lah yang seolah membuat semua itu wajar dan bisa di terima.

Kini Beliau telah berada dalam jarak komunikasi efektif denganku. Ia duduk di bayang yang Aku dan temanku sedang duduki saat itu. Tanpa di suruh orang tua tadi berbicara semaunya seolah sedang bercerita. Memang ia sedang bercerita. Tapi tak tahu sedang menceritai siapa. Maka dengan sebuah ketidak sengajaan aku dan temanku mendengarkan pak tua tadi bercerita.

Ia bercerita banyak tentang anaknya yang tak begitu pandai dibsekolah. Tentang pengalamannya selama menjadi guru dulu. Tentang pengalaman sewaktu kecil beliau di Flores. Dan yang paling berkesan adalah cerita beliau tentang anak didiknya yang tak pandai dalam akademik. Namun karena anjuran beliau untuk tetap bersekolah. Dikemudian hari beliau bertemu dengan anak didiknya itu saat sudah menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya.

Aku amat berterimakasih dengan takdir yang telah di gariskan Tuhan. Bahwa di dunia tidak ada yang kebetulan. Semuanya terjadi karena sebab akibat yang telah kita prrbuat di hari sebelumnya. Begitu juga dengan pertemuan dengan setiap orang. Bahwa semuanya telah di takdirkan. Dari beliau, Bapak Yusuf Ismail yang berusia 68 tahun ini banyak pelajaran hidup yang kuperoleh. Dan jarang sekali kutemukan di bangku perkuliahan.

Pembicaraan pun berakhir dengan kegembiraan di air terjun Bantimurung. Kami bersama-sama mengguyur lelah di bawah derasnya air terjun.

Minggu, 02 Agustus 2015

Novel 2

Kemiskinan dan air mata adalah sahabat terdekat saya. Hidup dengan kemiskinan amat pedih. Lantas bagaimana menyikapi kemiskinan dengan cara yang cantik, sehingga yang ada hanya air mata keikhlasan.

Pendidikan adalah hal yang teramat penting yang mesti kutaklukkan, meski berkali aral melintang.

Yang ketiga adalah cinta. Bagiku cinta itu kehidupan. Aku adalah orang yang mengais-ngais cinta, mencoba memahami keabstrakannya pula.

Jawaban

Bahwa Tuhan bukanlah tidak adil. Malahan Tuhan amat sayang dengan kita. Karena menempatkan kita ditempat yang sangat sulit bagi orang lain. Alasanya hanya satu, kita lebih mampu menghadapi kesulitan yang tidak dapat di taklukan orang lain.

Andaikata aku tak sekolah. Pastinya aku sudah jadi buruh tani. Yang mengais-ngais hidup di antara tanah yang tandus, yang amat pedih menelurkan secerca rejeki untuk makan. Dan kutemukan kesimpulan baru bahwa pendidikan bukanlah untuk mencari makan saja. Esensinya jauh dari itu semua. Lebih menuju pada ibadah untuk Tuhan. Nanti akan kujelaskan detilnya.

Cinta, aku adalah orang yang meraba-raba cinta. Bagaimana orang miskin seperti ku mengartikan cinta?
-----------------------------
Jalan cerita.

Dalam pertengahan cerita. Tokoh aku mengalami keputusasaan yang amat memiukan. Hingga membuatnya ingin membuang jauh-jauh impiannya.

Kemudian Ia amat menyalah-nyalahkan Tuhan. Atas segala pemberianNya. Mengapa Ia dilahirkan dalam keterbatasan yang sungguh keterlaluan. Rasanya semua itu tidak adil bagi tokoh Aku.

Tapi dengan segala pemahaman yang sulit dijelaskan dengan kata-kata ( PR riset). Akhirnya tokoh Aku seperti dilahirkan kembali. Dengan semangat baru. Menatap hidup dari kaca mata sebuah kesyukuran atas segala pemberianNya.

Selanjutnya adalah kehendakmu sebagai penulis yang melukis kisah ini.

*Fatah Anshori

Pentingnya Mengucap 'Insya Allah'

"Jangan bilang insya Allah, pokoknya harus bisa!", jawab kawanku dengan muka kesal ketika mendengar ucapan kawannya saat berjanji. Bahkan Ia sempat marah-marah usai mematikan telepon dari kawannya barusan. Kelihatannya Ia tidak puas ketika mendengar temannya berjanji dengan mengucap kata Insya Allah.

Seperti inilah kawan, Akhir-akhir ini saya sering mendengar banyak dari teman saya meremehkan kata 'insya Allah'. Atau lebih tepat nya menyalah artikan kata insya Allah. Mereka, kawan saya yang mendengar orang mengucap insya Allah saat berjanji padanya. Ia mengartikan bahwa orang yang berjanji tadi lebih banyak tidak akan menepati janjinya ketimbang menepati janji. Mungkin begitu juga dengan si pengucap janji tadi, pengartiannya sama pula. Persentase tidak menepati janji lebih besar ketimbang menepati janji.

Padahal yang sebenarnya bukanlah seperti itu. Persentase menepati janji lebih besar ketimbang tidak menepati janji. Saya pernah membaca suatu majalah islam yang judul majalahnya saya sendiri sudah lupa. Di situ mengatakan bila kita mengucap insya Allah saat berjanji, itu artinya 99% kita harus menepati janji yang kita ucapkan tadi. Sedangkan 1% -nya adalah ketetapan Allah. Sering kita mendengar Manusia hanya bisa membuat rencana sedangkan hasilnya adalah takdir Allah.

Bukankah pernyataan itu amat sangat betul. Dalam Al-Quran, Allah telah memerintah pada seluruh umat muslim untuk mengucap Insya Allah ketika berjanji. Saya sendiri pun sering lupa dengan perintah Allah yang satu ini.

Apalagi ketika saya sedang sibuk-sibuknya menjadi seorang panitia dalam sebuah acara yang bisa dibilang amat sangat penting. Ketika teman bertanya atau meminta saya untuk hadir beberapa waktu kedepan. Dengan tegas dan lantang saya menjawab, "Iya saya bisa hadir nanti, jangan khawatir!". Begitu juga ketika ada SMS dari teman. Akan saya reply dengan jawaban tenang saja saya pasti bisa hadir. Dan baru saja, sore tadi saya mengulangi hal yang sama. Lantas saya termenung dan mengucap dalan hati, istighfar betapa angkuh dan sombongya diri ini.

Saya benar-benar khilaf, semoga Allah mengampuni perbuatan saya yang demikian. Kiranya Allah menyuruh kita mengucap Insya Allah ketika berjanji, tidak lain adalah agar manusia selalu mengingat Allah dan sadar bahwa manusia tidaklah memiliki apa-apa. Dan tidak tahu apa-apa.

Tidak memiliki apa-apa artinya, manusia tidaklah mempunya kekuatan untuk membuat kehendak menjadi nyata sesuai yang diharapkannya, bisa saja takdir Allah berkata lain. Dan tidak tahu apa-apa artinya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi beberapa waktu kedepan, jangankan lima menit bahkan beberapa detik kedepan saja kita tidak tahu apa yang akan terjadi.

Maka alangkah tidak tahu dirinya kita. Ketika melupakan Allah di setiap perbuatan yang tengah kita lakukan. Semoga tulisan ini mampu meningkatkan ketakwaan dan mengingatkan kita pada Kebesaran Allah. Tuhan pemilik apa yang ada dilangit dan dibumi.

Perjalanan Panjang Nan Melelahkan

Melalui perjalanan panjang ini Saya ingin rasanya bercerita banyak tentang pengalaman yang telah Saya dapat. Berawal dari surat tugas yang datangnya boleh dibilang sangat mendadak dan mendesak pula. Mau tidak mau Saya harus berangkat sesui tanggal yang tertera pada Surat Tugas tadi.

Awalnya Saya tidak percaya bahwa tiga hari kedepan, perjalanan panjang nan melelahkan harus Saya tempuh. Bagaimana tidak melelahkan jika perjalanan itu harus menyeberangi lautan, lautan kawan bukan selat. Dan harus naik kapal pula. Dalam benak saya kapal adalah benda yang amat asing. Ibarat hubungan Saya dengan Harimau Sumatera, hanya sebatas melihat dari TV. Belum akrab betul. Begitu juga dengan kapal tadi. Saya hanya tahu gambaran kapal dari sebuah buku.

Penafsiran kapal dalam benak Saya sebelumnya sangat elok. Boleh dibilang hati ini berbunga-bunga ketika tahu perjalanan panjang ke Makasar itu harus naik kapal, dan gratis pula. Alias free tidak usah bayar. Bayangan Saya sebelumnya. Kapal itu punya kabin semacam kamar dan  didalamnya terdapat dipan yang nyaman, untuk tidur penumpangnya. Lantas di dekat dipan ada jendela kaca bundar yang dapat digunakan untuk memandang keluar. Kemudian ada koki kapal yang masakannya luar biasa lezatnya. Kemudian ada juga kelasi atau ABK berpakain seragam putih-putih bersih, dan bersahaja pula dengan penumpang. Begitulah kiranya penafsiran Saya tentang Kapal, mirip dengan apa yang digambarkan dalam novel 'Rindu' karangan Bang Tere Liye.

Sesampainya di pelabuhan, sedikit penafsiran Saya yang indah-indah tadi telah di acak-acak oleh tukang parkir mobil yang tak tahu sopan santun. Baunya kecut, mukanya preman, dan dilehernya berkalung handuk kumal pula yang sesekali mereka sapukan kewajah mereka.

Dan seperti semangkuk bakso yang dibalik seratus delapan puluh derajad. Tumpah sudah penafsiran indah itu. Berganti dengan kekecewaan yang menohok ulu hati. Saat menjejakkan kaki diatas dek tiga kapal yang saya tumpangi. Tidak ada kabin, tidak ada kelasi baik hati, pun juga dengan chef yang pandai memasak. Tidak ada!

Bahkan di kapal itu. Barang-barang seperti minuman atau makanan dijual sesuka hati penjual nya. Seolah istilah pembeli adalah raja, berganti menjadi pembeli adalah babu. Baru saya tahu bahwa hukum ekonomi di lautan berlaku Demand lebih tinggi dari Suply. Jadi bisa di tarik kesimpulan jika ingin berjualan dengan harga setinggi tiang bendera bolehlah berjualan di kapal.

Kekecewaan Saya menjelma menjadi mimpi buruk ketika dua hari dua malam. Saya terkapar tidak bisa bangun. Tapi satu hal yang akan selalu ku ingat. Pelajaran kehidupan yang amat berharga. Tidak salah jika dibilang manusia itu lemah tanpa pertolongan Allah. Coba bayangkan, ketika di tengah-tengah lautan. Ruang gerak menjadi amat terbatas, kita boleh berkuasa di daratan lain lagi dengan di lautan. Tanpa ada kapal yang dengan kuasa Allah di apungkan, tamat sudah riwayat kita. Bukankah seperti itu kawan!

Rabu, 22 Juli 2015

Mental-mental Juara

Masyarakat sangat antusias dengan perlombaan kemerdekaan yang diadakan oleh para pemuda Karang Taruna kampung. Berbagai kalangan dari balita, anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, serta kakek nenek pun turut meramaikan acara perlombaan.

Rencananya acara dimulai pukul 19.00 tapi baru bisa berjalan satu jam kemudian. Sudahlah! Memang seperti ini budaya jam karet yang telah melekat di masyarakat. Dan sungguh sulit untuk mengubahnya. Ibaratnya seperti menawarkan rasa asin air dilautan. Sungguh mustahil kawan!

Tapi bolehlah jam karet itu kita kesampingkan terlebih dahulu. Tepat satu jam kemudian warga dari berbagai golongan itu memenuhi perempatan kampung. Duduk berderet-deret di tepi jalan. Bercampur aduk tak memperdulikan ras, gender, ataupun perbedaan lainnya yang seringkali diperdebatkan. Sejenak mereka larut bak gula dalam air teh. Ternyata perlombaan tak hanya menciptakan tawa tapi juga menciptakan pluralisme.

Sejurus kemudian sound system sudah terhubung dengan instalasi listrik. Ini artinya perlombaan sudah siap dimulai. Perempatan kampung menjadi ribut karena para warga tak pernah tenang. Mereka tak sabaran. Telingaku amat bising mendengar percakapan mereka. Suara percakapan mereka kini bercampur alunan musik dangdut yang diputar oleh seorang operator sound system berwajah garang.

Anak-anak berlarian menuju panitia yang duduk didekat sound system mendafatarkan diri. Setelah perempuan berkerudung merah mempersilahkan mendaftar. Muka-muka riang bermekaran dari wajah mereka. Malam ini seolah malaikat-malaikat pembawa kabar gembira turun dari langit menghibur anak-anak. Syahdu sekali suasana malam ini.

Lantas perlombaan berlangsung seru, mendebarkan, dan banyak menyita perhatian warga. Para peserta lomba yang didominasi anak-anak di bawah usia 15 tahun sangat antusias. Wajah mereka memancarkan keinginan untuk menjadi pemenang. Sebelum Aku tak menyangka akan mendapat pelejaran berharga dari mereka. Dari anak-anak kampung yang dekil, apa adanya dengan kesederhanaan busananya, potongan rambutnya, bajunya juga lusuh. Tapi Aku suka dengan mental mereka. Merekalah mental-mental juara. Yang tetap bertarung tak memilih unjuk gigi. Dari pada hanya menjadi penonton. Mereka memilih bertarung terlebih dahulu meski tahu akan kalah. Mereka sudah berani mencoba. Try and try again.

Ternyata perlombaan yang berlangsung ini. Memberi banyak manfaat. Seperti melatih mental. Menumbuhkan semangat berjuang. Merekatkan silaturahmi. Belajar fair play. Dan yang pasti menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak kecil. Yang kelak akan menjadi penerus kita. Dan siapa tahu merekalah yang akan menjadi para pemimpin yang elok akhlaknya. Macam Mahatma Gandhi. Atau lebih-lebih seperti Rasulullah Saw.

Senin, 20 Juli 2015

Suasana Hari Nan Firi

Pertama saya ingin mengucapkan minal aidzin wal faidzin pada seluruh pembaca. Sebagai manusia kita tak mungkin luput dari salah. Dan sebagai umat muslim, alangkah baiknya ketika kita bisa saling maag memaafkan. Selain sebagai penghapus dosa antar manusia, saling maaf memaafkan juga akan mempererat tali silaturrahmi. Semoga kita selalu dalam lindungan serta limpahan berkahNya.

Dihari nan fitri ini semuanya serba baru. Mulai dari baju baru sampai sandal baru. Kebanyakan seperti itu warna warni idul fitri. Setelah sebulan penuh kita melaksanakan puasa. Menahan makan dan minum disiang hari. Berkelit dengan dahaga dan lapar. Allah memberi kemudan bagi hambanya dihari nan fitri ini.

Kemudahan itu amat banyak artinya jika kita artikan. Seperti kemudahan makanan. Banyak sekali makanan seperti ketupat, jajanan toples, yang sangat menggiurkan jika melihatnya. Saya sendiri amat sangat tergoda untuk mencicipinya jika melihat jajanan itu. Perangainya cantik-cantik mirip anak gadis baru remaja.

Keadaan seperti demikian sudah menjadi tradisi. Hari raya idul fitri jajanan menjamur di setiap rumah. Aneka jajanan tradisional sampai internasional memenuhi meja ruang tamu. Memang tujuan tak lain adalah untuk menyambut tamu. Biasanya setiap orang yang datang di persilahkan oleh tuan rumah untuk duduk sebentar mencicipi jajanan yang terjejer elok di meja. Bukan main eloknya suasana seperti ini.

Yang kedua adalah tradisi maaf memaafkan. Setiap orang dikampung usai sholat Id akan bergegas mengunjungi tetangganya. Bejalan dari rumah ke rumah. Tujuannya tak lain adalah untuk bersalaman saling meminta maaf satu sama lain.

Dari sini saya sangat setuju jika dikatakan Islam adalah agama yang sempurna. Kesemputnaan itu salah satunya bisa dilihat dari saling maaf memaafkan tadi. Ketika seseorang di tuntut untuk saling maaf memaafkan, secara tidak sadar akan mempererat persaudaraan. Meniadakan tabiat individualis, serta memenuhi fungsi manusia sebagai makhkuk sosial. Tengok saja di hari nan fitri banyak rumah yang sangat ramai. Didalamnya orang-orang bisa tetangga satu kampung, bisa keluarga jauh, atau teman lama yang telah lama tak jumpa akan bercakap-cakap sepuasnya, ngalor ngidul menambah bau keakraban.

Hari raya idul fitri akan selalu menjadi hari yang dirindu. Entah itu karena jajananya yang menjamur di meja. Entah itu karena ada baju baru. Atau juga karena ada suasana saling maaf memaafkan. Semoga dengan idul fitri lengkap sudah kita menjalani perintah Allah dengan kondisi lahir dan batin yang lebih baik lagi. Meningkatkan keimanan menjadi ketaqwaan. Lebih-lebih lagi kita mampu berserah diri hanya kepada Allah semata.

Suasana Hari Nan Firi

Pertama saya ingin mengucapkan minal aidzin wal faidzin pada seluruh pembaca. Sebagai manusia kita tak mungkin luput dari salah. Dan sebagai umat muslim, alangkah baiknya ketika kita bisa saling maag memaafkan. Selain sebagai penghapus dosa antar manusia, saling maaf memaafkan juga akan mempererat tali silaturrahmi. Semoga kita selalu dalam lindungan serta limpahan berkahNya.

Dihari nan fitri ini semuanya serba baru. Mulai dari baju baru sampai sandal baru. Kebanyakan seperti itu warna warni idul fitri. Setelah sebulan penuh kita melaksanakan puasa. Menahan makan dan minum disiang hari. Berkelit dengan dahaga dan lapar. Allah memberi kemudan bagi hambanya dihari nan fitri ini.

Kemudahan itu amat banyak artinya jika kita artikan. Seperti kemudahan makanan. Banyak sekali makanan seperti ketupat, jajanan toples, yang sangat menggiurkan jika melihatnya. Saya sendiri amat sangat tergoda untuk mencicipinya jika melihat jajanan itu. Perangainya cantik-cantik mirip anak gadis baru remaja.

Keadaan seperti demikian sudah menjadi tradisi. Hari raya idul fitri jajanan menjamur di setiap rumah. Aneka jajanan tradisional sampai internasional memenuhi meja ruang tamu. Memang tujuan tak lain adalah untuk menyambut tamu. Biasanya setiap orang yang datang di persilahkan oleh tuan rumah untuk duduk sebentar mencicipi jajanan yang terjejer elok di meja. Bukan main eloknya suasana seperti ini.

Yang kedua adalah tradisi maaf memaafkan. Setiap orang dikampung usai sholat Id akan bergegas mengunjungi tetangganya. Bejalan dari rumah ke rumah. Tujuannya tak lain adalah untuk bersalaman saling meminta maaf satu sama lain.

Dari sini saya sangat setuju jika dikatakan Islam adalah agama yang sempurna. Kesemputnaan itu salah satunya bisa dilihat dari saling maaf memaafkan tadi. Ketika seseorang di tuntut untuk saling maaf memaafkan, secara tidak sadar akan mempererat persaudaraan. Meniadakan tabiat individualis, serta memenuhi fungsi manusia sebagai makhkuk sosial. Tengok saja di hari nan fitri banyak rumah yang sangat ramai. Didalamnya orang-orang bisa tetangga satu kampung, bisa keluarga jauh, atau teman lama yang telah lama tak jumpa akan bercakap-cakap sepuasnya, ngalor ngidul menambah bau keakraban.

Hari raya idul fitri akan selalu menjadi hari yang dirindu. Entah itu karena jajananya yang menjamur di meja. Entah itu karena ada baju baru. Atau juga karena ada suasana saling maaf memaafkan. Semoga dengan idul fitri lengkap sudah kita menjalani perintah Allah dengan kondisi lahir dan batin yang lebih baik lagi. Meningkatkan keimanan menjadi ketaqwaan. Lebih-lebih lagi kita mampu berserah diri hanya kepada Allah semata.

Rabu, 15 Juli 2015

Ramadhan (30): hari kemenangan?

Jalanan amat ramai menjelang usainya Ramadhan sekaligus hari terakhir menjalankan ibadah puasa. Mereka berhamburan dimana-mana memenuhi pasar, super market, toko makanan, toko baju sampai toko sandal. Kelihatannya banyak orang yang riang hatinya mengetahui Ramadhan hampir usai. Bahkan saya pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa kita patut bersyukur telah meraih kemenangan. Benarkah yang demikian ini betul adanya?

Padahal di zaman ketika nabi dan para sahabat masih hidup. Dikatakan mereka amat bersedih hatinya mengetahui Ramadhan sebentar lagi usai. Banyak dari mereka bahkan ada yang meneteskan air mata, menangis karena bulan penuh berkah akan segera pergi.

Bahkan juga pernah dikatakan bahwa di sepuluh hari terakhir dalam bulan Ramadhan. Rasulullah menyisihkan banyak waktunya untuk beriktikaf di masjid. Berharap menjumpai malam lailatul qodr. Malam yang didalamnya penuh kebaikan melebihi seribu bulan. Ketika kita melakukan amal kebajikan akan diganjar seperti melakukan kebajikan selama seribu bulan, juga sebaliknya jika kita melakukan keburukan. Begitu sebut dalam buku Quantum Ramadhan.

Memang jika kita bandingkan keadaan zaman nabi dan dengan sekarang amatlah jauh berbeda. Sekarang nilai-nilai agama pun semakin jarang  diterapkan. Mungkin di terapkan tapi tidak menjadi satu kesatuan dari keseluruhan. Jadi keadaan amburadul seperti sekrang ini.

Selasa, 14 Juli 2015

Cerbung: Akibat Doa Kedua Orang Tua (1)

Sering Aku bertingkah diluar lingkaran biasa. Salah satunya adalah kisah ini. Sekitar empat tahun yang lalu kejadian ini berlangsung. Bolehlah sedikit kuceritakan pada kalian kawan sepotong kisah ini.

Awalnya hanyalah obrolan-obrolan antar teman yang tak pernah menemui titik keseriusan. Memang seperti itulah remaja usia tujuh belasan tahun. Bicaranya selalu ngelantur, nagalor ngidul tak pernah terencana. Tapi Aku tidak pernah tahu bahwa salah seorang dari kami menanggapi serius obrolan ngalor-ngidul tadi.

H-1 pehelatan akbar festival musik itu akan berlangsung. Apa yang terjadi? Salah seorang yang menganggap obrolan ngalor ngidul tadi serius, lantas Ia segera menemui kami bertiga. Menanyakan kapan kita akan berangkat ke festival musik yang berada diluar kota, amat-amat jauh kota itu bagi anak seusia kami yang tak pernah keluar kota. Tempat keliaran sehari-hari hanya seputar kampung, tak lebih. Artinya berkunjung ke kota besar adalah hal yang tak pernah terselip dalam otak kami. Pengalaman kami nol besar, perjalanan keluar kota adalah sesuatu yang abstrak.

Sore itu langit kelabu. Mendung mengepul kehitaman. Angin bertiup kencang dari segala penjuru menerbangkan dedaunan kering yang berserakan dihalaman. Tiga orang sudah bersiap didepan rumahku. Mereka sudah nekat berangkat. Mereka minta Aku ikut. Sebenarnya Aku agak gamang dengan keputusan mereka. Perasaan ku tak enak. Kalau boleh Aku memilih, aku pilih tidak ikut. Aku sedikit cemas akan keputusan ini. Apalagi cuaca sedang buruk, sebentar lagi hujan akan turun.

Mereka bertiga mendesakku. Aku menghela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. Itu artinya dengan terpaksa aku ikut mereka.  Ya sudahlah, Tapi sebelum berangkat aku izin pada kedua orang tua terlebih dahulu. Mencium tangan lantas mengucap salam pada ibu bapakku. Meminta doa mereka. Sebenarnya inilah kawan yang akan banyak membantu dalam perjalanan nanti, izin dan minta doa pada mereka. Kisah sebenarnya baru akan dimulai. Disinilah kesulitan-kesulitan akan muncul satu persatu.

Perjalanan dari Lamongan ke Malang. Hanya berbekal nekat. Tak tahu arah lewat mana nantinya. Di saku juga hanya terselip uang 15 ribu rupiah. Aku masih ingat betul. Pun juga dengan tiga kawanku itu. Paling mentok uang saku hanya 20 ribu. Kami sudah nekat, tak banyak perhitungan. Juga lihat dandanan kami mirip gembel dipinggir jalan. Tapi anehnya kami sangat pede. Celana jins yang mulanya bagus-bagus saja dengan serta merta kami lubangi dengan silet. Tujuannya cuma satu agar terlihat nakal. Juga berandal. Nyatanya kami adalah siswa sekolahan di SMA kampung.

Kemudian kaos yang kami kenakan amat menakutkan. Semuanya bergambar makhluk dari dunia antah berantah. Ada orang yang tinggal tulang belulangnya terbakar di api neraka. Ada yang hanya tengkorak dengan mata berdarah yang tercongkel keluar. Macam-macam pokoknya dan amat mengerikan. Semua kaos bergambar sanak saudara Grandong. Itu pun katanya agar terkesan sangar. Semua bersepatu dekil dan kumal. Kiranya persiapan barang dan kostum sudah siap. Satu yang paling penting, ukulele. Kupegang erat seperti menggendog bayi.

Berkali-kali aku menyesal dalam batin. Menyesali keputusanku sendiri. Perjalanan pertama yang harus kami tempuh sekitar 19 kilometer dari rumah ke stasiun kereta. Angin semakin beriup kencang menghempas mukaku. Langit juga semakin gelap. Tak ada burung beterbangan lagi. Seolah telah ditelan kepulan mendung yang menghitam. Motor kami melaju di tengah cuaca buruk. Semoga tidak terjadi apa-apa, doaku dalam benak.©

#ToBeContinue

Senin, 13 Juli 2015

Penulis

Harus bisa menemukan sudut pandang yang berbeda dari pada sudut pandang orang pada umumnya.

Kamis, 09 Juli 2015

Ramadhan (22): salah dan lupa

Memang sudah kodratnya manusia ini tempat salah dan lupa. Kita juga sering berbuat salah sekaligus lupa jika kita telah berbuat salah. Parahnya lagi kita telah berbuat salah tapi tidak tahu jika itu sebuah kesalahan. Maka alangkah angkuhnya kita jika enggan untuk belajar.

Yang paling sulit dihindari adalah sifat sombong, meskipun kesombongan itu hanya ada dalam benak. Hanya dalam benak, belum terealisasi menjadi sebuah perbuatan. Kesombongan itu juga hakekatnya mirip dengan perasaan bangga akan kelebihan yang dimiliki. Dan perasaan itu terlalu dibesar-besarkan.

Misal ketika seseorang telah dipanggil dengan kiai. Lantas pekerjaannya hanya i'tikaf, atau membaca kitab kuning. Menurutnya pekerjaannya itu lebih mulia dari apapun. Bahkan lebih mulia dari mencari batu kali. Meskipun pada dasarnya tujuan mancari batu kali itu tak lain untuk membangun masjid. Maka menurut pendapat kiai tadi pekerjaan tersebut lebih cocok jika para santri yang mengerjakannya.

Banyak orang yang lalai, bahwa baginda Nabi tidak pernah membacakan kitab kuning. Beliau lebih condong pada praktek akan nilai-nilai keIslamannya. Sehingga beliau lebih tepat di sebut sebagai Al-Quran berjalan. Semua prilakunya adalah pencerminan dari kandungan Al-Quran. Beliau selain mengerti juga mengamalkan. Alangkah eloknya akhlak beliau.

Meskipun beliau adalah seorang rasul. Belaliau tak canggung untuk turun ke jalan untuk berdakwah.

Rabu, 08 Juli 2015

Ramadhan (21): Belajar Sabar

Sesuai hasil rapat yang telah ditentukan bersama. Hari rabu 8 Juli 2015 adalah waktu pengiriman Proposal Permohonan Dana untuk acara tahunan yang akan diselenggarakan Agustus nanti. Tepat siang tadi mau tidak mau aku dan salah seorang temanku berangkat untuk mengirimkan proposal tersebut.

Awalnya berat sekali melangkahkan kaki. Apalagi sekarang sedang berpuasa cuaca pagi ini pun amat terik. Diluar sana panas matahari serasa membakar kulit, pastinya akan menambah rasa dahaga. Tapi bagaimana pun juga ini untuk kepentingan kelompok. Aku tidak boleh egois. Berpuasa bukan berarti untuk bermalas-malasan. InsyaAllah jika niat berpuasa sudah betul, lilllahi ta'ala. Puasa pun akan terasa nikmat.

Tepat pukul 10.45 kami berangkat. Benar, matahari serasa membakar kulit meskipun kami memakai jaket. Motor melaju kencang sehingga angin menampar-nampar muka kami. Karena terik matahari angin pun terasa panas. Tenggorokan rasanya amat kering. Ludah dimulut pun mulai terasa pahit, amat mencekat. Semoga Allah memberi kekuatan untuk menunaikan ibadah puasa ini, cuma itu doaku dalam benak. Memang harus kita sadari, kita adalah makhluk yang lemah tanpa bantuan-Nya.

Usai sholat Dhuhur di salah satu masjid dalam perjalanan. Kami bergegas mendatangi toko-toko besar yang telah kami list sebelumnya. Besar harapan kami, Direktur toko-toko besar itu akan berkenan menyumbangkan dana untuk kegiatan yang akan kami adakan. Didepan toko aku dan temanku sudah siap dengan Proposal di tangan, lantas merapikan baju serta menyisir rambut terlebih dahulu agar nanti terliahat rapi dan meyakinkan didepan Donatur.

Kami berlaku sesopan mungkin. Mendekati resepsionis toko dengan meminta permisi kemudian mengucap salam Assalamualaikum. Resepsionis yang amat tebal bedak mukanya. Sedikitpun tak hirau akan kami, bahkan salam pun juga tidak dijawab. Ia malah asyik menghitung segebok uang yang ada ditangannya. Aku pun kemudian menerangkan maksud dan tujuan kami datang. Kemudian di akhir kata  aku berkata,"Bagaimana Bu?". Resepsionis perempuan itu sedikit menatapku dengan pandangan sinis, sejenak dia tak menjawab. Kemudian kuulangi lagi pertanyaan terakhirku. Lalu dia berkata, "Bawa pulang saja mas, sudah banyak Proposal menumpuk dibawah meja". Kemudian dengan sopan aku meminta izin pamit. Kawanku berkali-kali mengeluh pada ku ingin menonjok muka perempuan tadi. Mungkin Ia amat jengkel dengan kelakuan perempuan tadi. Aku hanya tersenyum melihat kawanku. Kemudian bilang sabar, sabar. Sambil mengelus dada kukatakan padanya. Aku tahu dia tidak puas dengan jawaban ku.

Ditoko kedua dan ketiga pun sama perlakuannya. Kami ditolak mentah-mentah. Yang paling aku sesalkan ialah salam yang ku ucapkan kerap kali tak di jawab oleh mereka. Padahal sebuah salam hakekatnya adalah sebuah doa yang baik padanya. Hendaknya dijawab terlebih dahulu.

Bagaimanapun juga tak boleh kita berprasangka buruk pada meraka. Yang paling baik adalah mendoakan semoga Allah memberikan hidayah-Nya pada mereka.

Sementara kawanku mulai gusar. Ia sering ngomel-ngomel sendiri. Ia amat kesal pada perlakuan para penjaga toko itu. Mungkin Ia juga kesal padaku, sebab Aku tak sepaham dengannya. Ia juga mulai mengeluh, katanya pekerjaan ini sia-sia.

Untungnya Ia masih mau ku ajak untuk tetap lanjut. Untuk kesekian kalinya kami di tolak lagi dan lagi. Tapi cukup lumayan kami ditolak dengan sopan. Dan akhirnya entah di toko urutan keberapa ada donatur juga yang berkenan menyumbang meskipun tak seberapa nominalnya.

Rasanya hari ini kami mendapat banyak pelajaran. Salah satunya adalah belajar bersabar. "Man shabara zafira". Ketika kita bersabar, ketika itu juga kita menjadi pribadi yang kuat. Tidak mudah mengeluh atau cengeng dalam menghadapi cobaan. InsyaAllah Allah melihat hamba-hambanya yang berusaha. Apalagi jika kita berusaha sambil meminta pada-Nya. Niscaya apa yang kita harapkan akan tercapai. Bukankah Allah Maha Melihat dan Maha Mendangar pula. Semoga Allah selalu melimpahkan berkah pada kita.

Senin, 06 Juli 2015

Novel Ayah (Andrea Hirata)

Ketika melihat di salah satu akun toko buku di instagram tentang akan terbitnya master piece novel ke- 9 Andrea Hirata yang berjudul "Ayah". Saya langsung terpukau akan eloknya cover novel tersebut. Tidak begitu meriah permainan warnanya, dan di dominasi siluet-siluet orang yang berkerumun di suatu tempat. Macam pasar malam tempat itu. Di tengahnya siluet seorang Ayah dan anaknya terpampang jelas nan tegas terlihat syahdu. Cover rancangan Andreas Kusumahadi itu terlihat misterius sekali. Sedang back cover tertulis banyak informasi mengenai Sang Penulis. Juga dua penghargaan yang diraih Penulisnya juga dicantumkan disitu.

Memasuki lembaran pertama anda akan terpukau untuk kedua kalinya. Sebelum lembaran kisah di tulis. Ada dua lembar yang membuat saya tersihir untuk segera membacanya. Lembar pertama adalah ucapan terimakasih pada seorang guru. Di lembar kedua ini tertulis "Seperti Dikisahkan Amiru Kepadaku". Saya lantas bertanya-tanya dalam benak. Apa yang akan diperbuat Andrea dalam novel kali ini. Takjub bukan main aku dibuatnya.

Seperti biasanya setting novel tetap didaerah kelahiran Penulis. Yang tak lain adalah Belitong. Kampung halaman yang selalu di gamabarkan seperti eutopia. Di episode pertama sudah terlihat jika kisah ini terjadi di Belitong.

Awalnya saya berdalih bahwa novel ini ditulis dengan sudut pandang ketiga. Itu artinya Penulis bukanlah tokoh yang bercerita didalamnya. Tapi seorang yang serba tahu akan kelangsungan cerita itu. Sehingga berbeda jauh dengan tetralogi Laskar Pelangi. Tapi diakhir bab saya terhanyak bahwa bahwa asumsi saya salah telak. Di episode terakhir Penulis kembali hadir dalam cerita.

Alur berjalan maju dan mundur, dua arah. Awalnya saya sempat bingung dengan alur yang dibuat. Tapi alur maju lebih mendominasi novel yang berjudul "Ayah" ini.

Sedangkan tokoh-tokoh dalam novel ini karakternya amat terlihat. Sabari sebagai tokoh utama yang pandai sekali mengarang puisi. Dikatakan dialah Isaac Newtonnya Bahasa Indonesia, alangkah terhenyaknya saya menyadari hal itu. Sabari adalah seorang anak kampung yang jauh dari dambaan wanita. Tapi ia pandai, sangat sabar, setia, berkemamaun keras juga pekerja keras, berkomitmen, juga orang yang sangat unik. Suatu ketika ia jatuh cinta pada Marlena, gadis kampung sebelah yang cantik, elok parasnya, tapi sedikitpun tak mencintainya.

Marlena adalah seorang gadis cantik yang amat Sabari cintai. Anak dari Markoni yang berperangai keras. Pun juga Marlena Ia seorang wanita yang berandal. Tak suka dikekang. Dan suka berkirim surat dengan sahabat-sahabat penanya. Hobinya adalah traveling.

Suatu ketika karena keterpaksaan Sabari dan Marlena pun menikah. Dan dikaruniai seorang anak bernama Zorro. Dari sinilah keajaiban-keajaiban muncul. Zorro adalah anak yang tampan, rupawan, sinar matanya memancarkan keagungan ilmu pengetahuan. Ia juga pandai dalam mata pelajaran, apapun itu termasuk Bahasa Indonesia. Sehingga karena sering dekat dengan Ayahnya, Sabari. Ia pun pandai mengarang Puisi. Silahkan temukan sendiri keajaiban itu dalam novelnya.

Tokoh lainya yang berperan banyak ialah Ukun, Tamat, Toharun, dan Zuraida yang tak lain adalah teman dekat Sabari dan Marlena. Pun juga masih banyak tokoh yang tak mungkin saya sebutkan disini. Juga dengan karakter-karakternya yang cukup kuat.

Kekuatan Penulis mengenai metafora yang berbalut sains atau ilmu pengetahuan yang luas juga didapatkan dalam novel ini. Serta analogi-analogi ringan yang sering membuat saya terpingkal-pingkal karena kelucuannya juga banyak ditemui di novel ini. Metafora dan analogi yang disusun sedwmikian rapa adalah dua hal yang mampu menjadikan karya Bang Andrea memiliki tempat tersendiri dalam hati setiap pembaca. Tapi jujur di tengah-tengah novel kiranya dua hal tersebut sangat miskin kadarnya. Tapi penulisannya yang renyah mampu menutupi kekurangan tersebut.

Mungkin yang sedikit berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Di novel yang penulisannya membutuhkan waktu selama 6 tahun lamanya. Banyak terdapat filosofi-filosofi yang tak pernah terbayang dalam benak. Satu yang paling saya ingat. "Konon waktu terbaik dalam hidup manusia adalah ketika manusia mengetahui untuk apa dia diciptakan. Ketika sabari tahu mengapa ia beri Tuhan dengan telinga mirip telinga wajan. ..." sungguh dalam pernyataan tersebut. Dan masih banyak filosofi-filosofi sederhana yang kerap membuat saya terangguk-angguk mengatakan iya ya.

Garis besarnya cerita ini berkisang tentang perjuangan seorang ayah untuk anaknya. Serta kisah cinta luar biasa yang belum pernah di jumpai dalam kisah-kisah lain. Cerita memang butuh pemahaman yang lebih. Meskipun penulisannya amat ringan. Dan segala kemisteriusan cerita akan terkuak di episode terakhir berjudul "Purnama Ke Dua Belas". Dan ternyata Zorro adalah Amiru. Silahkan temukan sendiri keluarbiasaan maha karya, master piece seorang Andrea Hirata sebagai Author dari Indonesia.

Sekian Resensi Novel "Ayah". Mohon maaf Bang Andrea saya ijin meresensi novelnya.